Berawal dari kota Wuhan China, kini wabah Covid-19 telah mengglobal, merata di seluruh wilayah benua, tak terkecuali di negri kita dengan korban yang terus bertambah di semua provinsi.
Berbagai macam spekulasi tentang penyebab dan dampaknya juga turut mewarnai media. Berbagai tanggapan pakar hingga kebijakan penguasa dengan segala pro kontranya terus mengemuka.
Masyarakat bingung, cemas, dan bertanya bagaimana kehidupan kami dengan musibah ini ? Sebagai seorang muslim dan muslimah tentu memiliki sikap yang khas terkait musibah ini, pada tataran keimanan, sikap masyarakat maupun bagaimana seharusnya kebijakan penguasa.
Saya beruntung diundang bergabung dalam Forum Tokoh Muslimah Peduli Bangsa yang dimotori Umi Irena Handono ini melalui Zoom cloud meeting, berdiskusi dengan para ibu dengan tema Tuntunan Syariah Menghadapi Wabah.
Peserta yang sebagian besar ibu rumahtangga dari berbagai profesi menyimak uraian nara sumber Dr. Enny Sri Hartati, Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), pengamat ekonomi, Iffah Ainur Rahmah dan Dedeh Wahidah Ahmad, pengamat kebijakan publik.
Dari peserta, Fatimah misalnya tak bisa menyembunyikan kegelisahannya menghadapi pandemi global ini. Apalagi jika dirunut pertama kali pemerintah mengumumkan kasus pada 2 Maret 2020 baru ada dua kasus di Depok.
Kini tiba-tiba per10 April 2020 secara nasional sudah menyebar ke 34 provinsi di tanah air dengan jumlah 3.512 kasus, naik sebanyak 219 kasus baru dari hari sebelumnya. Sementara, jumlah pasien meninggal menjadi 306 orang atau bertambah 26 orang. Mereka yang telah dinyatakan sembuh kini berjumlah 282 orang, naik 30 orang dari pengumuman di hari sebelumnya.
” Apa langkah konkrit kita sebagai ibu untuk keluarga dan masyarakat agar bisa ikut mencegah penyebaran wabah ini yang kenaikannya demikian cepat,” tanya Fatimah.
Menariknya dari diskusi ini adalah para pembicara melakukan pendekatan keibuan pula. Apa yang akan dilakukan seorang ibu jika tiba-tiba anaknya sakit dan memerlukan pertolongan rumah sakit dan diagnosa para medis untuk mendapatkan solusi kesembuhan ?.
“Seorang Ibu tidak akan mikir biaya lagi.Kalau dia memiliki cadangan uang yang semula untuk tabungan, maka uangnya itu akan dikeluarkan untuk biaya pengobatan sang anak hingga sembuh,” kata Dedeh, begitu pula jika ibu itu adalah sebuah negara.
Jika ditarik ke unit terkecil yaitu keluarga, Fatimah lebih mudah menerapkan pada anggota keluarganya untuk social & physical distancing ( jaga jarak). Tapi giliran mengedukasi kepada masyarakat memang tidak mudah.
Apalagi dengan data yang kurvanya terus naik, kebijakan yang berubah-ubah dan istilah karantina diri, lockdown hingga Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSPB) yang belum tentu dipahami dan dipatuhi semua orang.
Memang memprihatinkan juga sebagai negara dengan mayoritas penduduknya adalah umat muslim terbesar di dunia, negara justru tidak membuat kebijakan yang mengacu pada syariat Islam yang sudah memiliki solusi dari semua musibah yang pernah terjadi di muka bumi.
Peserta lainnya Sawitri mempertanyakan hal ini pula karena wabah sudah terjadi sejak dulu di jaman para Nabi dan Rasululah masih hidup. Wabah terulang dan terpola dan sekarang melanda seluruh dunia.
” Ada makna dan pelajaran apa yang bisa kita petik dari pandami global ini ?,” tanya Sawitri dengan kalimat sedih dan keprihatinan yang dalam.
Umi Irene Handono membenarkan di jaman Rasululah wabah penyakit yang cepat menular seperti kusta juga sudah terjadi dan memakan banyak korban dan tuntunannya ada pada Hadist riwayat Imam Bukhari. Isinya ” Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.”.
Makna hadist itu terbukti bahwa jaga jarak dan karantina diri dianjurkan sejak jaman Rasululah. Tujuan terbesar hukum Islam sebenarnya adalah melindungi manusia dari segala bahaya. “Memprioritaskan keselamatan dan kemaslahatan serta menolak mara bahaya, terlebih terkait dengan keselamatan jiwa raga,” pungkasnya
Di jaman Rasululah juga ada waba’ suatu penyakit yang menimpa banyak orang di suatu daerah tertentu atau sekarang disebut wabah atau epidemi. Jenis penyakitnya dapat berbeda dari jenis penyakit kebanyakan bahkan jenis penyakit yang belum pernah terjadi sebelumnya atau sesudahnya.
Menghadapi pandemi saat ini, Iffah Ainur Rachmah mengingatkan bahwa dalam Islam ada 3 pilar yaitu pilar pertama ketakwaan individu. kedua adalah masyarakat yang peduli dan ketiga adalah Negara yang menerapkan syariat.
Ketiga pilar harus kompak karena jika pemerintah terus menerus membuat kebijakan yang salah dan masyarakat dan individu hanya diam tidak peduli kepada kebijakan salah maka kasus Covid-19 akan terus melambung.
Sebagai individu tidak peduli pada kondisi sesama umat seperti tetangganya yang terpaksa puasa karena tidak bisa membeli makanan maka di kehidupan akhirat akan dimintai pertanggungan jawab pula.
Dalam Islam, musibah adalah takdir dari Allah SWT. Pihak yang bertanggung jawab dalam musibah adalah negara sebagai penguasa/ pemimpin. Oleh karena itu negara bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya
Setiap hari, setiap nyawa melayang akibat Covid-19 ini akan dimintai pertanggungan jawabnya oleh Allah SWT dari para pemimpin pembuat kebijakan. Karena itu kepedulian umat sangat dibutuhkan. Miliki sikap amar ma’ruf nahi munkar yang ditekankan dalam mengantisipasi maupun menghilangkan kemunkaran dimana tujuan utamanya menjauhkan setiap hal negatif di tengah masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.
Ajaran Islam merupakan jalan hidup (way of life) yang senantiasa memberikan ketentraman jiwa bagi seluruh umat manusia dan sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin). Oleh karena itu Islam bukan hanya untuk Muslim tapi untuk seluruh umat manusia.
” Makanan halal bukan hanya untuk Muslim tapi untuk semua penduduk dunia. Sayangnya di negara kita hukum syariah belum diterapkan kecuali urusan ibadah yang diterapkan oleh individu dan muamalah yang baru diterapkan sebagian masyarakat. Muamalah merupakan aturan Allah untuk manusia dalam bergaul dengan manusia lainnya ( berinteraksi).” kata Iffah.
Sementara yang harusnya diterapkan negara yaitu uqubat ( sanksi), sistem ekonomi, pemerintahan, sospol dan jihad belum diterapkan sepenuhnya dengan tuntunan syariat. “Jihad dalam Islam artinya berjuang dan berusaha untuk menata masyarakat yang lebih baik dan bermartabat, seperti damai dan saling menghormati, bukan seperti yang digambarkan saat ini,”
Dedeh Wahidah Ahmad mengatakan wabah dan bencana hadir atas izin Allah SWT dan datang berulang-ulang, berpola tapi manusia biasanya tomat alias tobat sesaat. Manusia mencari rezeki dari Allah dan karunia dari-Nya dengan berdagang dan aktivitas lainnya.
Semua itu agar manusia bersyukur kepada Allah SWT atas kenikmatan dan mentauhidkan-Nya dalam ibadah, mentaati-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.
Namun sifat manusia yang terus melanggar, pemimpin yang tidak amanah, rakyat yang tidak peduli dan tidak disiplin adalah bukti bahwa penghuni bumi ini sudah melakukan hal-hal yang melampaui batas.
“Melalui wabah Covid-19, maka orang-orang yang beriman bisa mengambil hikmahnya bahwa Allah akan menyelamatkan umat Muhammad SAW, untuk restart dab kembali ke ajaran inti,”
Coba renungkan, ujar Dedeh, setiap kali Ramadhan, sebagian dari kita malah berbuka puasa di mall-mall bahkan kehilangan sholat karena berbuka puasa bersama komunitasnya. Dulu kita lebih mementibgkan acara seremonial dan besok diingatkan Allah untuk fokus ke inti puasa, fokus di rumah dan beribadah.
Kita semua menjadi saksi bahwa negara Adi Daya, Adi Kuasa semua takluk pada virus tidak terlihat mata. Sistem kapitalisme, ideologi sekularisme, sifat individu maupun negara yang mengambil keuntungan diatas musibah serta nyawa para korban yang terabaikan akibat salah kebijakan maka pertanggungan jawabnya adalah langsung pada sang Khalik.
Jangan lupa ada sistem Islam untuk menyelesaikannya. Tobat individu, tobat negara bukan hanya mengakui, menyesali kesalahan tapi hijrah ke sistem kepemimpinan yang Islami, tutup Dedeh.