KRUI, Lampung, bisniswisata.co.id: Tulisan Ija Mit Krui yang artinya’ Ayo Datang Ke Krui di topi hitam yang diletakkan Lisa di dashboard mobil Kijang Inovanya membuat saya dan rombongan bersemangat dengan tujuan kami pagi itu melewati jalan raya provinsi menuju dermaga Tebakak, Provinsi Lampung Barat.
Jalan lurus yang disisi kiri kanannya ada perbaikan pembatas masih terlihat agak sepi. Maklum kami keluar rumah dari daerah Gunung Kemala di Krui baru jam 7.00 WIB pagi. Selingan tanjakan, turunan dan lebatnya pepohonan di kiri kanan jalan serta rumah-rumah tradisional membuat mata saya tak berkedip menikmati perjalanan.
Untunglah Lisa dengan piawai mengendarai mobilnya sehingga tak sampai satu jam kami sudah menepi di pinggiran pantai Tebakak. Berbeda dengan pantai yang berada di daerah Selatan ataupun Tengah di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, pantai di bagian Utara ini dihiasi batu-batu hitam.
Namun tidak seperti di Belitung, formasi bebatuan di Tebakak tidak rapat berderet dan cendrung datar namun dari kejauhan dengan paduan warna laut yang biru berlatar belakang Pulau Pisang di kejauhan, bebatuan hitam dan formasinya yang unik ini menambah keindahan pemandangan.
Ketika Lisa mencari parkir, rombongan saya yang terdiri dari lima orang langsung turun dan melihat tiga orang calon penumpang perahu duduk di bawah saung di pinggir jalan yang langsung tersambung dengan pantai.
Sebuah papan kayu bertuliskan: “Pelabuhan Tebakak, Pekon Tebakak Way Sindi. Di sinilah sarana penyebrangan menuju Kecamatan Pulau Pisang. Dermaga yang sebelumnya saya bayangkan di parkir kapal-kapal kayu seperti di pinggiran Danau Toba, Sumatra Utara ternyata kosong melompong.
Dari jauh terlihat dua buah perahu dengan ‘sayap’ bambu di kiri-kanannya berlomba menerjang ombak ke tepi dermaga Tebakak. Agak lama kami harus memutuskan mau naik perahu yang mana karena kedua awak perahu merasa berhak mendapatkan penumpang.
Kalau penduduk sekitar cukup membayar Rp 10 ribu sekali menyebrang maka kami sebagai turis dituntut membayar Rp 200 ribu per perahu isi 5 orang , di tambah awak perahu sebanyak 6 orang penyebrangan ke Pulau Pisang total dalam satu perahu 11 orang.
Ibarat pesawat, upaya perahu untuk lepas landas membelah gelombang Samudra Hindia perlu di dorong oleh enam awak. Tinggi gelombang antara satu hingga satu setengah meter membuat baju banyak terciprat air laut terkena hempasan ombak.
Artis dan penyanyi religi Liv Vhiena yang ikut serta dalam rombongan melantunkan Asmaul Husna dan mendoakan para penarik perahu bisa tetap mendapat rejeki di tengah ganasnya ombak lautan. Hika beruntung kerap ada kelompok lumba-lumba menemani penyebrangan ini.
Belum lagi mencapai Pulau Pisang, rasa iba menyergap betapa susah payahnya warga yang ingin menyebrang meski hanya sekitar 15 menit karena tidak ada kapal reguler. Yang ada hanya sampan kayu dengan mesin motor yang tiap hari dan harus ber ‘damai’ dengan tingginya ombak.
Kemana kepedulian pemerintah daerah hingga puluhan tahun tidak menyediakan dermaga dan transportasi yang layak bagi warganya? . Kemana kepedulian para konglomerat yang mengakuisisi pulau-pulau cantik di Kabupaten Pesisir Barat untuk kepentingan kerajaan bisnisnya?.
Padahal dengan memberikan satu kapal boat sebagai bentuk kepedulian sosial mereka sudah cukup mengangkat Pulau Pisang sebagai daerah tertinggal menjadi destinasi wisata.
Turun dari perahu sejumlah motor yang sudah dipesan Lisa menunggu di bibir pantai. Laut biru, langit biru; pasir pantai yang putih bersih sungguh memukau. Jalan-jalan setapak dengan lebar sekitar dua meter menjadi infrastruktur utama di Pulau Pisang ini.
Venda, staf camat Pulau Pisang bergabung bersama kami untuk keliling pulau. Pulau Pisang merupakan nama pulau sekaligus nama salah satu kecamatan di Kabupaten Pesisir Barat. Sebanyak 1.400 kepala keluarga yang tinggal di pulau seluas 148,82 hektare. Pulau Pisang bisa ditempuh dalam 45 menit dari Kuala Stabas dan sekitar 15 menit dari Desa Tebakak yang dilewati jalan Trans Sumatra menuju Palembang, Bengkulu hingga ke Aceh.
Tebakak adalah sebuah desa di Kecamatan Karya Penggawa yang merupakan daratan terdekat dengan pulau ini. Sebuah kecamatan baru di Kabupaten Pesisir Barat yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan.
Di bibir pantai saya sempat terpaku melihat titik berangkat Tebakak dari kejauhan, terbayang perjuangan 15 menit lalu ‘bertarung’ menaklukan ombak lautan yang menghadap Samudra Hindia hingga kapal kayu ( jukung ) ini mendarat di atas hamparan pasir pantai.
Panggilan Dewi Nurani dan Liv Vhiena, anggota rombongan menggugah lamunan. Melompat dari jukung saat ombak lari ke laut dan berkejaran dengan ombak disertai jeritan kebasahan membuat acara turun dari jukung jadi seru-seru menegangkan.
Tapi juga bersemangat menjelajah karena ada info Taufik Kiemas, suami mantan presiden Megawati juga lahir di pulau ini. Wikipedia menyebutkan Dr. (HC) H. Muhammad Taufiq Kiemas lahir di Pulau Pisang, Pesisir Barat Lampung pada 31 Desember 1942 dan meninggal di Outram, Singapura pada umur 70 tahun.
Di atas motor nampak desa bersahaja dengan warga yang lebih banyak beraktivitas di dalam rumah, terutama para perempuan. Sedangkan laki-laki ada yang menjadi nelayan dan berkebun. Jalan desa berupa setapak kecil yang cukup untuk dilewati motor. Tak ada mobil di sini.
Bangunan-bangunan rumah banyak telah tua dan tak terurus, ditinggalkan penghuninya yang telah pindah ke luar pulau. Umumnya rumah-rumah berada di pinggir pantai, sementara di sisi kiri pemandangan laut dengan gradasi warna yang cantik.
Spot yang dikunjungi a.l Batu Tiga, batu Ghuri, Batu Liang, Sekolahan, Pantai Dermaga dan melongok perajin tenun songket Pulau Pisang Salsabila yang juga menbuka homestay. Entah mana dulu yang disambangi karena saya memilih menikmati saja kemana arah rombongan karena tinggal duduk manis di motor.
Menyusuri bagian kiri Pulau Pisang, kita akan menemukan tiga batu besar yang tersebar di bibir pantai. Sebagian besar pantai ini terbentuk dari lapisan batu karang yang dihantam ombak. Disini bisa ikut memancing bersama warga sekitar.
Spot lain yang paling sering dikunjungi wisatawan adalah Batu Bughi (Ghuri). Spot yang termasuk ke dalam Pekon Labuhan ini merupakan salah satu spot yang paling banyak dijadikan lokasi selfie karena ada bangkai kapal yang terdapat di pantai. Ini merupakan kapal pengeruk yang berasal dari Padang, yang terdampar akibat hantaman ombak yang sangat besar.
Lama-lama motor menapaki jalan setapak naik turun menapaki jalan kecil diantara pepohonan dan ke un-kebun warga. Ada bunga yang unik berwarna merah menyembul dengan tumpukan bulatan merah di tengah dedaunan yang menarik perhatian.
Kami sudah jauh berjalan dan tiba di satu spot ekstrim karena melewati jalur yang lebih menantang. Motor kami hentikan di pinggir sebuah jembatan kemudian berjalan kaki masuk ke hutan dan semak. Jalan masuknya memang tidak mulus selain itu kita juga melewati sebuah kuburan tua yang dipagari oleh kayu dan beratap genteng.
Kuburan ini persis di pinggir jalan saat kita mau masuk. Lalu tidak jauh di depannya terdapat sebuah lubang berukuran 1 meter mirip seperti sumur tua. Kami pun melanjutkan perjalanan melewati tanaman berdaun panjang dan berduri dan tiba di spot Batu Liang merupakan salah satu lokasi untuk menikmati sunset dari atas bukit jurang curam melihat hempasan ombak menyentuh bebatuan.
Kami sempat melihat bangunan sekolah yang dibangun sejak Jaman Belanda. Di Pulau Pisang memang hanya ada dua sekolah salah satunya SDN Pasar Pulau Pisang sehingga dianggap bersejarah dan satu SMP. Untuk pendidikan lanjutan harus keluar pulau.
Bangunan asli berdiri di bagian depan, terdiri dari 5 ruang kelas. Sedangkan bangunan tambahannya ada di belakang. Bentuk pintu yang tinggi dan lebar, mencirikan arsitektur bangunan gaya Eropa. Tanpa jendela namun dinding bagian atas dibuat berlubang-lubang sebagai sirkulasi udara.
Alhamdulilah akhirnya mampir disebuah rumah kosong milik keluarga Venda, staf Camat dan disuguhi makan siang berupa gulai buah kelor, ikan segar goreng, sayur lodeh daun katu, kentang cabai merah, petai rebus, dan sambal pedas yang menjadi menu wajib di pulau.
Sambil makan mendengarkan sejarah Pulau Pisang yang konon kalau melihat sekeliling pulau, dari atas ketinggian maka bentuknya menyerupai buah pisang.
Namun ada versi yang mengatakan pulau ini banyak ditumbuhi pohon pisang. Versi lainnya penemu pulau ini tiba ke pulau menggunakan batang pisang yang dibuat menjadi perahu. Oleh karena itu pulau ini diberi nama Pulau Pisang.
Selain keindahan pantainya yang mempesona, Pulau ini juga memiliki spot yang paling sering dikunjungi adalah Pantai Dermaga yaitu adanya tiang-tiang beton sisa bangunan dermaga yang rusak tergerus ombak.
Sisa-sisa bangunan dermaga yang menjorok ke laut memungkinkan pengunjung untuk loncat dan menyelami keindahan laut dan menikmati airnya yang segar dan ini menjadi area yang cukup aman untuk berenang.
Saat kami datang, Pulau Pisang belum dialiri listrik PLN, jadi untuk memenuhi kebutuhan listrik warga berswadaya membangun pembangkit listrik sendiri dengan genset.Makanya usai makan siang diajak ke perajin tapis ( songket) khas Pulau Pisang langsung terpikir mereka sepenuhnya mengerjakan produk dengan mengandalkan matahari.
Namanya Salsabila, penyulam tapis sekaligus pemilik homestay. jika pengunjung Pulau Pisang mau menginap, bisa tidur di rumahnya sambil menikmati proses pembuatan tapis di ruang tamunya. Homestay biasanya memberi makan tamu dengan makan 3 x dan bertarif Rp 150 ribu- Rp 200 ribu/ per malam/ per orang.
Ternyata penduduk Pulau mampu menghasilkan karya yang luar biasa, kain tradisional khas Lampung. Berbeda dengan songket Palembang yang dibuat dengan menggunakan alat khusus, ternyata, tapis Lampung dibuat dengan cara disulam atau dijahit satu persatu.
Sebagai pekerjaan sampingan selain mengurus rumah tangga, selembar kain tapis yang bisa diselesaikan selsma 2-3 bulan harganya termurah Rp 2-3 juta ke atas. Hasilnya terutama untuk membeli bahan baku menenun tapis lagi dan membiayai anak sekolah.
Untuk itu disiasati juga membuat tapis sesuai pesanan dan produk umumnya di jual di luar Pulau Pisang juga di toko online dengan harga yang melambung bahkan reseller yang menikmati keuntungan. orang Perancis bilang C’est La Vie, itulah hidup !.
Alhasil kami juga tidak membeli produknya karena hanya membawa ATM dan tidak ada fasilitasnya di Pulau. Perajin juga tidak membuat produk kecil yang harganya lebih ekonomis seperti dompet, tempat kosmetik, tempat lipstik, topi atau barang lainnya yang bisa jadi souvenir.
Sambil berjalan menuju jukung di pantai untuk kembali ke Krui, ibukota Kabupaten Pesisir Barat, Lampung saya terpikir agar staf camat menyampaikan ide-ide seperti lomba bersepeda keliling pulau mirip-mirip lomba Tour de Singkarak misalnya, cara cepat mensejahterakan warga setempat dan mendongjrak pariwisata Pulau Pisang.