Akomodasi ilegal merusak ekonomi lokal dengan menghindari pajak, mengurangi okupansi hotel, dan menawarkan layanan yang tidak diatur (Foto: Adobe Stock/Alexander White)
UBUD Bali, bisniswisata.co.id: Pemerintah Indonesia telah menanggapi dengan cepat kekhawatiran atas meningkatnya jumlah akomodasi ilegal yang beroperasi di Bali. Sebuah rapat koordinasi diadakan pada hari Senin, 28 April, yang melibatkan Kementerian Pariwisata, pejabat pemerintah daerah, dan Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Cabang Bali.
Dilansir dari travel weekly-asia.com, dalam rapat tersebut, diumumkan bahwa sebuah gugus tugas telah dibentuk untuk memantau akomodasi pariwisata di “Pulau Cendrawasih,” dan tindakan atau sanksi saat ini sedang dirumuskan untuk operator ilegal.
Misteri penurunan okupansi hotel
PHRI tengah menyelidiki penurunan okupansi hotel yang turun 10-20% meskipun jumlah wisatawan meningkat. Berdasarkan data mereka, Bali memiliki 593 hotel berbintang, 196 hotel nonbintang, dan 2.852 vila resmi dengan total kamar sebanyak 54.275 kamar.
“Awalnya kami mengira penurunan ini karena wisatawan asing tidak lagi menginap di Bali, tetapi menjadikannya sebagai hub. Ternyata, banyak wisatawan yang menginap di akomodasi ilegal,” kata Perry Marcus, Sekretaris Jenderal PHRI Bali Chapter.
Sejak awal tahun 2025, okupansi hotel turun 10-20% dengan okupansi rata-rata berkisar 60-70% di 150.000 kamar di pulau ini.
Akomodasi ilegal = privasi lebih?
Banyak akomodasi ilegal di Bali berupa rumah hunian yang diubah oleh penduduk setempat menjadi properti sewa bagi wisatawan.
Properti-properti ini sering menarik minat wisatawan asing yang, dalam beberapa kasus, menyewakan tempat tersebut kepada wisatawan lain dengan harga yang lebih tinggi.
Ada juga kasus di mana warga negara asing memiliki akomodasi tetapi mendaftarkannya dengan nama warga negara Indonesia untuk menghindari peraturan kepemilikan.
Investigasi PHRI telah mengungkapkan bahwa faktor pembeda utama antara akomodasi legal dan ilegal adalah tingkat privasi yang mereka tawarkan.
Meskipun fasilitas dan harga mungkin tidak jauh berbeda, privasi yang lebih tinggi di akomodasi ilegal membuat mereka lebih menarik bagi sebagian wisatawan. Perry Marcus percaya bahwa ini adalah faktor utama dalam popularitas mereka.
Platform digital meningkatkan minat menginap ilegal
Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani Mustafa, yang hadir dalam pertemuan tersebut, mengakui peran platform pemesanan digital dalam memfasilitasi maraknya persewaan ilegal.
Meskipun ia menyatakan bahwa pemerintah belum memiliki data yang akurat tentang jumlah akomodasi ilegal, ia menekankan perlunya pendekatan kolaboratif untuk mengatasi masalah tersebut.
“Pertemuan ini bertujuan untuk memastikan kesepakatan bersama antara pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Kita perlu didorong oleh data dan akan bekerja untuk memperkuat basis data,” kata Rizki.
Bagaimana penginapan ilegal merugikan industri
Munculnya akomodasi ilegal khususnya merugikan hotel terdaftar dan bisnis akomodasi, karena tempat usaha yang tidak teregulasi ini sering beroperasi di luar sistem pajak. Perry Marcus menyatakan keprihatinannya tentang tekanan yang ditimbulkan oleh hal ini pada industri perhotelan lokal.
“Ini merupakan pukulan berat, karena hotel terpaksa menjual kamar dengan harga yang jauh lebih rendah untuk bertahan hidup,” katanya.
Karena Bali terus bergulat dengan masalah ini, satuan tugas pemerintah diharapkan memainkan peran penting dalam mengembangkan peraturan yang memastikan kesehatan dan keberlanjutan jangka panjang industri pariwisata pulau ini.