SLEMAN , bisniswisata.co.id: Pasukan “Ogoh-Ogoh”, “Gendruwo” dan “Wewe Gombel” mewarnai upacara adat Saparan Bekakak. Upacara adat yang sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya ini tetap dipertahankan hingga kini untuk mengenang perjuangan dan kesetiaan abdi dalem Kraton Jogyakarta bernama Ki Wiro Suto terhadap Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Kepala Dinas Kebudayan Kabupaten Sleman HY Aji Wulantara mengatakan bahwa upacara adat Saparan Bekakak merupakan event budaya unggulan yang telah masuk dalam kalender event Kabupaten Sleman maupun Propinsi DIY, bahkan gaungnya sudah menasional.
“Kehadirannya sangat dinanti-nantikan warga Jogyakarta dan Jawa Tengah, bahkan oleh wisatawan luar daerah serta mancanegara yang sedang berada di Jogyakarta. Oleh karena itu kami harapkan event ini mampu menyedot kunjungan wisatawan dari dalam dan luar negri,” ungkapnya hari ini.
Ketua Panitia Bambang Cahyono, menjelaskan bahwa rangkaian pelaksanaan upacara adat diawali sejak 28 September 2019 yang berupa pasar malam dan gelar potensi seni budaya meliputi jathilan, tari-tarian, ekelton, campursari, Koes Plusan, kethoprak, wayang kulit dan pameran UMKM.
“Sejak Kamis 17 Oktober 2019 pasangan bekakak dan berbagai gunungan dapat dilihat oleh masyarakat umum di Balai Desa Ambarketawang. Mulai pukul 13.00 – 14.00 WIB dilantunkan gending uyon-uyon atau karawitan,” kata Bambang.
Malam Jumat diadakan upacara penyerahan Bekakak seperti Malam Midodari dan dilanjutkan dengan pagelaran Wayang kulit semalam suntuk dengan dalang Ki Bayu Aji Nugroho dengan judul Petru Ratu.
Jumat siang, upacara saparan bekakak di Ambarketawang, Gamping, Sleman, menarik minat warga. Terbukti sejak pukul 13.00 WIB, ribuan orang sudah memenuhi lapangan Ambarketawang, tempat pembukaan upacara. Warga juga memadati sepanjang jalan menuju prosesi akhir upacara, di Gunung Gamping, yang berjarak tiga kilometer arah selatan dari Lapangan Ambarketawang.
Sepasang Bekakak, Tirto Dono Jati diarak menuju lapangan Kademangan Ambarketawang untuk mengawali prosesi acara. Upacara seremonial dimulai dengan laporan wiromanggolo, fragmen tari, pemecahan kendi dilanjutkan pelepasan burung merpati putih.
Sementara prosesi kirab yang didukung oleh bregada utama, yaitu Bregada Mejing Kidul, Delingsari, Gamping Kidul, Gamping Lor, dan berbagai bregada dan peserta kirab budaya menuju petilasan di Gamping Kidul dan petilasan Gunung Gamping di Tlogo untuk dilakukan penyembelihan bekakak.
Masyarakat juga dihibur Reog Ponorogo, Gunungan yang berisi sayuran dan buah-buahan serta boneka Ogoh-ogoh yang berukuran sangat besar menyerupai raksasa sehingga menjadi obyek foto untuk selfie berlatar belakang Ogoh-ogoh dengan sosok macan dan hewan lainnya maupun sosok manusia.
Sebagian ruas jalan “ring-road” (jalan lingkar) barat dan sebagian ruas jalan Wates digunakan sebagai jalur kirab sehingga sedikit banyak mengganggu pengguna jalan. Bambang minta maaf kepada masyarakat umum atas penutupan sementara beberapa jalur untuk pelaksanaan kirab.
“Termasuk pengalihan arus dari arah barat di Jl. Wates akan dilakukan di pertigaan Klangon ke arah utara menuju Gedongan dan Tempel, pertigaan Universitas Mercubuana ke utara menuju Godean, dan perempatan Depok di sebelah timur SPBU Ambarketawang ke arah utara. Sedangkan dari arah timur dilakukan pengalihan di perempatan ringroad Pelemgurih ke arah utara.
Bau dupa dibakar, menyeruak selama prosesi puncak upacara digelar. Sepasang boneka pengantin yang disebut Bekakak yang terbuat dari ketan dan air gula merah, disembelih di situs Gunung Gamping.
Bagian tubuh boneka kemudian dipisah-pisah dan dibagikan kepada warga. Bersamaan dengan prosesi penyembelihan, isi gunungan yang turut di arak mulai diperebutkan oleh warga yang hadir. Semarak upacara adat Saparan Bekakak itupun berakhir.