JAKARTA,bisniswisata.co.id: Dua akademisi yang menjadi narasumber di hari kedua Global Tourism Forum Summit Leaders di Hotel Raffles, Jakarta menekankan tidak ada budaya tidak ada pariwisata dan pandemi global membuat tidak ada bisnis seperti biasanya pula.
Bagaimana masa depan pariwisata? jawabannya adalah budaya. Tidak ada budaya tidak ada pariwisata, kata Prof Ir Windu Nuryanti M.Arch, PhD, hari ini.
Windu mengatakan pada masa pandemi ini, dunia mengalami banyak ketidakpastian dalam berbagai hal terutama pariwisata.
“Bagaimana kita bisa memelihara dan mengembangkan wisata budaya di Indonesia karena kalau tidak ada budaya tidak ada pariwisata,” tegasnya.
Menurut dia, keberlanjutan masa depan pariwisata indonesia terletak pada wisata budaya dan ada 7 zona wisata budaya terpenting yaitu Bali dan Jawa (dominan), Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, Maluku, Papua, yang termasuk kedalam zona budaya penting.
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan republik indonesia yang menjabat pada tahun periode 2011 – 2014 ini menambahkan RI dikaruniai oleh berbagai macam budaya dari 17.000 pulau dan termasuk negara kepulauan terbesar di dunia dengan 583 bahasa yang dikenali dan 1.340 suku bangsa.
“Ada 7 faktor indeks perkembangan budaya,diantaranya pertama, keaslian budaya yang berasal dari berbagai suku di Indonesia yang memiliki berbagai keberagaman etnis ”
Kedua, keaslian budaya, ketiga, ketangguhan,keempat upaya pelestarian budaya,kelima, komunikasi lintas budaya, keenam, lembaga sumber daya manusia dan budaya dan ketujuh infrastruktur budaya.
“Oleh karena itu Indonesia harus lebih percaya diri dan tangguh untuk bisa melewati masa penuh tantangan masa pandemi ini dengan menjadikan kekayaan budaya ini sebagai kekuatannya,” tegasnya.
Sementara itu Dr. Devi Roza Kausar, Associate Professor dan Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila mengatakan bahwa keberlanjutan sektor pariwisata pasca pandemi akan mengalami berbagai pembaharuan.
“Terutama berlaku dalam aspek manajemen akses, isu kesehatan, penggunaan teknologi, komunikasi melalui story-telling, dan pengembalian fokus terhadap anggaran,” kata Devi
Menurut dia, ada tuntutan khusus untuk keberlanjutan pariwisata agar dapat terus bertahan pasca pandemi. Pebisnis tidak bisa melakukan bisnis seperti biasa lagi karena menjadi bisnis yang tidak biasa.
Story-telling dijadikan sorotan sebagai salah satu adaptasi dari Unusual Business tersebut karena dapat membantu terhadap promosi destinasi pariwisata dan membangun kepercayaan konsumen. Selain itu dapat menarik masyarakat lokal untuk terkoneksi dengan destinasi wisata.
Saat ini terdapat beberapa contoh strategi dari dalam maupun luar negeri yang dapat diadaptasi sebagai cerminan perubahan strategi pariwisata pasca pandemi.
Misalnya, Teater Kabuki dari Jepang yang sudah diselenggarakan secara online, kunjungan ke Candi Borobudur secara virtual dari Indonesia, dan Festival Social Distancing dari Canada.
Merespon dari adanya Teater Kabuki online, Wayang Kulit juga memiliki potensi yang sama untuk berkembang dan ditayangkan secara online, kata Devi.
Terakhir, Bali menjadi topik utama dalam membahas pariwisata nasional karena kesadarannya untuk mempertahankan keberlanjutan pariwisata dengan kolaborasinya terhadap budaya tradisional daerah.
“Pariwisata yang lebih berkualitas sebenarnya juga penting saat ini, dibandingkan dengan kuantitas. Saya pikir itu akan berlaku untuk Bali yang kaya dengan wisata budayanya, ucap Dr. Devi menutup sesi strategi budaya di era pandemi ini.