NASIONAL

Akibat Tiket Naik dan Bagasi Berbayar, Pariwisata Daerah Sambat

RAJA AMPAT, bisniswisata.co.id: Kenaikan tarif tiket pesawat dan bagasi berbayar berimbas pada bisnis pariwisata di daerah. Seperti yang terjadi di kawasan wisata Raja Ampat, Papua Barat, mengalami penurunan jumlah kunjungan. Sejak penerapan itu, jumlah penumpang ke destinasi wisata Raja Ampat berkurang.

Anny Rahman, salah seorang agen pariwisata Raja Ampat yang biasa melayani wisatawan di Bandara Deo Sorong, sambat karena jumlah seat untuk kapal yang membawa turis menuju Raja Ampat hampir separuhnya kosong. Bahkan, kadang tidak ada penumpang.

“Ya, penyebabnya kenaikan tarif tiket pesawat dan bagasi berbayar. Wisatawan berkunjung ke Raja Ampat baik domestik maupun internasional mulai berkurang,” kata Anny seperti dilansir laman MediaIndonesia.com, Ahad (10/02/2019).

Seharusnya, lanjut Anny, tiket pesawat tidak perlu naik, demikian juga bagasi tidak berbayar. “Di Malaysia tiket pesawat murah dan bagasi tidak berbayar, kenapa di sini sebaliknya,” keluhnya.

Dampak yang besar akibat harga tiket mahal dan bagasi berbayar juga dirasakan industri pariwisata di sejumlah daerah. Mereka pun sambat, seperti Kalimantan Selatan, tingkat kunjungan wisatawan turun sampai 14%.

“Kunjungan ke tempat wisata berkurang. Imbasnya sampai ke para pemandu wisata serta masyarakat yang mengandalkan penghasilan dari sektor wisata, seperti motoris perahu motor dan sebagainya,” kata Kepala Dinas Pariwisata Kalsel, Dahnial Kifli.

Guna membangkitkan industri wisata daerah ini, Pemprov Kalsel mengimbau masyarakat agar lebih memilih destinasi wisata di daerah sendiri guna menghidupkan industri wisata dan UMKM daerah.

Pemprov Kalsel juga terus berupaya mengembangkan industri pariwisata dengan menggelar beragam event wisata dan membuat destinasi wisata baru. Saat ini, harga tiket Banjarmasin ke Surabaya rata-rata mencapai Rp1,2 juta dari harga normal sebelumnya hanya Rp400-Rp600 ribu.

Hal serupa juga dialami para penggiat pariwisata Bangka Belitung. Ketua Perhimpunan Hotel Restoran Indonesia (PHRI) Bangka Belitung, Bambang Patijaya, mengatakan ada sekitar 50 anggota PHRI yang telah , sambat bisnisnya lesu sejak akhir 2018 hingga awal 2019. Menurutnya, tidak ada wisatawan yang datang ke Bangka Belitung.

“Pada Desember 2018, okupansi perhotelan hanya 1 hotel yang mengaku okupansinya 100%. Lainnya di bawah 90% di Belitung, ini jarang terjadi. Bangka juga sama okupansi hotelnya hanya 70%. Ini mungkin ada tsunami di Banten mengurangi berlibur ke pinggir pantai. Tapi, utama karena biaya bepergian ke Babel mahal,” kata Bambang.

Selain perhotelan dan rumah makan, pusat oleh-oleh dan suvenir juga sepi. Seperti yang terjadi di Kota Pekanbaru, Riau. Para pedagang oleh-oleh yang tergabung dalam UMKM mengalami penurunan dari segi penjualan.

“Penjualan oleh-oleh menurun drastis karena bagasi berbayar. Perputaran uang melambat,” kata Ibnu Masoed, Ketua Penasihat DPD Association of The Indonesia Tour and Travel Agencies (Asita) Riau.

Ketua DPD Asita Riau, Dede Firmansyah, menambahkan saat ini Asita Riau menawarkan paket wisata ke perusahaan dan komunitas dengan transportasi darat ke Sumatra Barat dan Sumatra Utara. Ini sebagai alternatif tawaran ke wisatawan sejak mahalnya harga tiket pesawat.

Di tempat terpisah, Pengamat penerbangan, Chappy Hakim mengatakan, sesungguhnya bisnis penerbangan itu memang mahal dan adanya persepsi atau pemahaman masyarakat yang keliru, kurang tepat terkait penerbangan murah. “Persepsi keliru, ada penerbangan murah, tidak ada itu murah,” kata dia.

Dilanjutkan, Pihak maskapai harus mengeluarkan biaya operasional yang besar untuk perawatan mesin, mengikuti perkembangan teknologi, hingga penyesuaian pada harga bahan bakar avtur. “Kalau berbicara airlines semuanya begitu, complicated. Mahal, memerlukan knowledge dan untung tipis,” ujar dia.

Jika kemudian berkembang penerbangan berbiaya murah (low cost Carrier/LCC), hal tersebut hanya bagian dari strategi bisnis untuk menarik pelanggan. “Fenomena menarik, LCC. LCC muncul dulu berbicara penerbangan glamour, luxurious, mewah, dan sebagainya. Kemudian ada orang berpikir ada peluang pasar kalau dimurahin sedikit akan banyak traveler menggunakan pesawat,” ungkap Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) ini.

Padahal, lanjut dia, hal itu adalah siasat bisnis, siasat menjual. “Sesuatu yang sebenarnya mahal supaya terlihat murah, ya sesederhana itu. Sehingga kemudian menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Sebab bisnis penerbangan sudah telanjur dipersepsikan murah,” paparnya seperti dilansir Merdeka.com

Namun karena sudah terlanjur orang mempunyai persepsi murah kemudian tiba-tiba mahal dan tiba-tiba berbayar, makanya jadi ribut. Karena itu, Pemerintah sebagai regulator diharapkan dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pelaku usaha juga menetapkan regulasi. Agar pergerakan dalam strategi bisnis yang dilakukan maskapai tidak menimbulkan keresahan, sambungnya

“(Bagasi berbayar) bagian bisnis jadi pemerintah hanya mengatur saja, itu sebabnya ada asosiasi yang bisa berkomunikasi dengan pemerintah sehingga pemerintah bisa mengeluarkan regulasi sebagai regulator sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat. Sehingga pelayanan masyarakat di bidang transportasi udara itu benar-benar wajar, proporsional, dan profesional,” kata dia. (NDY)

Endy Poerwanto