Oleh Yudarwita Maharajo
ISTANBUL, bisniswisata.co.id: “Alhamdulillah”, Itu adalah reaksi pertama saya pada Jumat, 10 Juli 2020 saat mendengar bahwa Museum Hagya Sophia atau biasa disebut Aya Sophia akan dikembalikan fungsinya sebagai masjid setelah pengadilan Turki memutuskan bahwa konversi Hagia Sophia pada tahun 1934 menjadi museum adalah ilegal. Keputusan ini membuka jalan untuk kembali mengubah monumen tersebut menjadi masjid.
“Alhamdulillah”, Reaksi saya lagi ketika melihat video rekaman adzan pertama kali dikumandangkan lagi di Hagia Sophia setelah 85 tahun. Tampak banyak orang memenuhi halaman, plaza dan taman di seputar Hagya Sophia, merespons suara 2 orang muazzin yang membawakannya. Tampak pula banyaknya orang yang mengabadikan peristiwa bersejarah ini.
Pikiran pun langsung melayang kepada kunjungan saya ke Hagia Sophia beberapa waktu lalu…Sengaja memilih tinggal di hotel di daerah Sutan Ahmet, kota tua di Istanbul. Hotel hanya berjarak sekitar 300 meter dari Hagya Sophia dan beberapa bangunan bersejarah lainnya: Masjid Biru dan Istana Topkapi serta Basilica Cistern, reservoir bawah tanah dari zaman Bizantium.
Usai sarapan pagi saya berjalan kaki menuju Hagia Sophia, sengaja ingin masuk sebelum jam 10 pagi karena lewat jam itu biasanya tujuan wisata utama akan penuh dengan turis dan kita harus antri panjang untuk mendapatkan karcis.
Memasuki lorong depan yang panjang pengunjung disongsong oleh sebuah sakorfagus yang dipercaya sebagai peti mati Ratu Eirene, istri dari Kaisar John II. Lorong dengan lengkungan dan langit-langit tinggi mengarahkan pengunjung ke ruang utama museum, sebuah ruang besar yang dinaungi oleh kubah besar Hagia Sophia.
Bangunan yang sekarang ini mempunyai tinggi 55 meter dan lebar 82 meter awalnya dibuka sebagai sebuah gereja antara tahun 532-537 atas perintah Kaisar Romawi Timur Yustinianus I .
Merupakan Gereja Kebijaksanaan Suci ketiga yang dibangun di tanah yang sama. Dua bangunan sebelumnya telah hancur karena kerusuhan. Bangunan ini didesain oleh ahli ukur Yunani, Isidore dari Miletus dan Anthemius dari Tralles.
Dari tahun 537 M sampai 1453 M, bangunan ini merupakan katedral Ortodoks kecuali pada tahun 1204 sampai 1261, ketika tempat ini menjadi Katedral Katolik Roma.
Pada masa pendudukan Konstantinopel pada Perang Salib Keempat ini, gereja dijarah dan dinodai oleh Tentara Salib, sebagaimana dijelaskan oleh sejarawan Bizantium Niketas Choniates. Pada masa inilah gereja berubah menjadi Katedral Katolik Roma.
Pada 1453 M Konstantinopel, setelah melalui perjuangan ratusan tahun, dibebaskan oleh Utsmani di bawah kepemimpinan Sultan Mehmed II, dan diganti namanya menjadi “Islam-Bol (Kota Islam) – Istanbul.
Sultan kemudian memerintahkan pengubahan gereja menjadi masjid. Dikenal sebagai Aya Sofya dalam ejaan Turki, bangunan yang berada dalam keadaan rusak ini memberi kesan kuat pada penguasa Utsmani yang memutuskan untuk mengubahnya menjadi masjid.
Berbagai atribut keislaman seperti mihrab, mimbar, dan empat menara, ditambahkan. Berbagai lambang Kristen seperti lonceng, gambar, dan mosaik yang menggambarkan Yesus, Maria, orang-orang suci Kristen, dan para malaikat ditutup dengan kain hitam.
Meski begitu, saya melihat pada langit-langit atap lorong masuk dan di atas pintu tertentu masih tampak beberapa lukisan kecil yang menggambarkan simbol Kristen.
Aya Sofya tetap bertahan sebagai masjid sampai tahun 1931 M. Kemudian bangunan ini ditutup bagi umum oleh pemerintah Republik Turki dan dibuka kembali sebagai museum empat tahun setelahnya pada 1935.
Pada tahun 2014, Aya Sofya menjadi museum kedua di Turki yang paling banyak dikunjungi, menarik hampir 3,3 juta wisatawan per tahun. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Turki, Aya Sofya merupakan tempat di Turki yang paling menarik perhatian wisatawan pada 2015.
Walaupun nyaris kosong dari benda-benda, orang masih dapat melihat jejak-jejak sejarah yang unik di museum. Muezzin Gallery, tempat muazin mengumandangkan azan di era pemerintahan Sultan Murad III (1574-1595).
Letaknya berdampingan dengan Omphalion, tempat upacara penobatan raja di era Kekaisaran Romawi Timur. Sebuah lukisan orang-orang suci terlukis di langit-langit dekat mihrab, di antara kaligrafi “Allah” dan “Muhammad”.
Tak jauh dari situ terlihat ornamen keemasan menghiasi Ruang Baca dan Perpustakaan yang dibangun oleh Sultan Mahmud I pada tahun 1739, dihiasi ubin-ubin abad 19 dari Istana Iznik, Kutaya dan Tekfur. Di sebuah sudut, pada dindingnya terlihat ubin keramik abad 16 dan 17 dari Iznik yang menggambarkan dinding-dinding Kaabah.
Saya tidak tahan untuk tidak menyentuh dinding-dinding dan pilar-pilar marmer yang usianya sudah ratusan tahun itu. Dimanakah Sultan Muhammad Al Fatih yang perkasa berdiri saat ia pertama kali memasuki Hagia Sophia, di tahun 1453 itu?.
Apakah ia berdiri di pintu tebal ini ketika masuk? Atau di pintu yang itu, saat ia tercengang melihat keindahan Hagia Sophia? Apakah di lantai marmer bergaris ini dambil dia berucap “Masya Allah, masya Allah, masya Allah” dan bersujud?
Menapaki lantai marmernya yang tampak retak disana-sini, terbayang oleh saya betapa banyak dan beragamnya orang yang telah melakukan ibadah di atasnya. Berbeda dengan tempat ibadah lain, Aya Sofia unik, karena ia bukan sekedar tempat ibadah biasa, tetapi merupakan pusat budaya dan politik, dari berbagai pemerintahan yang menguasainya.
Betapa banyak kejadian dan perundingan yang telah terjadi di bawah naungan kubahnya yang besar? Berapa banyak kaisar yang dinobatkan disini, berapa banyak sultan yang sholat dan mengadakan pertemuan disini?
Berapa banyak kerusakan dan kehancuran yang menimpanya dan betapa banyak usaha yang dicurahkan untuk membangunnya kembali. Berbeda dengan museum pada umumnya, nyaris tidak ada benda yang dipamerkan disini, museum lebih menonjolkan keindahan bangunan dan arsitekturnya yang pernah “mengubah jalannya sejarah.”
Aya Sofia kemudian menginspirasi rancangan masjid-masjid yang muncul sesudahnya seperti a.l. Masjid Sutan Ahmet yang dikenal sebagai Masjid Biru, Masjid Suleyman dan masjid di Grand Bazaar serta satu lainnya yang sempat saya kunjungi juga di jalan Sutan Ahmed.
Bedanya, jika masjid-masjid lain terasa terang, penuh cahaya dan menenangkan, Hagia Sophia bernuansa gelap temaram. Meski begitu, saat berada di dalamnya, saya merasa ia lebih sebagai masjid daripada sebuah museum.
Ada sebuah pameran seni kaligrafi di Hagia Sophia di saat saya berkunjung, saya pun berkeliling menikmati lukisan-lukisan yang dipamerkan. Ada yang tampak familiar seperti seni kaligrafi yang sering kita lihat dan ada juga yang kontemporer dan “out-of-the-box.”
Tiba-tiba saya sampai di depan sebuah poster, backgroundnya hitam dengan tulisan putih. Sangat biasa, diketik dengan font biasa, ditulis dengan biasa tanpa bunga-bunga. Perlahan saya membaca. Rupanya isinya adalah deskripsi tentang fisik Nabi Muhammad SAW:
Saya belum pernah membaca atau mendengar penggambaran tentang Rasulullah SAW yang sedetil itu. Sambil membaca, jantung berdegup semakin keras, tenggorokan rasa tercekat, dada terasa sesak… Saya menangis tersedu-sedu di depan poster itu…