FASHION

Kain Tenun Berusia 80 Tahun Warnai Festival Tenun Ikat Sumba

SUMBA TIMUR, bisniswisata.co.id: Festival Tenun Ikat Sumba 2018 mulai digelar di Lapangan Palawan, Waingapu, Sumba Timur Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berlangsung hingga 14 Juli 2018. Sebanyak 525 rambu penenun ikat dari Kabupaten Sumba Timur memeriahkan festival tenun ikat Sumba, yang menjadi kalender event tahunan bagi NTT.

Menariknya di festival ini sebuah kain tenun yang sudah berusia 80 tahun. Meski berusia tua, kain itu masih terlihat bagus. Warnanya pun tidak luntur. Ia tersimpan rapi dalam kotak yang terbuat dari anyaman bambu. Asal tahu saja, usia kotak itu sama tuanya dengan kain tersebut.

Kain tua ini berasal dari Kampung Lambangapu, Sumba Timur. Masa pembuatannya memakan waktu bertahun-tahun. “Ini kain tenun sesungguhnya. Dibuat dari kapas yang dihelai. Setelah itu baru dipintal menjadi kain,” tutur Pilamandalore, anak dari pembuat kain tenun itu.

Sayangnya, pria berusia 60 ini tidak ingat dengan pasti tahun pembuatan kain tersebut. “Usia kain ini sudah sekitar 80 sampai 90 tahun. Sedangkan saya 60 tahun. Jujur saya tidak ingat. Tapi inilah kain tenun sesungguhnya. Ini dibuat dengan cara dipintal,” terangnya.

Menurut Pila, penawaran tertinggi untuk kain ini adalah Rp45 juta. Tapi tidak dilepas. Karena nilainya sangat tinggi. Jika pun harus dilepas, maka harga yang pantas adalah Rp125 juta. “Kalau pun harus dijual, saya ingin dengan harga yang pantas. Karena nilai kain ini sangat tinggi. Tidak akan kami lepas begitu saja,” paparnya polos.

Festival Tenun Ikat Sumba ini diselengarakan untuk merayakan kualitas artistik Sumba yang luar biasa, festival ini menyajikan semua yang telah membuat seni tenun ikat begitu istimewa. Ini termasuk motif dan desain yang luar biasa, warna luar biasa yang hanya menggunakan zat alami untuk pewarna seperti daun dan akar, serta filosofi dan sejarah dibalik kain tradisional yang unik ini.
Penggunaan pewarna alami secara unik menyebabkan warna bertahan lama, kualitas yang benar-benar sudah teruji. Kata “ikat” itu sendiri berarti mengikat. Setiap daerah di Sumba memiliki beragam motif dan pola ikat.

Di Wanokaka, Lamboya juga di Tana Righu ada kain Panggiling, Pahikung dan Pawora sedangkan di daerah Loli ada kain yang disebut kain Lambaleko. Sampai saat ini, meski sebagian besar telah masuk agama Kristen atau Islam, masyarakat Sumba, tetap mengikuti tradisi megalitik seperti yang diajarkan oleh nenek moyang mereka.

Ikat tenun di seluruh Sumba memiliki makna sosial, religius dan tradisional. Berbagai jenis kain ikat terkait dengan pola dalam teknik pembuatan dan pewarnaan. Secara tradisional hanya anggota klan tertinggi dan petugas pribadi mereka mengenakan ini untuk upacara khusus saja.

Pada saat pemakaman raja dan tokoh penting, tubuh yang dulunya berpakaian dengan tekstil terbaik tampil dengan baik di akhirat, dan tumpukan tekstil tambahan kemudian sering disertakan dalam peti jenasah.

Adalah orang Belanda yang mulai mengekspor ikat ke Eropa, di mana bahan mahal ini dengan cepat menjadi sangat populer. Sampai hari ini, kain Sumba dikumpulkan sebagai contoh desain tekstil dengan kualitas terbaik, ditemukan di museum utama dunia dan juga di rumah kolektor.

“Ini memang potensi yang tak boleh dilupakan. Kain tenun Sumba memiliki motif yang berbeda, varian desainnya kebanyakan simetris yang mewakili keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan manusia. Inilah alasan mengapa Kementerian Pariwisata sangat antusias dalam mendukung acara” kata Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Kementerian Pariwisata, I Gde Pitana, saat membuka Festival Tenun Ikat Sumba.

Dalam festival selain menampilkan motif dan varian tenun ikat yang kaya, festival ini juga ada peragaan busana, workshops, dan beberapa program menarik lainnya. Bagi mereka yang ingin belajar lebih banyak tentang kain itu, akan ada demonstrasi di panggung produksi tenun ikat. Ini termasuk pencampuran warna, memutar benang, serta menenun benang menjadi selendang atau produk lainnya.

Festival ini juga akan menampilkan bazar dan pameran produk unggulan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan inovasi modern lainnya dari tenun ikat. (NDY)

Endy Poerwanto