JAKARTA, bisniswisata.co.id: Pariwisata Dunia sejak tahun 2010 terus mengalami pergeseran hingga sekarang ini. Dari Mass atau Quantity Tourism seperti Sun-Sand-See ke Responsible Tourism yakni Serenity-Spirituality-Sustainability yang berfokus pada Quality Tourism atau sering disebut Intangible Tourism.
Titik pergeseran antara Quantity Tourism – Quality Tourism adalah Creative Tourism berupa Shopping- Safety-Security. Dan Pariwisata Dunia telah melaluinya dengan baik, malah sudah berada pada Responsible Tourism. Mereka menyebutnya Sustainable Tourism.
“Sayangnya, Indonesia belum serius dan masih setengah hati menghadapi pergeseran itu, ya dikarenakan ketidak pahaman tentang pergeseran Paradigma Pariwisata Dunia,” papar Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Prof. Azril Azahari kepada Bisniswisata.co,id di Jakarta, Selasa (07/01/2020).
Apalagi, lanjut Azril, kalau berada pada Quality Tourism atau sering disebut Responsible Tourism, Indonesia juga masih belum serius menerapkannya. “Hal ini terlihat dengan wisata Shopping, Safety, Security, Healthy, Hygiene ternyata belum menjadi fokus untuk diperbaiki,” lontarnya serius.
Diakui, Indonesia masih disibukkan dengan 10 Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata Danau Toba (Sumatera Utara), Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu, Kota Tua (DKI Jakarta), Borobudur (Jawa Tengah), Bromo-Tengger–Semeru (Jawa Timur), Mandalika (NTB), Labuan Bajo (NTT), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku).
Juga 5 DSP (Destinasi Super Prioritas) yakni Danau Toba, Joglosemar (Jogyakarta, Borobudur, Semarang), Mandalika NTB dan Labuan Bajo yakni wisata Komodo NTT serta Likupang, Sulawesi Utara. “Menurut pendant saya sudah saatnya harus mengevaluasi kembali keberadaan 10 KEK dan 5 DSP yang sekonyong-konyong bahkan tanpa ada kajian yang mendalam menjadi sesuatu yang luar biasa,” ungkapnya.
Prof. Azril Azahari melanjutkan tahun 2020, pariwisata Indonesia menghadapi tantangan juga peluang. Dan peluang yang sangat besar untuk mengembangkan Small-Size Entreprises in Tourism yakni UMKM Pariwisata diangkat ke permukaan, karena selama ini mereka telah bahkan dengan sengaja dimarginalkan.
“Jadi tahun 2020, Dampak Pariwisata harus mampu meningkatkan kualitas hidup, termasuk pendapatan masyarakat sekitar destinasi yang diprioritaskan. Ya angkat dong UMKM Pariwisata agar bisa meraup pendapatan,” ucapnya.
Kedua, lanjut dia, program peningkatan Wisnus (antar provinsi/antar kabupaten/kota/desa) harus menjadi program utama tahun 2020, karena melalui mereka inilah akan tersebar secara positif destinasi kita.
“Artinya kita lebih mngutamakan peningkatan kualitas hidup masyarakat kita melalui pariwisata. Bukan meningkatkan kualitas hidup masyarakat mancanegara, guna mengejar ‘DEVISA”. Ya lebih baik DARI KITA-UNTUK KITA-OLEH KITA, baru dampaknya terhadap peningkatan Wisatawan mancanegara (wisman),” katanya.
Ketiga, sambung dia, pada 2020 tuntutan terhadap peningkatan Daya Tarik yakni Visitors’ Attraction yang bukan diterjemahkan menjadi “ATRAKSI” sudah menjadi dasar setiap pengembangan destinasi dan event.
Keempat, tambah dia, demikian pula “HEALTH, HYGIENE, SAFETY, SECURITY” harusnya bukan menjadi masalah dan kendala lagi, karena sudah menjadi tuntutan mutlak yang harus dipenuhi. “Artinya kalau kita tidak jeli menghadapi tahun 2020 ini, kita terpaksa balik ke tahun 2010 bahkan 2000 yang berkutat dan masih menghadapai berbagai permasalahan dasar pariwisata. Ini kan menyedihkan,” sambungnya. (end)