INTERNATIONAL TRANSPORTASI

Potret Suram Industri Penerbangan, Butuh Waktu untuk Recovery

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Perjalanan internasional terhenti sejak Pandemi COVID-19. Hampir seluruh negara menutup perbatasan demi mencegah penyebaran virus yang bergerak secara eksponensial ini. 

Perusahaan penerbangan menjadi salah satu pihak yang paling buruk terdampak COVID-19. Banyak rencana perjalanan dibatalkan karena orang-orang takut terinfeksi virus corona.

Kekhawatiran terserang virus bukan satu-satunya alasan banyak orang enggan melakukan perjalanan. Faktor lain adalah diberlakukannya protokol kesehatan yang ketat dan pembatasan perjalanan karena adanya kebijakan lockdown sejumlah kota dan negara. Pelambatan ekonomi juga ikut menyumbang turunnya permintaan perjalanan. 

Keadaan diperparah dengan banyaknya orang yang mulai beralih melakukan pertemuan secara virtual. Banyak event seperti seminar, workshop, hingga konferensi internasional dilakukan secara virtual.

Sebagai perbandingan, tengoklah data yang dirilis majalah mingguan internasional terbitan Inggris, the Economist. Di era sebelum pandemi, penerbangan komersial dapat mencapai tak kurang dari 100.000 dalam sehari. Tahun lalu, tercatat ada 4,5 miliar penumpang melakukan penerbangan. 

Angka ini kini merosot tajam. Di Eropa saja, kapasitas penerbangan menurun 75 persen. Pemulihan diyakini tidak akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Jika keadaan tak membaik, para pakar khawatir maskapai penerbangan Eropa tak akan sanggup bertahan lagi.

Kajian CAPA (Center for Asia-Pacific Aviation), lembaga konsultan dan analisis penerbangan berbasis di Sydney, Australi, bahkan memaparkan kondisi lebih suram.

Menurut studi CAPA jika keadaan terus berlangusng dan pemerintah tak ikut membantu, maka lebih separuh dari 800 maskapai penerbangan di seluruh dunia akan bangkrut.

“Maskapai penerbangan di seluruh dunia menghadapi krisis paling parah dalam sejarah penerbangan. Beberapa perusahaan [bahkan] sudah bangkrut, [sebagian] menuju kebangkrutan,” tulis CAPA.

Hingga Oktober 2020 tercatat ada 43 perusahaan penerbangan menyatakan diri telah bangkrut. Mereka antara lain Thai Airways, Avianca, Air Mauritius, Virgin Australia, Flybe, City Jet, Atlas Global dan Air Italy.  

Sepinya penumpang juga memaksa sejumlah bandara berhenti beroperasi. Di Eropa, dari 740 bandara yang beroperasi, 193 di antaranya bangkrut dan tutup. Akibatnya puluhan ribu tenaga kerja di industri penerbangan dunia dalam proses pemutusan hubungan kerja.

Situasi di Indonesia 

Situasi industri penerbangan di Indonesia tak ubahnya dengan situasi industri penerbangan dunia. Sebelum pandemi, tercatat ada 1.000 sampai 1.100 penerbangan dalam sehari di bandara Soekarno-Hatta. Belakangan, hanya ada 400 hingga 500 penerbangan. 

Secara nasional, dalam kondisi normal, ada 5.000 hingga 6.000 penerbangan dalam sehari. Sekarang hanya 1.500 sampai 2.000 saja. Sementara, lalu lintas udara di atas Indonesia atau over flying sebelum pandemi tercatat 300 sampai 400 penerbangan per hari. Sekarang hanya 50 hingga 75 penerbangan. 

Minimnya penumpang tentu berdampak pada ketahanan perusahaan penerbangan. Sulit membayangkan, mereka dapat meraup keuntungan di tengah pandemi. 

Begitupun, maskapai penerbangan Indonesia masih menjual tiket dengan harga murah. Tujuannya tentu untuk menarik penumpang.

Itulah cara paling mungkin saat ini dilakukan. Setidaknya mereka mendapatkan cash yang amat dibutuhkan untuk sekadar bertahan. Tentu saja, hal ini tak bisa berlangsung lama. 

Ditemukannya vaksin virus corona memberi harapan bahwa pemulihan ekonomi akan terjadi dan orang kembali melakukan perjalanan. Meski menurut para pakar, pemulihan permintaan akan membutuhkan waktu beberapa tahun. Jalan masih panjang.

 

 

Rin Hindryati