Guru mengaji Ahmad Suhairi ( kiri) dan komunitas Les Bavardes
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Mencari Rumah Singgah Al Barkah di lingkungan terminal Kampung Rambutan menjadi tujuan sebuah komunitas bernama Les Bavardes, diwakili tujuh orang anggotanya.
Adhe, anggota komunitas Les Bavardes, alumni jurusan Bahasa Perancis IKIP Jakarta angkatan 1979 paling bersemangat mencari informasi maupun lokasi rumah singgah yang dibuat untuk memberikan perlindungan serta edukasi bagi anak-anak di Terminal Kampung Rambutan itu.
Untungnya Rumah Singgah Al Barkah mudah ditemukan. Letaknya di akses keluar bus antarkota antarprovinsi (AKAP) atau dekat dengan gardu listrik. Ada sedikit halaman rumput di depan gardu listrik itu. Beberapa alat permainan jungkat-jungkit. Prosotan berwarna biru dan mainan anak-anak lainnya berwarna cerah juga tersedia tepat di depannya.
Tono, anggota Kelompok Penyanyi Jalanan ( KPJ) Terminal Kampung Rambutan yang berada di rumah singgah itu segera menyambut rombongan dan membukakan pintu. Interior ruangan dalam layaknya ruang kelas Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD) tanpa bangku dan meja. Anak-anak cukup beraktivitas di lantai kayu.
Di atas saung yang ditempati Tono ada nomor telepon Bang Nur, sosok di balik keberadaan rumah singgah dan aktivitas disitu. Tono langsung mencari tahu keberadaan Bang Nur, sementara kami sibuk menelponnya.
Sayangnya Bang Nur sapaan akrab dari Raden Supardi sedang tidak ada dilokasi tetapi kami tetap diterima oleh Tono, musisi jalanan yang menjadi relawan di rumah singgah dan Ahmad Suhairi yang menjadi guru mengaji di situ.
“Anak-anak baru berkumpul selepas magrib untuk mengaji. Kalau berkumpul semua jumlahnya mencapai 70 anak usia di bawah 15 tahunan,” kata Ahmad Suhairi.
Di tengah kerasnya kehidupan Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, ada persinggahan bagi anak-anak yang biasa mangais rezeki di sana dengan pendidikan setara PAUD dan pengajian rutin sehingga membuat Rumah Singgah Al Barkah menjadi tempat favorit bagi semua orang.
“Kenyataannya bukan hanya anak-anak yang singgah, orang-orang dewasa dengan beragam problem dan kisah sedihnya juga bertahan sendiri di sini hingga mampu mencari solusi,” kata Ahmad Suhairi.
Seingat dia, Bang Nur memulainya dengan membangun sanggar di balik tembok terminal sekitar tahun 2000. Karena tergusur lalu sekarang pindah ke dalam terminal dekat gardu listrik. Ahmad sendiri mulai mengajarkan anak-anak mengaji tahun 2005.
“ Sekarang anak-anak yang saya ajarkan mengaji sudah besar-besar dan mandiri. Banyak yang sudah meninggalkan terminal. Alhamdulilah dengan adanya pengajian rutin anak-anak terminal selalu berupaya berbuat kebaikan,” kata Ahmad Suhairi pada rombongan.
Meski tidak berjumpa dengan anak-anak terminal, Tiwuk yang menjadi juru bicara rombongan menyerahkan sumbangan dan berharap rumah singgah bisa menjadi oase dan tempat belajar kehidupan yang positif.
Menularkan semangat kebaikan sejak awal ditanamkan Bang Nur yang secara swadaya membangun rumah singgah hingga akhirnya menjadi shelter bagi Tono dan banyak penghuni Terminal Kampung Rambutan lainnya.
Bersama Eulis, Erna, Atika, Ema, Adhe, pihaknya mengajak komunitas lain untuk terus memberdayakan kegiatan positif yang dipelopori Bang Nur di Terminal bus Kampung Rambutan itu, tempat yang menjadi tujuan maupun titik berangkat ke berbagai kota di Pulau Sumatra, Jawa dan Bali.
Keluar dari terminal, Bang Nur menghubungi lewat telpon. Alhasil banyak cerita yang bisa digali dari tokoh yang memiliki kepedulian tinggi pada masyarakat di lingkungannya ini.
Menurut Bang Nur, inisiatifnya membangun rumah singgah didasari oleh pengalaman pahit yang menimpa salah satu anggota keluarganya. “Kisahnya berawal dari dugaan seorang keponakan saya yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sekitar 10 tahun yang lalu. Keponakan saya itu hilang, awalnya dibujuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT) tapi sampai saat ini tidak ada kabarnya,” ucapnya prihatin.
Tak ingin keluarga lain mengalami nasib buruk, Bang Nur tergerak hatinya untuk memberikan wawasan lebih kepada generasi penerus bangsa terutama anak-anak jalanan yang minim mendapatkan pendidikan agar memiliki kompetensi dan mandiri.
Mantan asisten rumah tangga dan pedagang asongan ini juga mengalami pahit manisnya kehidupan di jalanan sehingga menguatkan tekadnya untuk memberikan sesuatu bagi anak-anak di Terminal Kampung Rambutan.
“Saya dahulu ke Jakarta hanya berbekal pendidikan SD, itupun enggak dapat ijazah, semua pekerjaan sudah pernah saya jalanin, mulai dari asisten rumah tangga hingga pedagang asongan,” kata dia.
Berangkat dari semangat ketiadaan tanpa memiliki bekal pendidikan yang cukup tinggi, ia bertekad untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak remaja di Terminal Kampung Rambutan, baik pendidikan formal maupun spiritual.
Hasilnya Bang Nur pun mampu merangkul mereka untuk sama-sama menjaga keamanan lingkungan terminal. Begitu pula dalam hal mempertahankan aktivitas di rumah singgah, dia menyisihkan penghasilan dari warung yang dimilikinya.
Bang Nur juga tak sungkan mengumpulkan dana dari rekan-rekan di terminal itu untuk membantu keuangannya sehingga bisa terus berjalan. “Dari awal saya enggak pernah bersurat atau membuat proposal meminta bantuan sana-sini, sekuat saya saja dan bantuan teman-teman di sini,” tegasnya.
Ia sungkan meminta bantuan ke berbagai pihak termasuk pemerintah. “Kalau diminta keterangan soal anak-anak di sini, rudak ada dara yang pasti. Artinya kita juga enggak tahu data ibunya di mana, bapaknya di mana, karena anak-anak ini datang dari mana saja, kita enggak bisa ngarang-ngarang untuk itu,”
Kalau ada yang mau bantu, lebih baik datang langsung dan lihat sendiri apa yang dibutuhkan, tambahnya, seperti yang dilakukan komunitas Les Bavardes. Bang Nur yakin Allah pasti akan membantu niat baik umatnya.
Saat ini bersama Tono, musisi jalanan setempat dia tengah membuat lagu-lagu untuk kaum milenial agar melek politik, tahu siapa yang akan dipilihnya dan yang penting jangan golput.
Dia juga banyak membuat lagu yang menceritakan realita kehidupan dan
melalui karyanya berupa lagu-lagu, berharap bisa mendapatkan penghasilan lebih banyak untuk membiayai rumah singgahnya.
“Kalau bukan kita siapa lagi, karena mereka adakah generasi kita.Harapan kami hanya dari karya lagu kami bersama rekan-rekan di sini bisa memberikan pemasukan lebih untuk memenuhi keperluan di sini,” ucap Bang Nur.