DENPASAR, bisniswisata.co.id: MENUMBUH kembangkan industri “quality tourism/pariwisata berkualitas, berkelanjutan” bukan mimpi. Tetapi usaha yang wajib diperjuangkan bersama stake holder pembangunan di Bali. Disaat kondisi perekonomian dunia kurang kondusif terhadap jasa kepariwisataan, selayaknya semua pihak “mulat sarire”, berfikir jernih dalam “senyap” pergerakan wisata.
Pembahasan satu masalah bersama dalam “senyap” diyakini menghasilkan perencanaan program lebih realistis, rasional, terukur untuk pencapaiannya, dengan kunci utama sepakat berkolaborasi. Mewujudkan kerja berkolaborasi didunia jasa quality tourism diyakini menghasilkan kesejahteraan bagi pelaku industri, wisatawan dan masyarakat di destinasi. “Tidak ada yang tertinggal, tercecer di belakang pembangunan pariwisata berkualitas tersebut”.
Demikian kesimpulan sederhana hal bahasan “Quality Tourism untuk Bali” pada ajang Sakira (Saatnya Kita Bicara) DPD ASITA Bali, yang diselenggarakan di Gedung Bali Tourism Board, Selasa, 25 Januari sore.
Hadir selaku pembicara dan pembahas Bagus Sudibya (praktisi), Dr. Ni Ketut Arismayanti, S.St.Par, M.Par (akademisi) dan Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta. Sakira dibuka Ketua DPD ASITA Bali, Putu Winastra didampingi Penasehat dan kelompok Ahli ASITA Bali, dengan moderator Nyoman Subrata (Humas DPD ASITA Bali). Anggota ASITA yang hadir menerapkan ProKes COVID-19 dengan ketat.
Para pembicara, pembahas dan peserta Sakira, menyadari ekosistem kepariwisataan berkualitas, bekelanjutan di Bali belum sepenuhnya bertumbuh. Dapat dilihat dari “perwajahan” kinerja kepariwisataan yang belum memberikan “manfaat” bagi stake holder pembangunan – baik terhadap alam, manusia (pelaku, wisatawan, masyarakat) dan Ipoleksosbud– sebagai bonus tujuan akhir pembangunan ekonomi melalui kepariwisataan.
Secara akademis, doktor Arismayanti memaparkan hasil kajian lapangan hal kesenjangan antar sektor, antar wilayah pembangunan kepariwisataan. Kesenjangan yang memerlukan komitmen semua pihak, khususnya pemegang kebijakan, dalam kolaborasi mencari solusi dengan target perbaikan, bukan pembangunan hal baru.
“Quality tourism itu, memberikan nilai tambah lebih atas unggulan yang ada,” ungkapnya.
Pembangunan kepariwisataan berkualitas, berkelanjutan – sesuai UU Kepariwisataan dan Perda Bali hal Pariwisata Budaya—selayaknya juga mengacu pada standar green development yang telah disepakati dunia. Hal konsep hidup, berkehidupan di Bali, nilai keberlanjutan tersebut ada dalam konsep Tri Hita Karana, dimana tataran nilai- nilai tradisi Hindu di Bali ini telah menjadi inti Kode Etik Kepariwisataan Global.
Wacana
Apakah kemudian Bali tidak menjalankan ekosistem pariwisata berkualitas, berkelanjutan tersebut? Secara praktisi, tegas Bagus Sudibya, konsep pariwisata berkelanjutan telah dilaksanakan pelaku industri di Bali. Wacana quality tourism—meski pun belum sepakat dalam wujud konkrit pemahamannya—selalu menjadi trending saat kepariwisataan di hantam masalah. Dari krisis Teluk, Bom I, Bom II, krisis bencana Gunung Agung dan sekarang pandemi COVID-19.
“Kita sudah berbicara hal kualitas, sudah bicara carrying capacity. Bahwa luasan pulau Bali tetap yang bertambah manusia, pengunjung dan teknologi. Tetapi tidak ada rencana detail untuk mencapainya,” ungkap Bagus Sudibya.
Saat itu, lanjut Bagus Sudibya, Bali membandingkan diri dengan Singapura– yang tetap mampu menjaga kenyamanan wisatawan—dengan angka kunjungan wisatawannya. Disektor pertanian—inti budaya Bali dengan Hindu nya–, masih dikelola secara tradisional. Sementara produk UMKM dinilai banyak kalangan belum mencapai standar ekspor, diperlukan pendampingan secara inten.
Perencanaan pembangunan itu penting sehingga pembangunan di pulau kecil Bali tidak sporadis. Fakta di lapangan hal tersebut telah terjadi, overlapping dimana- mana, kompetisi antar kabupaten. Saat supply dan demand tidak seimbang, harga jadi korban pertama, selanjutnya meminggirkan keberlanjutan, paparnya.
Strategi mewujudkan pariwisata berkualitas, berkelanjutan, tegas Bagus Sudibya, tergantung kualitas produk, supply, demand terjaga, diyakini akan dicari dan dikunjungi, konsumen berkualitas, bertanggungjawab atas aktivitasnya. Diingatkan, produk berkualitas memerlukansumber daya manusia berkualitas. Jangan lupa local genius yang ada, keilmuan dapat dicari di pusat- pusat pendidikan kepariwisataan dunia, tetapi pemahaman, penerapan hal moral dalam industri hospitality , wajib menjadi prilaku, tegasnya.
Titik Ungkit
Dalam kegamangan kepariwisataan berkualitas, berkelanjutan, Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta, memaparkan bahwa Klungkung mampu menggapai perbaikan dengan strategi berkolaborasi. Diakuinya, Klungkung belum memiliki grand desain hal pembangunan kepariwisataan. Namun dengan perangkat dan praktik yang sudah berkembang di lapangan, Pemkab Klungkung melanjutkannya dengan melakukan penyempurnaan.
Klungkung menjadikan kawasan tiga pulau Nusa Penida sebagai titik ungkit pembangunan perekonomian kabupaten Klungkung. Sejak masa Bupati dokter Tjokorde Gde Agung, Klungkung telah digadang- gadang sebagai “telur emas” pariwisata Bali di Klungkung. Namun tidak tereksekusi dengan baik, sehingga tidak memberi dampak signifikan terhadap daerah.
Konsep one gate destination Nusa Penida, diharapkan mampu membenahi pengelolaan potensi kepariwisataan di Nusa Penida. Sedang dalam proses apakah akan menjadi Bumda, Perusda, ungkap Suwirta. Pasalnya pembangunan daerah harus memberikan tambahan nilai ekonomi baik bagi pemerintah daerah dan mensejahterakan masyarakatnya.
Nusa Penida sedang dalam pembenahan 10 destinasi. Pararel dengan upaya pembangunan fisik, dilakukan promosi produk menggunakan semua alat promosi. Namun, kolaborasi antar kabupaten se Bali akan menjadi penentu keberhasil kabupaten per kabupaten dalam membangkikan perekonomian melalui kepariwisataan.
Nusa Penida dengan delapan status nasional, tidak cukup dipromosikan, dipasarkan oleh Pemkab Klungkung. Ke “pasar” domestik mau pun internasional, Klungkung dengan Nusa Penida, selayaknya berada di bawah payung Bali. Jika pemerintah di provinsi belum mampu melakukannya, upaya ini menjadi salah satu fungsi tugas ASITA sebagai biro perjalanan wisata. Institusi yang mengelola pasar dan produk wisata. Asosiasi berkekuatan hukum yang mempertemukan pasar dengan produk wisata, mempromosikan, memberikannya nilai tambah, serta mendampingi pengembangannya.*