Oleh N. Syamsuddin Ch. HAESY
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Jelang shubuh hujan lebat / udara dingin merasuk rumah / mengenang seluruh harapan hasrat / asmara ingin membentuk rahmah.
Pantun yang mengawali bagian pertama (Asmara Selalu Ada) dari lima bagian buku pantun bertajuk Ma’rifat, karya Ahmad Zacky Siradj (AZS), dalam format travelling book, 350 halaman, ini bagai telaga yang membuka peluang saya merenangi lagi dimensi pantun dalam ‘merenangi’ realitas pertama (primary reality) dan realitas kedua (secondary reality).
Saya suka pantun, boleh jadi dalam seluruh realitas pertama kehidupan saya sejak kecil, sudah berada di telaga kata. Dari keluarga ayah dan ibu saya mengenal pantun, talibun, karmina, rubayyat, sonet, gurindam, rhime, dalam beragam bahasa dan format. Juga mahfudzat, jangjawokan, pantun buhun, geguritan, dan sinrilik.
Ketika sekolah rakyat — kemudian sekolah dasar — ada pantun yang kemudian dilagukan, yang masih ingat hingga kini: “terbit liurku melihat kolak / dijual orang di pinggir jalan / untung teringat nasihat emak / di situ aku dilarang makan / lalu kupergi menoleh tidak / kubeli ubi di sudut pekan / kubawa pulang untuk dimasak.”
Saya juga menulis pantun yang terserak di mana-mana, belum juga dihimpun semua oleh anak dan cucu. Sejak sekolah menengah saya lebih tertarik menulis puisi dan menerbitkannya.
Buku puisi pertama saya, Soneta Rumah Bocor (1974) diulas penyair allahyarham HS Djurtatap di Harian Pelita. Ulasan ini yang kemudian mengusik saya untuk menerbitkan beberapa buku puisi kemudian. Itu sebabnya, saya salut dan ucap ‘tabek’ kepada AZS, yang biasa saya panggil “Lur !”
AZS adalah seorang aktivis. Dia, Ketua Umum PB HMI 1981-1983, anggota MPR RI Fraksi Utusan Golongan (1999-2004), anggota DPR RI (2014-2019) yang juga aktif di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan ikut membidani lahirnya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).
Dia juga pendiri Yayasan dan Pesantren Darul Qalam di kampung halamannya, Garut, ketua Yayasan Pendidikan Al Qur’an – Perguruan Tinggi Ilmu Al Qur’an – PTIQ). Selain giat mengurusi pariwisata, Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Islam Negeri (IKALUIN) Syarief Hidayatullah ini juga berkomitmen mengembangkan gerakan pemikiran kebangsaan.
Buku pantun yang dihimpun dari status akun facebook-nya (dan tulisan tercecer sejak 1913), ini saya baca berulang-ulang di berbagai kesempatan. Dalam banyak hal, membaca pantun-pantun yang terhimpun di buku ini, terbayang oleh saya sejumlah tokoh ulama, pendidik dan tokoh kebangsaan dari Garut, khasnya Abah KH Yusuf Taujiri (Cibatu) dan KH Anwar Musaddad (pelopor pendiri institusi pendidikan agama Islam di Indonesia) – Ciledug – Garut.
Pada beberapa pantunnya, saya membayangkan Dangding KH Hasan Mustopa yang juga dari Garut. AZS menulis: dari Malangbong menuju Ciwahang/dari Ciwahang menuju Cijanur/Diri tertolong rindu terbayang/Diri disayang selalu bersyukur.
Bagi kalangan muslim terdidik, kekariban pada pantun tak bisa diabaikan. Tak hanya karena ayat suci al Quran — dalam bahasa Arab al Qur’an — tersusun dalam rima dan pola sanjak yang luar biasa dengan struktur birama dan artikulasi sempurna, juga karena proses pengajaran al Hadits di dalam keluarga kerap disajikan dalam bahasa sastra dengan struktur pantun.
Belum lagi pengajaran nilai tentang akidah, syariah, muamalah dan akhlak melalui mahfudzat – kalam hikmah. “Puspa Rahayu Puspa Hiyang / daerah berbukit di wilayah Tasik / Menyapa rindu terasa sayang / pasrah terakit berkah terpetik,” tulis AZS.
Esensi sebagai respon atas sampiran pantun ini, multi makna. Bagi yang sedang kasmaran, cenderung menjadi utopia cinta, tapi bagi para orang tua bijak (aki dan nini) ada hakikat tentang berkah di dalamnya.
Ahmad Zacky Siradj ( AZS ) berhasil memanfaatkan pantun sebagai medium ungkap nalar, naluri, dan perasaannya dalam berinteraksi dengan realitas kehidupan dengan beragam fakta brutal yang menyertainya.
Tak terkecuali ihwal friksi dan konflik sosial, akibat ketidakmampuan mengelola perbedaan sebagai realitas. Maupun sebagai dampak dari ketidak-mampuan memahami hakekat perbedaan (termasuk perbedaan seksual identity dalam konteks gender, personal character, political interest, sampai perbedaan ideologi dan mazhab), yang sesungguhnya merupakan perbedaan alamiah.
Pantun mewadahi percik pemikiran (dari dimensi kedalamannya) tentang moderasi – washatiyah. AZS menulis, “kalau ada kolam yang jernih/ boleh kami menumpang renang/ kalau ada dendam yang perih / boleh kami menumpang sayang.”
Di bagian lain, pantun menjadi medium ekspressif bagi AZS untuk menghidupkan kesadaran moderasi dan manifestasi sikap ‘tahu diri.’ Beberapa pantunnya mengiris dimensi kemanusiaan yang tercerabut untuk kembali ke jalur asal menuju esensi kehidupan islami.
Begini dia menulis: pengeras suara menara terdekat / nyaring memanggil adzan bergema / keras membara suara hakikat / seiring tampil tauladan bersama //*//bebas visa untuk wisata/dimanfaatkan turis pribumi berantakan/kandas kuasa mengutuk menista/diamanatkan waris terbukti keserakahan//*//gelombang laut mampir ke tepian/terbawa pasir ke tengah lautan/bimbang kalut hampir mengerikan/wibawa hadir berkat panutan//*//pepaya merah manis rasanya/dipotong disaji di piring kecil/ditolong taji kebanting kerdil//
Tentu, pantun-pantun semacam ini, yang terhimpun dalam bagian Jalin Persaudaraan Sejati. Pada dua bagian awal buku ini, AZS memang bersinggungan dengan persoalan-persoalan syariat – dalam konteks primery reality sambil merentang jalan tariqat. Khasnya dalam menemukan hakekat diri insaniah dengan ruang tantangan dinamis untuk menjalani kehidupan washatiyah.
AZS terus melangkah di jalan itu, dan pantun-pantunnya kemudian ‘mengabarkan’ proses ikhtiarnya menemukan alur salsabil dan kafour menuju telaga ma’rifat, melalui jalan hakikat, jalan pengenalan diri untuk kemudian merenangi sesuatu yang kalami dengan kefasihan-kefasihan tertentu (balaghah) untuk mengendali lebih dalam esensi Allah yang berbeda dengan ilah.
Berbeda dengan kebanyakan akademisi atau sarjana-sarjana yang sedang dokoh memamah racikan para sufi, AZS menggunakan pantun sebagai medium yang asyik dan lite. Saya baca berulang pantun ini: “putih salju puncang gunung/bening embun penghujung daun/bersih kalbu decak kagum/hening tekun Agung mengalun.”
Pantun ini menjadi layar imagery saya untuk mengenang masa pencarian di antara eksistensialisme Nietzche, Sartre, al Halaj, dan Machiavelli. Hening ! Nietszche menbdapatkannya lewat haiku yang dilahirkan Matsuo Basho. Setarikan bayang, terasa lagi suasana kaki gunung Alpen, di masa pencarian itu.
Pun demikian halnya dengan pantunnya, “siang hangat mentari bersinar/mentari tenggelam bulan terang/menggalang semangat hati berbinar/hati menyelam Tuhan penerang.” Pantun ini mengingatkan saya tentang misqah dalam al Qur’an – Surah AnNuur, juga awal Surah Ibrahim.
Ketika kembali saya kembali ke garis azimuth dan memimpin perubahan programa siaran Televisi Pendidikan Indonesia (dengan acara Kuliah Shubuh, Lazuardi Imani, dan Islamic Internation Society Programme).
Pula, pantunnya yang ini : seakan angkasa membayang di kolam/biru awan hingar bertepi/gambaran Kuasa Penyayang tentram/ rindu Tuhan tiada sepi. Sebagaimana terpancar jelas dalam pantun : layar terhempas perahu kandas/wilayah tujuan tiada terlihat/sabar terkuras rindu menggagas/pasrah harapan jiwa berharkat//
Saya menyebut buku bertajuk Ma’rifat – dalam Narasi Himpunan Pantun Seirama Nada – ini sebagai al kutub al awwal dari AZS sebagai penjelajah menuju ma’rifat di alam realitas pertama dan memindahkannya — melalui pantun — ke realitas kedua kehidupan.
Dia menggunakan bahasa terang, dengan kalimat dan kata yang mudah dikenali sehari-hari, terutama ketika mengangkat fenomena ke dalam sampiran. Berbagai metafora dipergunakannya pada sampiran untuk menegaskan esensi sesuai dengan kaidah pantun nasihah, dengan menyimpan tendensi dalam cindai bahasa.
Dia sebagaimana wataknya sejak dulu, kalem, beroleh energi dari dalam dan luar dirinya, dengan pola tutur yang terjaga. Karenanya, pantun-pantun yang terpumpun di dalam buku ini merupakan pantun naratif dan mudah direspon oleh siapa saja.
Khasnya dalam interaksi media sosial. Terutama karena pantun-pantun ini merupakan ‘pernyataan pikiran’ dalam status akun facebook — saya danj berbagai kolega di Malaysia juga senang menyebutnya ‘muka buku.’
AZS menuliskannya nyaris tanpa pretensi meski dalam banyak pantunnya, dia tak bisa menyembunyikan tendensi gejolak hatinya merespon fenomena yang berkembang dan memengaruhi lahirnya pantun-pantun yang ‘berteriak dengan hening.’
Ini kelebihan buku ini, ketika khazanah karya sastra kita (pantun) diungkap sebagai reaktualisasi pemikiran dari dimensi kedalaman insani. Bukan syair profetik, tetapi dalam makna menganjurkan manusia ke jalan salam salima.
Karya di dalam buku ini menunjukkan, kematangan watak tak harus menggiring semua orang bergerak sebagai domba-domba liar (untuk dan atas nama independensi) dengan spirit ‘yakin usaha sampai,’ karena ada marka spiritual relijius: “turut Al Qur’an hadits, jalan keselamatan,” untuk mencapai telaga ma’rifat.
Konsistensi AZS terhadap komitmen perjuangan berbasis ke-Indonesia-an, ke-Islam-an, ke-Ilmu-an dan ke-Manusia-an dalam konteks kualifikasi kecendekiaan (intelektualita), kreativitas – inovasi – invensi, dedikasi – sebagai ‘abid bagi Allah, bangsa dan umat, tanggungjawab sosial, dan konsistensi perjuangan kolektif mencapai kondisi keberadilan di bawah keridhaan Allah.
“Dayeuh handap kaum lebak / jalannya lewat jalan Papandayan/penuh menghadap kagum hebat / harapannya tepat sejalan perjuangan,” tulis AZS. Ini ekspresi konsistensi, supaya tak mudah kapengpeyongan (terhuyung-huyung) memburu jabatan, kekuasaan, bahkan asmara, yang hanya sekadar atribut kehidupan.
Dalam hal pengabdian kepada rakyat, umat, di kala lelah mencapai ma’rifat sebagai modal dedikasi – ibadah melalui rakyat, kita perlu merenungkan pantun ini: “rehat sejenak penat lepas / giat kerja harga diri / rakyat catat niat tegas / rakyat minta raga bukti.’ Respon saya: panjat tinggi pokok jati/ boleh panjat sampai yang mungkin/ daulat rakyat jangan dikhianati, sukabumi lebih baik dari sukamiskin.// Jazakallahu haeran jaza’.. Lur.. |
Penulis adalah: Pemimpin Umum / Pemimpin Redaksi / Penanggungjawab Akarpadinews.com