JAKARTA, bisniswisata.co.id: Batik, busana tradisional asli Indonesia kian digemari warga negara asing, termasuk para isteri Duta Besar di Indonesia. Saat hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Fesyenalisme dalam Batik dan Tenun pun berkibar.
“BANYAK hal yang membuat saya betah tinggal di Indonesia. Saya suka batik karena cantik, selain itu nyaman dipakai,” tutur istri Duta Besar Jepang untuk ASEAN, Yukari Sunaga, di sela-sela peragaan busana Batik for Independence Day di the Sultan Hotel & Residence, Jakarta, pekan lalu.
Kesukaan Yukari pada batik pun terlihat dari kesemringahannya hari itu berperagaan dengan busana batik. Yukari dan juga istri-istri duta besar negara-negara sahabat untuk Indonesia berperagaan dengan koleksi terbaru dari Alleira.
Seperti yang dikenakan Yukari, koleksi terbaru itu didominasi dengan kain batik dan kebaya ataupun blus bernuansa merah-putih, jadilah koleksi tersebut sebagai fesyen yang terkesan kental dengan nasionalisme (fesyenalisme). Sementara itu, kesan segar dan muda hadir lewat potongan kebaya yang kebanyakan berlengan pendek dan penggunaan kain gaya jarit sebetis.
COO Alleira Zakaria Hamzah menjelaskan, jika motif yang digunakan merupakan modifikasi dari motif khas Solo. “Motifnya terinspirasi dari Solo, tapi dimodifikasi seperti yang selalu kami lakukan untuk koleksi-koleksi lainnya,” kata Zakaria soal koleksi bertajuk Indonesiaku itu.
Selain parang ataupun kawung, ada pula motif garis-garis yang kadang ditampilkan tak selaras panjangnya. Menurut Zakaria, hal itu untuk menggambarkan masyarakat Indonesia yang beragam, tak melulu memiliki tinggi, suku, dan agama yang sama. Namun, motif garis ini menjadi kekuatan bahwa dalam ketidakselarasan garis, membentuk motif yang indah.
Jika batik juga dibuat sengaja tampil menyeluruh dalam kebaya agar nuansa keindonesiaan makin kental. Untuk itu, kebaya dibuat nihil bordir. Tak hanya diisi busana kebaya merah putih, koleksi itu juga menamplikan 10 busana batik dalam potongan yang lebih modern.
Beberapa artikel busana itu ialah blus juba (cape blouse), luaran panjang, hingga gaun-gaun lebar dengan tali pundak yang seksi. Pada deretan busana ini, palet warna yang dipilih tidak merah-putih, tetapi beragam warna.
Sama seperti Alleira, konsep fesyenalisme juga tampil dalam peragaan Copa de Flores. Namun, jenama fesyen lokal yang fokus mengangkat tenun ikat ini menampilkan gaya yang lebih bernuansa masa perjuangan.
Dalam peragaan yang berlangsung Selasa (13/8) di Menteng, Copa de Flores memperagakan 17 set busana dengan peragaan teatrikal bertajuk Reminisensi Jejak Perjuangan dalam Benang Merah Putih. Bambu runcing, senapan, hingga aksesori kopiah tampil melengkapi penampilan para model.
“Siluetnya pun terinspirasi dari zaman penjajahan hingga kemerdekaan sehingga tampak cuttingan sederhana, tapi mengutamakan kenyamanan yang merdeka untuk penggunanya,” kata Dyandrastra Mairavida, Co-Founder dan Creative Director Copa de Flores seperti dilansir laman MediaIndonesia, Ahad (18/08/2019).
Salah satu busana yang tampak menonjol ialah busana berwarna krem dan oranye yang tampil sebagai pembuka peragaan. Menurut Dyanra, busana ini hanya berupa potongan kain yang disilangkan di bagian belakang.
Busana lain juga tampak menarik ialah blus dengan kancing yang dapat dibuka di bagian pundak. Dengan begitu blus ini dapat juga tampil sebagai busana one shoulder.
Koleksi ini diakui Dyandra hanya memiliki motif yang minim, tapi tanpa kehilangan kemewahan dari tenun itu sendiri. Motif tenun ditampilkan dengan minimalis pada bagian kepala saku, list kerah, pemanis pada bagian dada, dan lainnya.
Sementara itu, bahan lainnya yang digunakan ialah linen yang memiliki tekstur unik karena serat alaminya. Copa de Flores berharap koleksi kali ini bukan hanya mendekatkan generasi muda pada tenun, melainkan juga semangat nasionalisme. (NDY)