Kehadiran Crisis Centre salah satu bentuk pelayanan dan jaminan keamanan bagi wisman yang berkunjung ke Indonesia dan berada di zona bahaya wabah. ( Foto Kemenparekraf)
BANGKOK, bisniswisata.co.id: Pandemi COVID-19 menghadirkan ancaman besar bagi ekonomi global dan, khususnya, industri perjalanan dan pariwisata global dengan meningkatnya kerugian yang sudah mendekati US $ 100 miliar dan lebih dari 50 juta orang terancam kehilangan pekerjaan di dunia, kata Mario Hardy, CEO Pacific Asia Travel Association (PATA), kemarin.
Industri perjalanan dan pariwisata menghadapi krisis eksistensial dan perlu bertindak sekarang untuk mempertahankan dan melindungi sektor yang merupakan kontributor vital bagi mata pencaharian ekonomi jutaan orang. orang di seluruh dunia.
Pacific Asia Travel Association (PATA) sedang mendirikan crisis center untuk mengumpulkan data dan informasi yang dapat diandalkan untuk membantu semua pemangku kepentingan industri saat mereka menghadapi krisis saat ini.
“Kami saat ini meminta pemerintah, dan organisasi internasional dan nasional mengumpulkan informasi tentang paket bantuan yang tersedia untuk bisnis di negara masing-masing,” kata Mario Hardy.
Dia mengatakan bahwa PATA juga berencana untuk menambah data dan informasi lebih lanjut yang akan berguna bagi organisasi. ” Kami tidak dapat melakukan ini sendirian dan kami mendorong pemerintah, mitra, anggota dan, asosiasi dan organisasi internasional dan nasional untuk membantu kami dan mendukung inisiatif ini,” tambahnya.
Industri ini menghadapi salah satu ancaman terbesar yang belum pernah dilihatnya dan ini bukan waktu untuk persaingan antara individu dan organisasi, tetapi waktu untuk kerja sama yang terkoordinasi antara semua pemangku kepentingan industri.
“Kita perlu mengambil tindakan sekarang, dan hanya dengan bekerja bersama kita dapat berharap untuk membangun industri perjalanan dan pariwisata yang lebih tangguh, bertanggung jawab, berkelanjutan dan lebih kuat,” kata Hardy
Dia menambahkan bahwa kita semua harus terus melakukan bagian kita dan melindungi kesehatan keluarga kita, karyawan dan masyarakat. Selama masa-masa seperti ini, sangat penting untuk memiliki akses ke data dan informasi yang andal untuk menerapkan strategi pemulihan yang terukur dan seimbang.
Indonesia
Di Indonesia, tepatnya dari Bali sebagai destinasi wisata utama Indonesia yang pernah mengalami peristiwa tragis Bom Bali 1 pada 2002 dan Bom Bali II pada 2005, keinginan membentuk crisis center juga diungkapkan IGM Dwikora Putra, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Bali.
“Pemerintah Provinsi Bali sesegera mungkin membentuk Crisis Center atau pusat informasi terpadu terkait dengan informasi seputar wabah virus corona yang tengah menjadi sorotan global,” ujarnya seperti di kutip dari Balitribune.co.id.
Kehadiran pusat informasi terpadu dimaksudkan agar informasi yang keluar masuk hanya melalui satu pintu. Jadi menurut hematnya, tidak semua orang bisa memberikan keterangan, tapi cukup satu pintu informasi.
Ia juga mengakui, simpang siurnya pemberitaan akan berdampak pada sektor pariwisata yang notabene penopang Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bali.
“Teman-teman pers harus menyadari bahwa kita hidup di Bali yang mengandalkan pariwisata, kalau Bali terpuruk lantas bagaimana kita. Jadi, baik pemerintah ataupun pers mesti memiliki sikap yang sama dalam menghadapi wabah virus corona,” sebutnya.
Dwikora dengan terus terang tidak menginginkan timbul persepsi dalam masyarakat, ternyata teror media lebih ganas dari corona itu sendiri akibat pemberitaan yang kurang tepat.
“Sebelum ada konfirmasi yang tepat dari pihak berwenang, jangan lantas memvonis seseorang positif corona. Mungkin saja yang bersangkutan memiliki gejala serupa dengan corona, tapi kan harus menunggu hasil lab terlebih dahulu,” ucapnya.
Dari Jakarta, Forum Wartawan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyesalkan tidak ada upaya dari Kementrian Pariwisara dan Ekonomi Kreatif untuk menghidupkan crisis center pariwisata untuk terus up date dengan industri wisata global tentang berbagai langkah pemulihan.
” Ada tanda-tanda erupsi Gunung Agung Bali akan meletus pada September 2017, Kemenpar Arief Yahya ikut bersuara. Dia memerintahkan Ketua Tim Crisis Center Kemenpar untuk memantau menit per menit perkembangan situasi di Bali,” kata pengamat pariwisara Hilda Ansariah Sabri.
Saat ini ketika pandemi global Covid-19 sudah demikian parah dan di Indonesia setiap hari kasusnya terus melonjak, Kemenparekraf tidak kunjung menghidupkan Crisis Center. Padahal hal ini penting untuk menginformasikan satu pintu kondisi kepariwisataan Indonesia terkait dampak pandemi ini pada dunia.
” Senin lalu dalam Press Statement Menteri Parekraf di tengah pandemi Covid-19, Whisnutama juga tidak menjawab pertanyaan pers sehingga anggota Forum wartawan Parekraf di instansinya kecewa,” kata Hilda yang juga Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat.
Anggota Forwaparekraf di era kabinet baru ini hanya dibanjiri siaran pers satu arah dari Humas Kemeparekraf sehingga pihaknya pesimistis pariwisata Indonesia bisa bangkit cepat setelah badai virus Corona ini berlalu di muka bumi ini.
” Badan-badan pariwisata dunia seperti PATA, UNWTO, WTTC optimistis sektor pariwisata bisa menjadi juru selamat industri travel & tourism menghadapi berbagai musibah, resesi ekonomi, perang dan lainnya. Namun harus ada manajemen krisis yang baik lewat crisis center,” kata Hilda.
Hal yang penting diperhatikan terkait keberadaan crisis center pariwisata ini, yaitu; sense of crisis, manajemen krisis, dan komunikasi krisis. Tidak cukup menyatakan pariwisata merupakan sektor yang paling efektif untuk mendongkrak devisa Indonesia, tegasnya.