KOMUNITAS

Komunitas Malioboro: Car Free Day Lahirkan Pro Kontra

YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id: Komunitas Kawasan Malioboro menilai uji coba Car Free Day atau semi pedestrian Malioboro yang diberlakukan, Selasa 18 Juni 2019 menimbulkan pro kontra. Para pedagang Malioboro mengaku selama uji coba, pengunjung sepi. Bagi pedagang program bebas kendaraan bermotor ini, menjadi hal yang baru dan menimbulkan rasa kekhawatiran.

“Kita melihatnya dalam tahapan uji coba. Kita memberikan kesempatan untuk pemerintah menganalisis, mengkaji, mencoba program tersebut. Namun dalam hal ini kita sebagai komunitas Malioboro terutama pelaku ekonomi tentu hal yang baru ini tetap menimbulkan kekhawatiran juga,” kata Ketua Komunitas Kawasan Malioboro, Rudiarto di Yogyakarta.

Dilanjutkan, kekhawatirannya berdampak pada pedagang. Pasalnya, budaya masyarakat untuk menuju suatu tujuan, jika akses sulit, harus berjalan kaki jauh, kantong parkir yang dikeluhkan masih kurang dan sulit. “Ketika akses sulit, dalam hal ini kendaraan mereka, jadi memilih pindah dari Malioboro,” ucapnya.

Analisa dari pihak-pihak terkait, lanjut dia, untuk mengevaluasi kegiatan uji coba ini sangat dibutuhkan. Karena uji coba semi pedestrian Malioboro bebas kendaraan yang dilakukan hari ini bertepatan dengan Selasa Wage dimana seluruh PKL libur beraktivitas. Sehingga tidak berdampak langsung oleh para pelaku usaha.

“Tapi namanya uji coba, kalau sukses bisa diteruskan, kalau tidak baik, dikembalikan ke semula. Meski kami khawatir, namun sebisa mungkin menyesuaikan diri dengan berbagai kemungkinan yang ada,” ucapnya seperti dilansir laman Pikiran Rakyat, kemarin.

Rudiarto mengatakan, sebelumnya pihaknya sudah diajak sosialisasi terkait rencana uji coba ini. “Kawasan Malioboro ada sekitar 2.500 orang pedagang kaki lima tergabung dalam sekitar 11 paguyuban PKL yang beraktivitas pagi-malam,” tuturnya.

Pihaknya tidak memungkiri jika komunitas di kawasan Malioboro merasa khawatir terhadap dampak dari pelaksanaan uji coba Car Free Day di kawasan utama wisata Yogya, karena sulitnya akses masyarakat, pedagang, pengusaha serta wisatawan untuk masuk ke Malioboro. “Apalagi, budaya masyarakat kita masih enggan berjalan jauh dari tempat parkir kendaraan ke tempat wisata yang dituju,” katanya.

Meskipun sebuah lokasi wisata memiliki tampilan yang baik dan menarik, namun tidak akan ada wisatawan yang datang berkunjung apabila akses ke tempat wisata tersebut sulit. “Nah kondisi ini yang kini terjadi di kawasan Malioboro, sehingga kebijakan tersebut justru merugikan seluruh pihak yang berusaha di kawasan Malioboro, baik PKL, pedagang, pengusaha masyarakat maupun wisatawan,” lontarnya,

Ditambahkan, Car Free Day adalah kebijakan baru. Dan kini mulai dilakukan kajian mendalam tentang bagaimana dampaknya. Bagaimana kondisi yang sebenarnya. Pihaknya juga mengusulkan agar uji coba Car Free Day tidak dilakukan selama 24 jam penuh tetapi dilakukan bertahap sambil mempersiapkan infrastruktur kawasan penyangga Malioboro.

Komunitas pun berharap agar pemerintah bisa memberikan jaminan bahwa kebijakan Car Free Day tersebut memberikan dampak yang lebih baik untuk peningkatan ekonomi, sosial, budaya, dan kesejahteraan masyarakat.

PHRI
Sementara Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mendukung rencana penerapan Malioboro semipedestrian atau bebas kendaraan bermotor. Konsep baru Malioboro dinilai akan mampu meningkatkan kenyamanan bagi wisatawan. “Kami mendukung upaya tersebut karena dapat mengurangi kamacetan di Yogyakarta dan memberi kenyamanan kepada pengunjung,” kata Ketua PHRI DIY Istijab M Danunagoro di Yogyakarta, Selasa (25/6).

Menurut Istijab, dengan membebaskan Malioboro dari kendaraan bermotor maka akan semakin mendorong wisatawan berlama-lama menikmati suasana di Malioboro. Oleh karena itu, ia meyakini rencana program yang dicanangkan Pemda DIY dan Pemkota Yogyakarta itu akan mampu menambah okupansi atau tingkat hunian kamar serta lama tinggal (length of stay) wisatawan di Yogayakarta.

Terkait akses pengunjung menuju hotel yang berlokasi di Jalan Malioboro, menurut Istijab, tidak ada masalah. Wisatawan atau pengunjung masih bisa menggunakan moda transportasi Trans Jogja yang ke depan masih bisa melintas di kawasan itu. “Bisa diatasi dengan menggunakan bus Trans Jogja,” kata Istijab seperti dilansir laman Republika.

Manajemen Hotel Grand Inna Malioboro menyatakan mendukung program uji coba Malioboro semipedestrian yang dicanangkan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta bersama Pemkot Yogyakarta. “Kami sangat mendukung program yang dicanangkan Pemda DIY tersebut,” kata Public Relations Manager Grand Inna Malioboro Retno Kusuma.

Manajemen hotel bintang empat itu, kata dia, justru akan mendukung pelaksanaan program itu. Caranya dengan menampilkan grup musik keroncong di pintu masuk utama hotel itu yang berada di Jalan Malioboro mulai pukul 18.00 WIB sampai 21.00 WIB. Uji coba Malioboro semipedestrian yang akan dilakukan setiap Selasa wage atau 35 hari sekali setiap bulan merupakan program yang dicanangkan Pemda DIY dan Pemkot Yogyakarta.

Uji coba perdana telah dilakukan pada 18 Juni 2019 dengan membebaskan kawasan itu dari kendaraan bermotor mulai pukul 06.00 WIB sampai 21.00 WIB. Hanya andong, becak kayuh, sepeda ontel, bus Trans Jogja, serta kendaraan untuk penanganan darurat seperti pemadam kebakaran, ambulans, dan pengangkutan sampah yang boleh melintas.

Pemilik Toko

Para pemilik toko di kawasan Malioboro (Jalan Malioboro hingga Jalan Margo Mulyo) tergabung dalam Perkumpulan Pengusaha Malionoro Ahmad Yani) menolak rencana Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemprov Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadikan kawasan ini bebas kendaraan bermotor.

Ketua Umum PPMAY, Sadana Mulyono mengatakan para pemilik toko kini mengalami penurunan omzet yang sangat drastis karena kebijakan larangan parkir di Kawasan Malioboro- Margo Mulyo. Penurunan omzet akan terus berlanjut jika kemudian kawasan ini dijadikan kawasan bebas kendaraan bermotor. “Memang ada kantong-kantong parkir. Namun itu tidak efektif karena jauh,” kata Sadana.

Dengan menjadikan kawasan Malioboro sebagai kawasan bebas kendaraan bermotor atau kawasan pedestrian, hal ini akan menurunkan jumlah wisatawan yang berkunjung. Secara tidak langsung, ini akan berdampak pada omzet mereka. Alasannya akses masuk kawasan Malioboro semakin sulit, menjadikan mereka yang ingin berwisata atau berbelanja ke Malioboro akhirnya memilih tempat lain.

Kondisi ini, semakin dipersulit dengan keberadaan PKL di depan toko mereka. PKL kawasan Malioboro ini sebenarnya berada di atas tanah hak milik mereka. Namun, keberadaannya justru menutup akses masuk toko. “Dulu Pemkot Yogyakarta saat Sudjono AJ menjadi walikota, toko Malioboro harus memundurkan pintu masuknya 3-4 meter dan halaman depan untuk pejalan kaki. Kami juga dijanjikan tidak ada PKL yang menempati lorong ini. Tapi kenyataannya kini PKL jumlahnya sangat banyak dan nyaris menutup pintu masuk toko,” keluhnya.

Toko di Malioboro saat ini hanya 200-an, sedangkan jumlah PKL mencapai 1.284. Kebanyakan PKL ini bukan orang kecil. Banyak di antara mereka yang memiliki lebih dari satu unit mobil bahkan memiliki Fortuner juga ada.

Meski PKL ini menempati lahan hak milik para pemilik toko, namun sejauh ini tidak serupiah pun para PKL ini membayar sewa kepada pemilik toko. Para pemilik toko saat ini meminta pemerintah untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang meresahkan. (NDY)

Endy Poerwanto