ENTREPRENEUR HILDA'S NOTE

Kecerdasan “Migunani Tumraping Liyan”

Jeffry-wibisono-GM-java-Lotus-hotel-JemberOTAK-ATIK GATHUK, dan saya menemukan kombinasi quote budaya Barat dan pitutur Jawa yang sangat erat dengan kehidupan sehari-hari kita.

Begini copy-paste-nya:

“The purpose of life is not to be happy. It is to be useful, to be honorable, to be compassionate, to have it make some difference that you have lived and lived well”.

“Terjemahannya: Tujuan hidup bukanlah untuk bahagia. Tetapi menjadi manfaat, menjadi terhormat, penuh berbelas kasih, dengan hal tersebut membuat perbedaan, bahwa kita telah hidup dan hidup dengan baik”. (Ralph Waldo Emerson)

Pitutur Jawanya?

Migunani Tumraping Liyan yang artinya sekecil apa pun tindakan kita, haruslah bermanfaat dan berguna untuk orang lain.

Filsafat kehidupan menurut saya tidak eksklusif milik suku dan bangsa tertentu, kutipan saya menunjukkan insight-nya menjadi universal.

“Bisa gitu ya?”

Yang ada dalam pemikiran saya adalah satu ajaran budi pekerti yaitu hidup itu harus menjadi manfaat, menjadi berkat bagi sesama dan makhluk lain. Falsafahnya adalah hidup, menghidupi, menghidupkan.

Mencari Tahu

Banyak orang lain mencari tahu #kepo tentang berbagai tindakan keseharian kita dalam banyak hal, untuk kemudian menjadikannya bahan pembicaraan. Dan, bukan ikhlas menaruh simpati dan empati yang orang lain butuhkan, apalagi memberikan bantuan yang kita perlukan ketika kejadian luar biasa terjadi terhadap kita.

Selanjutnya ada momen yang bisa dibilang tepat pada waktunya. Karena pada saat saya sedang membuat draft pelatihan, masuk WA text dari seorang teman lama — seorang trainer tingkat nasional– menawarkan kepada saya untuk membawakan materi digital marketing B2B di Yogya dihadapan 200 orang marketer perusahaan minyak nasional.

Tetapi arah pembicaraan kami beralih topik, bukan hanya materi public speaking ini. Beralih dan berlanjut kesatu hal menarik, tentang 3 kecerdasan manusia yang sedang saya pikir untuk saya tulis. Ternyata teman saya, menggunakan literatur berbeda yang cukup menohok saya.

Katanya “Menurut literatur, ada tiga (3) jenis kecerdasan; fisik, sosial/emosional, dan intelektual”

Jawab saya : “Sebentar-sebentar, aku harus sinau maneh iki. Yang aku tahu tiga (3) kecerdasan manusia itu adalah emosional, spiritual dan intelektual”

Teman saya, tidak menimpali kata-kata saya, tetapi lanjut menulis text nya

“Ketiga kecerdasan tersebut, jika dikelola dengan baik akan melahirkan kecerdasan spiritual”

Jawab saya lagi : “Tapi iki nenarik loh. Kok yo pas kamu memberi trigger”

Tulis teman saya:

“Kalau orang punya kecerdasan fisik yang tinggi, tetapi kecerdasan sosialnya rendah, perilakunya akan mukulin orang…..

Kalau orang kecerdasan intelektual tinggi dan kecerdasan fisiknya rendah, maka perilakunya: sehari kerja, seminggu di rumah sakit…..

Kalau orang kecerdasan sosialnya tinggi, tetapi kecerdasan intelektual rendah, seringkali ditipu orang. Orang baik tapi bodoh…..

Kalau orang kecerdasan intelektual tinggi, tetapi kecerdasan sosial rendah, cenderung meremehkan orang lain, atau bahkan menipu yang lemah…..”

“Nah lo – sopo iki… Bolak balik kena tipu uang. Gampang percoyo, gak tegoan. Mostly utang personal”

Reaksi teman saya — dan ini tendangan telak buat saya– : “Berarti kecerdasan sosial peno  (kamu—bahasa Jawa Timuran–) dominan tinggi, dengan resiko mengorbankan kecerdasan intelektual bro….. *Peno sepertinya sering terjebak dengan kebaikan semu cak (panggilan untuk laki- laki dalam bahasa Jawa)……”

Saya kategori mahluk dengan kecerdasan sosial tinggi, tetapi kecerdasan intelektual rendah dan pada akhirnya stres sendiri.

Apakah arti klasifikasi ini?

Saya pun membatin, teman saya ini bener sekali. Orang dengan tipe kecerdasan sosial tinggi, akan stres ketika tidak mampu menolong orang lain. Terlebih terhadap orang yang hendak “meminjam” uang, bahkan minta.

Permintaan pertolongan tersebut menjadi bahan pemikiran ber hari- hari bahkan ada yang tertancap menjadi ingatan permanen. Pendek kata kita mikirin orang lain yang tidak atau belum tentu memikirkan kita. Kita masih terbeban pikiran, yang bersangkutan sudah bersenang-senang. Dan kelompok mahluk berkecerdasan sosial tinggi, sudah terbiasa juga dengan orang ngutang yang kemudian “menghilang”. Pinjaman dengan janji beberapa hari atau paling lambat akan dikembalikan awal bulan, kemudian tidak pernah kembali, akhirnya diiklaskan.

Sebagian besar stres pada diri kita berasal dari cara kita masing-masing merespons suatu kejadian dan bukan karena sewajarnya hidup ini. Menyikapi dengan bijak, tidak sepenuhnya menghilangkan stres-stres tersebut. Ya, pastinya keputusan kita tidak selalu benar. Sangat situasional. Dan, semua baik dan untuk dijalankan.

Belajar dari pengalaman hidup kita masing-masing, kita harus menjalankannya secara seimbang perihal Migunani Tumraping Liyan. Memikirkan diri sendiri adalah sangat penting sebelum memikirkan orang lain. Tindakan menjadi manfaat bagi orang lain dan makhluk lain harus logis dan tidak merugikan diri sendiri.

Benar demikian?

 

Pandalungan Jember, 22 April 2022

Jeffrey Wibisono V.

Praktisi Perhotelan dan Konsultan

Jeffrey Wibisono V