NEWS

Ketua Asosiasi Fintech Syariah, Lutfi Adhiansyah: Halal Industry itu Bisnis Triliunan Dollar

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Sektor produk halal termasuk wisata halal diyakini akan bangkit lebih cepat di era new normal. Hal itu disampaikan Lutfi Adhiansyah, Ketua Klaster Fintech Pendanaan Syariah Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) yang juga CEO PT Ammana Fintek Syariah (Ammana) dalam diskusi virtual AFPI bertajuk “Fintech dan Digitalisasi Ekonomi Syariah untuk Peningkatan Ekonomi Hala di Indonesia, Senin (23/11).

Ammana termasuk pelopor di sektor fintech syariah. Perusahaan ini berdiri pada Juli 2017 namun menurut Lutfi baru beroperasi Maret 2018. “Kenapa? Karena izinnya dari OJK itu keluar 2018.”

“Jadi, seperti yang diungkap State of the Global Islamic Economy Report, peluang yang tercermin di sana mirip-mirip seperti kinerja kita. Seperti, bangkitnya industri makanan halal. Bahkan, peluang halal-tourism sekalipun seperti haji dan umrah masih ada karena investor melihat ini buat long-term growth,” jelas lulusan Islamic University Malaysia ini.

Beberapa waktu lalu, penulis berkesempatan mewawancarai ayah sepasang anak yang beristrikan seorang muslim Thailand, orang Phuket. Berikut petikannya:

Apa strategi untuk meyakinkan orang agar mau bertransaksi lewat fintech syariah? Apakah dengan pendekatan ayat-ayat? 

Kalau di fintech memang kita ada edukasi [tentang] prinsip syariah yang mendasar. Cuma saya selalu bilang ke temen-temen bahwa fintech Syariah itu merupakan kegiatan muamalah atau hubungan antar masyarakat, antar manusia. Nah, bermuamalah itu prinsipnya adalah secara garis besar adalah: semua halal kecuali yang diharamkan. Artinya, kalau semua halal kecuali diharamkan maka yang diharamkan [jumlahnya] lebih sedikit daripada yang dihalalkan.

Karena itu saya selalu bilang ke temen-temen, ‘kalau kita sedang bermuamalah maka bukan relijius yang ditonjolkan.’ Karena, muamalah syariah bukan miliknya Islam sendiri meski lahirnya dari Al-Quran dan hadis.

Kalau kita terlalu mengedepankan [aspek] relijiusnya maka nanti akan ada hambatan. Ternyata hambatan ini tidak dialami oleh negara-negara [dimana masyarakatnya banyak yang] non muslim saat mereka menerapkan halal industry.

Jadi, relijius itu cukup dengan kita menjauhi larangan Allah. Tapi, ketika kita ber-muamalah maka…contohnya saat kita bicara halal tourism atau wisata halal, [sering] banyak yang kepleset. Wisata halal, bayangannya kalau di Indonesia bisa kemana aja?

Lombok, Aceh? 

Salah! Udah langsung jawabannya salah.  Kalo kita bicara wisata halal ukurannya bukan Aceh, bukan Lombok. Karena kalo patokannya Aceh dan Lombok karena [di sana] banyak masyarakat muslimnya, itu salah. 

Jadi, wisata halal itu begini [melihatnya]: nature-nya orang entah muslim atau non-muslim, pakai cadar atau tidak, kalau lagi liburan, sama gak behaviour-nya? Sama dong. Mereka akan menginap di hotel, makan-makan, juga foto-foto. 

Tapi ketika destinasi itu berubah menjadi halal industry maka bahasanya menjadi muslim friendly. Apa itu artinya? Kalau kita misalnya sedang ke Monas, akan gampang cari tempat sholat; saat di Jakarta, akan mudah menemukan tempat makanan halal. Bukan berarti banyak makanan halal loh ya. Tapi setidaknya ada informasi tentang tempat-tempat itu, ada pamflet, ada liflet, ada portal yang memuat informasi yang mudah diakses dan menjelaskan lokasi halal itu.

Artinya, Danau Toba [yang mayoritas penduduknya non Islam] juga bisa menjadi destinasi wisata halal?

Iya. Artinya kita jangan terkecoh dengan perkara relijius doang, tapi kita bicaranya adalah transaksi Muamalah. Untuk bertransaksi secara halal itu kan luas. Seperti wisata halal tadi, ternyata di Jepang itu sudah muslim friendly. Di sana, ketersediaan informasi tentang lokasi masjid atau tempat makanan halal sudah mudah didapat. Itu [artinya] Jepang sudah muslim friendly dan sudah menjadi halal destination. 

Tidak apa-apa ada red district, asal dilabeli ini loh di sini red district, menjual minuman keras, ada makanan B1 atau B2-nya. Karena begini, mau orang itu bercadar atau tidak kalau mereka jalan-jalan ke Jepang kan akan ke Tokyo, ke Kyoto juga. Masak kita halang-halangi. Kan gak mungkin. 

Konsep muamalah ini kan hubungan antara sesama manusia. Artinya bisa antar muslim dan non muslim juga kan ya.

Nabi Muhammad aja bertransaksi dengan [orang] Yahudi. Jadi tidak ada masalah. Kadang-kadang justru banyak pihak yang menyempitkan diri. 

Mungkin kalau saya sih melihatnya, kita nggak bisa menyalahkan 100% [pandangan sempit itu Red.] karena kita mayoritas muslim, jadi sudah langsung terkotak mindset-nya: kalau sesuatu yang berbau halal itu berbau reliji. 

Padahal halal itu diciptakan oleh Allah untuk [semua] atau universal. Ini berbeda dengan ibadah, karena ada kaidahnya. Dia tidak bisa dibuat-buat. Tapi kalau bertransaksi, bermuamalah atau hubungan antar manusia, justru di-luaskan oleh Tuhan.  Tapi kadang-kadang udah diluasin, orang malah nyempitin. 

Orang Jepang atau Korea Selatan, misalnya, mereka berbondong-bondong mau pake label halal, kenapa? Karena mereka tidak melihat ini sebagai sisi relijinya Islam tapi lebih melihat pada sebuah jaminan mutu layanan kemanusiaan. Ada label moral, label etika. 

Contohnya, ketika di pemotongan daging halal, banyak orang Korea yang tertarik mempelajarinya dan mereka surprised. Karena di pemotongan hewan halal, salah satu syaratnya pisaunya itu harus tajam. Kenapa? Supaya saat dipotong, binatang gak kesakitan, langsung mati. Ini kan ada etika kehewanan. Berarti kita menghormati hewannya, biar gak merasa kesakitan. Ada jaminan mutu bahwa industrinya sangat berkeperikehewanan-lah.

Jadi, konsepnya bisa diadopsi secara universal?

Yes. Label Halal food, misalnya. Disitu ada konsep kebersihan, hygiene. Saat memakai label halal ada aturan-aturan yang harus dipenuhi sebagai jaminan mutu. Jadilah mereka berbondong-bondong untuk mengadopsi dan mengambilnya.

 Ada juga yang berpendapat, ‘kan saya udah Islam, gak perlu label-label halal lagi.’ 

Benar, tidak ada yang mengharuskan kita mendapat label Halal. Tapi, di industri modern dimana banyak penyimpangan informasi, banyak oknum nakal, maka label halal itu menjadi penting. Tujuannya untuk mendiferensiasi mana player yang bener-bener serius dan mana yang melihat ini sebagai normal-normal saja.

Kalau saran saya sih, misalnya kita menerapkan wajib label halal itu ke perusahaan-perusahaan yang non-muslim. Karena kalau yang muslim, dia sudah otomatis menerapkan aturan karena itu kan hubungan dia dengan Tuhan. Dia takut kalau mau  berbohong. Kira-kira begitu. 

Mengapa memilih fintech syariah?

Kalau saya ditanya kenapa masuk ke industri syariah padahal market share-nya [di perbankan saja] hanya 5%. Karena saya tidak hanya berpikir Indonesia. Biarin aja perbankan syariah 5%, karena market saya global halal industry. 

Pada akhirnya fintech itu harus melayanin services dari hulu ke hilir. Jadi kita bukan [mengincar] market nya perbankan, tapi kita bicara halal industi. Halal Finance itu cuma bagian kecil dari halal industry. 

Kita bicara kosmetik seperti Wardah, itu bisnis triliunan. Belum lagi dunia fashion. Coba aja lihat hijab market place seperti Hijabers, itu kan fashion juga marketnya triliunan

Apakah Termasuk hotel… ?

Iya. Jadi, kalau kita bicara halal industry itu [bisnis] triliunan dollar industry. Artinya, market share-nya sangat besar. Kalau kita menyempitkan diri di market share perbankan syariah ya jadi bank aja sih. Jangan jadi fintech. 

 

 

 

Rin Hindryati