NASIONAL

Bagasi Berbayar, Industri Pariwisata bisa Tertekan

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Regulasi bagasi berbayar ternyata berdampak ke sejumlah sektor. Salah satu sektor yang paling merasakan implikasinya yaitu pariwisata. Bahkan, pertumbuhan industri pariwisata bisa tertekan.

“Kalau pemerintah berniat mendorong sektor pariwisata, maka pertahankan harga tiket terjangkau di masyarakat,” kata Ekonom Institute for Developtment Econimics and Finance Bhima Yudhistira saat menjadi pembicara dalam acara diskusi bertajuk Mengapa Bagasi Berbayar di Gado-Gado Boplo Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (9/2/2019).

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) menganggap pariwisata merupakan sektor tumpuan ekonomi yang cukup penting bagi Indonesia. Sehingga pemerintah perlu menjaga kestabilan harga agar target wisatawan mancanegara maupun domestik bisa tercapai.

Selain sektor pariwisata, lanjut Bhima, industri Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM) seperti oleh-oleh juga kena imbasnya. Penjualan produk-produk UMKM juga berpoteni mengalami penurunan akibat kebijakan itu. “Ini tentu agak menyedihkan sebab banyak juga daerah yang bergantung di sektor ini,” kata Bhima.

Begitu juga penginapan dan jasa transportasi. “Persewaan mobil di pusat pariwisata akan terkena dampak khususnya spesifik pada regional yang mengandalkan pariwisata,” katanya.

Dilanjutkan, kebijakan bagasi berbayar bisa berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi tahun 2019 yang diprediksi bakal stagnan di angka lima persen. Karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan tersebut. “Evaluasi lagi kebijakan soal bagasi berbayar. Kita tidak menyalahkan maskapai tetapi ini adalah pemerintah yang harus ambil alih karena ini sudah diregulasi,” ujarnya.

Menurutnya, industri penerbangan menjadi sorotan sejak awal 2019. Mulanya, industri aviasi disorot karena harga tiket mahal, meski telah melewati peak season setelah libur natal dan tahun baru 2019. Setelah itu, pengguna jasa penerbangan dikejutkan dengan sejumlah kebijakan maskapai untuk menaikkan harga bagasi pesawat. Khususnya untuk penerbangan dengan pesawat low cost carrier atau LCC.

Belakangan, industri logistik yang menjadi sasaran dengan adanya kebijakan maskapai untuk menaikkan harga kargo atau jasa pengiriman barang lewat udara. Akibat ini, salah satu asosiasi di bidang logistik mengancam akan melakukan pemboikotan jika kebijakan ini terus berlanjut.

Bhima mengatakan, jika kondisi tersebut terus berlanjut, hal itu tentu akan berdampak pada tingkat okupansi hotel khususnya hotel bintang 1. Hotel bintang 1 selama ini dikenal menjadi tempat tinggal bagi wisatawan domestik khususnya milenial, yang hobi memanfaatkan tiket murah untuk berwisata.

Menurut Bhima, indikasi dampak tersebut terlihat sejak harga tiket yang telah melonjak sejak akhir 2018. Akibatnya, okupansi hotel di bintang 1 pada akhir tahun hanya mencapai 44 persen. “Ini baru hanya dari kenaikan tiket saja. Tapi tentu harus dipantau lagi di bulan Februari dan Maret sebab jika tidak akan berdampak pada tingkat kunjungan wisata pada 2019,” kata Bhima.

Diprediksi dalam jangka panjang bakal berimplikasi terhadap tingkat inflasi. Indikasi terlihat dengan masuknya komponen harga tiket sebagai penyumbang inflasi nomor 6 tertinggi dari total keseluruhan pada 2018. Padahal, tahun 2017 komponen harga tiket masih berada pada posisi ke 16 tertinggi penyumbang inflasi.

Apalagi, pemerintah kini mulai mengandalkan wisatawan domestik setelah wisatawan manca negara berkurang akibat bencana alam. Sayangnya, wisatawan domestik sangat peka terhadap adanya kenaikan harga tiket ini terkait kebijakan bagasi berbayar. “Artinya, jika harga di tingkat konsumen seperti tiket terus naik tersebut, bisa berdampak pada menurunnya minat wisatawan lokal untuk bepergian,” kata Bhima.

Sementara itu, Survei Dinas Pariwisata Padang menyebutkan penerapan kebijakan bagasi berbayar oleh maskapai penerbangan menyebabkan penjualan oleh-oleh berupa makanan dan lainnya anjlok 40 persen di Kota Padang, Sumatera Barat. “Wisatawan harus membayar lebih mahal akhirnya wisatawan lebih selektif atau mengurangi beli oleh-oleh,” kata Kepala Dinas Pariwisata Padang Medi Iswandi.

Menurutnya, seperti dilansir Antara, dibandingkan periode yang sama dengan 2018 terjadi penurunan 10 sampai 30 persen penjualan oleh-oleh di Padang. Tidak hanya berdampak bagi penjualan oleh-oleh, kebijakan bagasi berbayar juga mempengaruhi tingkat hunian hotel di Padang. “Rata-rata hotel huniannya juga turun hingga 30 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” kata dia.

Bahkan, lanjut dia, dengan kondisi ini membuat hotel bintang empat dan bintang tiga menurunkan harga setara bintang dua sehingga akhirnya hotel bintang kehilangan tamu. “Jasa pengiriman juga berdampak karena maskapai juga menaikkan tarif kargo udara,” tambahnya.

Salah satu pusat penjualan oleh-oleh di Lubuk Buaya Padang terpantau lebih sepi dari biasanya. Menurut seorang kasir Vera, terjadi penurunan omzet hingga 30 persen per hari. “Jika sehari biasanya penjualan hingga Rp10 juta sekarang hanya berkisar Rp7 juta sejak diterapkan kebijakan bagasi berbayar,” kata dia.

Warga Padang, Abdul, yang secara rutin berkunjung ke Jakarta menggunakan maskapai udara, mengaku selektif membawa barang karena kebijakan bagasi berbayar. “Biasanya selain membawa koper juga oleh-oleh satu kardus, sekarang untuk sementara oleh-oleh ditiadakan dulu karena biayanya lebih mahal dari harga belinya,” kata dia. (ENDY)

Endy Poerwanto