LOMBOK, bisniswisata.co.id: Gunung Rinjani secara mengejutkan bertopi awan. Gunung di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) ini, memang menyajikan keindahan visual, bahkan dinilai sempurna sehingga menjadi ajang selfie masyarakat dan wisatawan. Namun di balik keindahan topi awan, ada potensi bahaya yang mengancam warga di lereng gunung, maupun wisatawan yang mendaki Rinjani bahan dunia penerbangan yang melintas kawasan itu.
“Topi awan disebut sebagai awan altocumulus lentikular. Awan ini merupakan awan yang umumnya tegak lurus terhadap arah angin, dan seringkali menyerupai bentuk lensa. Memang, awan jenis ini biasanya ditemui di sekitar area gunung,” lontar Kepala Sub Bidang Prediksi Cuaca BMKG Agie Wandala Putra seperti dilansir laman Tempo, Rabu (17/07/2019).
Dilanjutkan, awan lentikular terbentuk saat udara bergerak melewati pegunungan, sehingga mendapat pendinginan yang cukup untuk terjadi kondensasi. Awan lentikular memiliki karakteristik spesial karena posisinya relatif tetap dan tak bergerak layaknya awan jenis lain.
Awan topi menandakan terdapat aktivitas gelombang gunung dengan aliran melengkung yang memicu berbagai fenomena cuaca ekstrem. Sumber: meted.ucar.edu Awan jenis ini juga dapat berada pada lokasi yang sama dalam periode lama. Faktor pendukungnya yaitu udara yang naik di atas pegunungan secara berkelanjutan. “Selanjutnya terkondensasi dan menghasilkan awan,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, awan ini juga dapat terbentuk di atas dataran yang luas karena perbedaan kecepatan angin pada berbagai lapisan akibat adanya front atau pertemuan massa udara basah dan massa udara dingin.
Fenomena alamiah itu lazim terjadi karena ada perbedaan suhu dan tekanan serta faktor topografi, tapi kemunculannya tergolong jarang. Momen itu menurutnya patut diabadikan karena bagian dari keindahan alam. “Terkadang lapisan payungnya bisa lebih dari satu.”
Kejadian awan topi pun bisa berulang di suatu lokasi namun periodesasinya tidak pasti. Awan itu biasanya disertai udara dingin di sisi lereng gunung tapi tak membahayakan. “Kalau terhadap penerbangan agak sedikit bisa menghasilkan turbulensi karena ada faktor gelombang gunung,” katanya.
Peneliti meteorologi di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Erma Yulihastin mengatakan, gelombang gunung merupakan suatu sistem aliran gelombang tampak di atmosfer dan terbentuk di atas angin yang arahnya menabrak suatu hambatan atau penghalang berupa gunung. “Hal ini terjadi karena ada angin yang bertiup sangat kuat itu memiliki arah tegak lurus terhadap penghalang atau gunung.”
Selain topi awan, sistem gelombang gunung menghasilkan jenis awan lain, yaitu lenticular dan awan rotor. Gelombang gunung, kata Erma, sangat berbahaya karena dapat berpotensi menyebabkan turbulensi pada cuaca cerah atau disebut Clear Air Turbuence (CAT) yang dapat berakibat fatal bagi pesawat yang melintas. “Kasusnya pernah terjadi pada pesawat terbang Boeing 707 di dekat Gunung Fuji, Jepang, pada 1966,” kata
Selain itu, gelombang gunung dapat memicu pembentukan turbulensi berupa badai angin kencang yang menuruni lereng (downslope wind) dan geser angin di dekat permukaan atmosfer. Badai angin dahsyat yang menyebabkan kecelakaan pesawat pernah terjadi di Colorado, Amerika Serikat, pada 1999.
Menurut Erma, keberadaan awan topi dapat menjadi penanda suatu sistem gelombang gunung yang terbentuk di atasnya dan terus menjalar serta memiliki komponen-komponen yang dapat memicu kondisi cuaca ekstrem nan berbahaya.
Dampaknya seperti hujan deras orografis merata yang dapat terjadi di bagian belakang sisi gunung, CAT, dan badai angin yang menuruni lereng. Badai angin itu di beberapa wilayah disebut masyarakat dengan sebutan seperti angin bohorok atau angin kumbang. (NDY)