HALAL HILDA'S NOTE INTERNATIONAL LIFESTYLE

What’s Wrong Halal Tourism di Bali ?

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Masih ingat kunjungan rombongan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz Al Saud ke Indonesia tahun 2017 yang memilih Bali sebagai destinasi liburannya di sela melawat ke Indonesia dan sejumlah negara ?.

Dari waktu yang dijadwakan semula yakni 4 sampai 9 Maret 2017, raja yang saat itu berusia 81 tahun menambah liburannya di Bali hingga 12 Maret. Rombongan yang berjumlah 1.500 orang menginap di beberapa hotel yang berada di kawasan International Tourism Development Center (ITDC) Nusa Dua, Bali.

Raja Salman menginap di St.Regis Bali Resort, yang memiliki kamar tipe suite dan vila, dengan tarif per malam mulai US$570 – US$2.200 atau sekitar Rp7 juta – Rp29 juta. Rombongan yang bertolak ke Bali rinciannya, 1.000 orang terdiri dari putra mahkota, 24 pangeran, dan 10 menteri, 300 orang tim advance plus koki khusus dari Arab untuk menyajikan masakan halal.

Raja Salman menyewa lima hotel mewah, transportasi mobil mewah dan bus sebanyak 360 unit.Total pengeluaran keluarga Kerajaan Arab Saudi untuk transportasi selama sembilan hari di Bali sedikitnya mencapai Rp 8 miliar. Asosiasi Tour dan Travel Agent memperkirakan pengeluaran Raja Salman selama berlibur di Bali mencapai sekitar Rp 250 miliar.

Biaya liburan keluarga kerajaan Arab Saudi ini di Bali tembus angka fantastis dan keluarga besar Muslim dengan ribuan rombongannya ini menikmati wisata halal di Bali yang kini di dunia internasional disebut halal tourism. Obyek-obyek wisata yang dikunjungi rombongan Raja Salman a.l Pantai Geger sebagai salah satu destinasi wisata selama berada di Bali.

Pantai yang terletak tepat di belakang Hotel St Regis tempat Raja menginap itu menawarkan keindahan pasir putihnya.
Berkunjung ke Ubud juga menjadi pilihan. Rupanya panorama sawah di Ubud menjadi daya tarik bagi rombongan Raja Salman.

Mereka terlihat mengunjungi Ceking Terrace, Monkey Forest dan Kayu Galery. Kawasan Ceking Terrace pernah menjadi lokasi syuting film Hollywood,’Eat Pray Love’ karena dikenal dengan pemandangan persawahan terasiring di bukit.

Masjid Agung Ibnu Batutah dipilih oleh rombongan Raja Salman untuk menunaikan salat Jumat. Masjid Agung Ibnu Batutah berlokasi di Puja Mandala, suatu kawasan wisata di Nusa Dua yang disebut sebagai ‘Rumah 5 Ibadah’.

Untuk belanja oleh-oleh, Bali Collection yang terletak di Indonesia Tourism Development Center (ITDC), Nusa Dua, Bali Collection menjadi tempat belanja yang dipilih oleh rombongan Raja Salman.

Kebanyakan dari rombongan Raja datang ke Bali Collection untuk berbelanja suvenir. Ada pula dari rombongan yang bersantai sore hari di deretan kafe dan restoran.

Setelah membaca uraian di atas, apakah kegiatan wisata rombongan Raja Salman bukan wisata halal karena mengedepankan makanan halal dan tidak melupakan ibadah Jumatnya ? Apakah pilihan berlibur ke Bali bagi rombongan Raja Arab Saudi itu untuk meng- ISLAM- kan masyarakat di destinasi ?

Pertanyaan ini menjadi sangat penting ketika saya membaca dari media di Bali berbahasa Inggris yaitu thebalisun.com dan balinews.live edisi 4 November lalu yang menurunkan berita berjudul “Leaders Scraps Plans For New Halal Tourism Campaign in Bali,” 

Isinya soal pernyataan Wamen Pariwisata yang baru, Ni Luh Puspa bahwa Rencana Kampanye Pariwisata Halal di Bali sudah dibatalkannya. Inisiatif pengembangan pariwisata akan dilaksanakan sesuai dengan budaya dan warisan budaya Bali.

Menurut dia, Karena Bali merupakan provinsi dengan mayoritas penduduk beragama Hindu Bali, banyak pemimpin pariwisata dan masyarakat setempat merasa bahwa penerapan sertifikasi halal wajib bagi pelaku usaha pariwisata di seluruh provinsi tersebut tidak tepat dan tidak sejalan dengan budaya Bali.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan di Instagram yang dilansir dari kedua media itu, Puspa menjelaskan, “Sudah seharusnya kearifan lokal dan kekayaan budaya Bali harus dijaga bersama-sama agar menjadi daya tarik bagi wisatawan.”

Sampai di sini sudah cukup jelas bahwa pemahaman mengenai halal tourism yang kini menjadi trend dunia belum dipahami oleh berbagai level masyarakat Bali khususnya bahkan oleh seorang Wakil Menteri Pariwisata RI dari Pulau Dewata itu.

Padahal memakai label halal tourism tidak akan ada transformasi pada destinasinya, tetapi pelancong atau turisnya diberikan pelayanan tambahan atau di sebut Extended Services.

Mantan Wapres KH Ma’ruf Amin kerap mengingatkan bahwa bicara wisata halal, yang dihalalkan bukanlah destinasi atau tempat tujuan wisatanya, melainkan pelayanannya. Termasuk di dalamnya hotel, restoran, spa dan paket wisatanyapun tidak bertentangan dengan syariah Islam.

Apa yang menjadi syariat Islam juga harus dihormati karena umat Islam tidak boleh meninggalkan ibadah lima waktunya meski sedang berwisata dan harus mengonsumsi makanan halal. Jadi What’s wrong dengan halal tourism di Bali ?

Kalau label halal tourism sudah diterima Bali sejak dulu dan mampu melayani wisatawan sekelas Raja Salman, maka rombongan itu tidak akan membawa sejumlah koki tersendiri dari negara asalnya untuk menjamin proses makanan halal yang sudah menjadi ketentuan agamanya bagi rombongan besar itu.

Kunjungan turis Muslim Timur Tengah yang juga ke Bali bersamaan dengan kunjungan Raja Salman adalah salah satu dampak positif yang luput dari pengamatan pemerintah dan industri pariwisata setempat gegara gagal paham soal halal tourism.

Itulah sebabnya ketika Wamen Pariwisata Ni Luh Puspa mengeluarkan pernyataan bahwa semua pihak agar “Membangun Bali menjadi rumah bersama yang berkelanjutan dan inklusif bagi semua golongan, “ maka pernyataannya itu menjadi bentuk egoisme karena minta dihargai tapi faktanya tidak bisa menghargai.

Seperti diketahui halal tourism kini menjadi salah satu ekositem industri halal dunia pasca COVID-19 yang trennya terus meroket mulai dari halal tourism, keuangan syariah, makanan dan minuman, farmasi, modest fashion, media rekreasi hingga kosmetika.

Tim Kemenpar sudah bertandang ke
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) pimpinan Babe Haikal dengan pembahasan kolaborasi dalam penguatan sertifikasi halal bagi pelaku usaha di Indonesia, baik untuk UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) maupun perusahaan besar sebagai produsen, guna memastikan bahwa produk yang dihasilkan memiliki sertifikasi halal.

Babe atau Haikal Hassan menyampaikan bahwa merujuk UU 33/2014 Pasal 4 tegas menyatakan seluruh produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, dengan batasan dan ketentuan yang jelas.

Namun, dia juga mengingatkan bahwa pelaku usaha yang menghasilkan produk dari bahan tidak halal atau non halal tentu dikecualikan dari mengajukan sertifikat halal.

Hal itu merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 Pasal 2 Ayat 2 menyatakan bahwa produk yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.

Tapi wajib diberikan keterangan tidak halal, seperti pada Ayat 3 Pasal tersebut.”Yang enggak halal bagaimana? Lihat Pasal 2 Ayat 2 bahwa produk yang dikategorikan tidak halal, dikecualikan. Dalam pasal 2 Ayat 3, produk yang tidak bisa disertifikat halal ya wajib diberi keterangan tidak halal. Sesimpel itu,” jelas Babe Haikal.

Sayangnya Ni Luh Puspa berdalih bahwa pembatalan kampanye wisata halal di Bali termasuk penerapan sertifikasi halal wajib bagi pelaku usaha pariwisata di seluruh provinsi tersebut tidak tepat dan tidak sejalan dengan budaya Bali.

Pernyataannya ini mengundang pertanyaan saya apakah Bali bukan bagian dari NKRI sehingga program pemerintah mengenai sertifikasi halal termasuk untuk sektor halal tourism bisa dibatalkan kampanye atau sosialisasinya demi mengakomodasi gagal paham soal halal tourism di semua lini ?. Ayo bantu jawab pertanyaan terakhir ini.

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)