MAGELANG, bisniswisata.co.id: Melunturnya rasa cinta masyarakat apalagi generasi muda terhadap budaya Jawa, khususnya kesenian wayang orang, menggugah hati Rahmat Basroil alias Mat Kanon, maestro tari tradisional klasik kesayangan Presiden Soekarno untuk melestarikan di usia senja. Bermodal pesan Bung Karno juga semangat dan tekad yang kuat, Mat Kanon masih aktif “bergerilya” melestarikan wayang orang.
“Seperti pesan Bung Karno, saya masih ingin melihat anak-anak sekarang tidak lupa dengan budayanya sendiri. Negara ini akan dihormati dunia kalau rakyatnya masih menjunjung tinggi budayanya,” ungkap Mat Kanon, yang sehari-hari sebagai seorang petani yang pernah menjadi penari kepercayaan Bung Karno.
Penari klasik handal saat masih muda sering ikut lawatan Bung Karno keluar negeri seperti Jerman untuk membawa misi kebudayaan. Dia dan kawan-kawannya menari Jawa Klasik hingga Wayang Orang.
Mat Kanon mengaku mengingat pesan yang disampaikan langsung oleh Presiden pertama RI, Soekarno, kepadanya sekitar tahun 1964 silam.
Pesan tersebut adalah “Kuncaraning bangsa dumunung haneng luhuring budaya.” Ungkapan bahasa Jawa itu kurang lebih bermakna “tingginya derajat bangsa terletak pada budayanya”.
Mat Kanon menggeluti seni tari sejak Sekolah Rakyat (SR) setara SD. Kala itu, dia sering melihat pertunjukan wayang orang di kampung-kampung. Ia kemudian belajar sendiri hingga bertemu dengan guru tari dan ikut menari dari kampung ke kampung.
Namun, kemauan Mat Kanon untuk menari ditentang keras oleh kakeknya yang religius. Sang kakek ingin cucunya belajar agama ke pesantren. Ia menolak dan tetap menekuni seni tari. Ia memilih meninggalkan rumah untuk belajar tari.
Mat Kanon kini berusia hampir 73 tahun. Namun, jiwa dan raganya masih bugar melakukan aktivitas seni olah tubuh tersebut. Seolah tak peduli dengan hingar bingar modernisasi dunia, terutama dunia seni dan budaya.
Nama Mat Kanon tersemat pada dirinya karena bekas luka di kakinya akibat granat (canon) penjajah ketika ia masih kecil. Luka itu pun tak membuat Mat Kanon surut mencintai seni tari.
“Seperti pesan Bung Karno, saya masih ingin melihat anak-anak sekarang tidak lupa dengan budayanya sendiri. Negara ini akan dihormati dunia kalau rakyatnya masih menjunjung tinggi budayanya,” ungkap Mat Kanon, seperti dilansir laman Kompas, Sabtu (17/08/2019).
Di usia senjanya, Mat Kanon masih aktif melatih anak-anak muda di sekitar tempat tinggalnya di Dusun Bulu, Desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, untuk menari jawa klasik dan wayang orang. Kakek 13 cucu itu mengaku kerap rela tak mendapat upah demi tetap bisa menularkan ilmunya.
Kecintaannya pada dunia tari dimulai sejak usai Sekolah Rakyat (SR)–sekarang Sekolah Dasar (SD). Saat itu ia sering melihat pertunjukan wayang orang di kampung-kampung. Ia mulai belajar sendiri sampai menemukan guru tari. “Saya belajar alami saja, terus bertemu dengan guru, ikut menari dari kampung ke kampung. Sampai SMP dan SMA saya sudah mengajar tari anak-anak,” kisahnya.
Mat Kanon menyadari banyak kendala dalam nguri uri (melestarikan) budaya Jawa. Meski tanpa sanggar, tanpa panggung maupun perangkat alat gamelan, tidak membuatnya putus asa. Upaya melestarikan tari wayang orang klasik terus dilakukan sekuat tenaga. Kehadiran budaya modern yang mendesak seni tradisonal tak membuat keduanya takut untuk melestarikan budaya tradisional yang nyaris punah tersebut.
Bahkan, tak semua orang mampu dan mau menggeluti profesi ini, barangkali bukan pilihan yang populer. Apalagi di zaman modern, dimana semua serba instan, kemampuan tersebut hampir tidak diajarkan lagi di sekolah-sekolah biasa sehingga kesenian Jawa ini hampir punah.
Padahal, dalam wayang orang terkandung nilai luhur. Setiap gerakan, adegan, kostum penari, hingga artikulasi (pemakaian bahasa) dialog mencerminkan watak, unggah-ungguh (tata krama), budi pekerti dan tatanan sosial yang bisa menjadi inspirasi kehidupan.
Juga Gerakan dalam tari wayang orang tidak sembarangan karena mencerminkan tingkat sosial. Setiap kostum lakon berbeda, simbol kebijakan. Sedangkan dari segi bahasa Jawa yang digunakan selalu penuh makna dan santun dalam penyampaiannya.
Dalam situasi sekarang ini, Mat Kanon mengungkapkan apresiasi kepada para penari yang dilatihnya tetap mempertahankan budayanya.
“Mereka dari berbagai latar belakang berbeda, tidak memiliki dasar penari namun sangat antusias berlatih sehingga dengan cepat menguasai setiap gerakan yang saya ajarkan,” tutur Mat Kanon.
Idealnya dalam setiap latihan maupun pentas wayang orang selalu diiringi irama perangkat gamelan lengkap. Sehingga masing-masing personil mampu menjiwai peran dan keahliannya. “Sekarang (sementara) masih menggunakan suara kaset. Jika kelak memiliki alat musik gamelan, latihan akan lebih mudah. Penari harus bisa memainkan gamelan, demikian pula para penayaga (penggamel) juga harus bisa main tari wayang orang,” ungkapnya.
Lelah tanpa pamrih merupakan perjuangan dalam mewujudkan mimpi besar yakni budaya Jawa tetap lestari di negeri sendiri khususnya Lereng Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. (NDY)