FASHION

De Posuo, Tenun Sultra Menjelajah Moskow

JAKARTA, bisniswisata.co.id: Indonesia kaya kain tenun. Proses pembuatannya masih menggunakan peralatan sederhana namun menghasilkan wasra yang luar biasa. Teknik pembuatan kain tenun yang menggabungkan benang secara memanjang dan melintang, sehingga membentuk motif tertentu. Biasanya, tenun terbuat dari serat kayu, kapas, sutra, dan lainnya.

Salah satu kain tenun khas Indonesia ialah tenun Sulawesi Tenggara (Sultra). Tenun Sultra biasanya menggambarkan objek alam. Juga kaya warna. Motifnya pun bermacam-macam, ada yang bercorak kuno hingga ramai karena mmenyesuaikan zaman. Salah satu corak yang cukup tua ialah motif salur besar dan kecil yang berselang-seling.

Motif juga menunjukkan strata sosial dalam masyarakat seperti motif Kasopa yang biasa dipakai perempuan kebanyakan. Ada motif yang lebih rumit, Kumbaea, yang didominasi warna perak dan biasanya dipakai perempuan dari golongan bangsawan dengan gelar Wa Ode.

Kain Tenun ini umumnya digunakan dalam setiap upacara adat dan ritual keagamaan. Ada anggapan jika kain tenun tidak disertakan dalam setiap upacara adat dan ritual, hakikat dan nilai dari upacara dan ritual dinilai kurang sakral.

Selain sebagai perekat sosial, tenun Sultra juga dianggap mampu menjadi identitas diri. Tenun tidak hanya sebagai pelindung tubuh dari terik matahari dan dinginnya malam. Misalnya hanya dengan melihat pakaian yang dikenakan oleh perempuan Sultra, kita bisa mengetahui status pernikahan juga strata sosialnya.

Salah satu adat di Sultra adalah Posuo, tradisi memingit anak gadis untuk beranjak dewasa yang berlangsung selama 8 hari 8 malam, demi menjaga kesucian gadis tersebut. Malam ke-8, dilakukan ritual dengan tarian yang diiringi tabuhan gendang dan dihadiri oleh pemuka adat Sultra. Mereka percaya, jika salah satu gendang yang pecah, pertanda bahwa gadis itu tidak suci lagi.

Berlatar Posuo itu, desainer Ferry Sunarto mengangkat kecantikan, keindahan, kesucian kain Tenun Sultra untuk dikenalkan ke masyarakat Moskow Rusia dalam pagelaran show tunggal pada acara Festival Indonesia Moskow (FIM) 2019, di Krasnaya Presnya Park, Moskow, a 4 Agustus 2019. Dalam koleksinya bertajuk De’Posuo, desainer Ferry menyisipkan tradisi Sulawesi Tenggara, dalam busananya.

“Untuk keempat kalinya, saya diberi kehormatan memperkenalkan budaya Indonesia melalui fashion dihadapan pecinta mode Rusia. Kali ini saya memilih Sulawesi Tenggara karena ragam jenis kainnya banyak, selain itu karya ini saya namakan De’Posuo, yang berasal dari adat istiadat di daerah tersebut,” ujar Ferry Sunarto dalam keterangan resminya yang diterima Bisniswisata.co.id, Ahad (14/07/2019).

Selain karena keindahan dan keunikannya, lanjut dia, merasa bertanggung jawab ikut menjaga dan memperkenalkannya ke mata dunia lewat tangannya. Dari tiga kali keikutsertaan sebelumnya, Ferry mengaku memahami karakter fesyen masyarakat Moskow.

Warga Moskow menyukai tampilan busana yang simpel meski sebetulnya juga kaya detail dan filosofis. Ketika sisi filosofis telah ia masukkan lewat inspirasi tradisi Posuo, ia pun memilih potongan yang cukup sederhana tapi dibuat atraktif dengan permainan material dan aplikasi. “Simpel dengan cuttingan sederhana, tapi dibuat dengan teknik yang cukup rumit,” katanya.

Tak hanya itu, menurutnya, orang Rusia juga menyukai warna-warna pastel jika dibandingkan dengan warna cerah untuk busana. “Ini seperti kebetulan karena memang signature kita pun lebih pada romantis dengan warna lembut, seperti butter yellow, mint green, dusty pink, dan lavender” lanjutnya.

Busana lainnya, memiliki tampilan hampir sama, tapi dipadukan dengan rok ramping selutut. Atasannya pun dibuat dari velvet berbelahan dada rendah. “Jadi orang Rusia suka sesuatu yang etnik dan memiliki filosofi. Mereka juga fashionable, makanya saya buat yang etnik tapi sophisticated,” sambungnya.

Koleksi De’Posuo nampak potongan gaun pensil selutut berwarna mint green dengan motif tenun Sulawesi Tenggara. Sementara pada bagian dada diberikan detail renda yang menutup hingga ke bagian pundak tangan. Uniknya, Ferry memberikan sentuhan seperti turtle neck dengan potongan garis hitam yang terlihat menyambung hingga ke bagian bawah.

Juga ada rancangan hasil paduan siluet membentuk tubuh serta potongan halterneck dengan cutout di pundak untuk gaun selutut itu memang bukan hal baru. Namun, kesan berbeda muncul dari material yang digunakan. Kain adatinya mudah dikenali dengan adanya motif bidang geometris dan garis zig-zag. Material bermotif geometris itu digunakan di bagian halterneck yang menyambung ke median torso dan menyambung lagi ke rok.

Pada bagian tepi-tepi torso menggunakan material adati lainnya yang bermotif garis vertikal. Penggunaan dua material itu, sekaligus bidang memanjang di median, menghasilkan siluet merampingkan. Sementara itu, kesan centil dan seksi diperkuat dengan ruffle tile sebagai hiasan bahu.

Selain koleksi ready to wear-nya, Ferry juga mempersiapkan couture yang chic dan sophisticated. “Kami juga tampilkan couture. Dan uniknya lagi saya akan bikin show di jembatan seperti dramatic fashion show,” sambung Ferry.

Diakui, mengolah kain adati memang bukan hal baru baginya. Selama ini ia juga sering mengeksplorasi batik dan tenun Bali. Kali ini, sengaja memilih tenun asal Sultra demi memompa semangat kebangkitan setelah bencana banjir besar di Konawe. “Saya ingin menjadikan momen ini juga sebagai langkah bangkit masyarakat Sulawesi Tenggara yang memiliki kain cantik,” ujarnya.

Nantinya, seluruh koleksi De’Posuo dipercantik aksesori rancangan Rinaldy Yunardi. Sedangkan untuk make-up-nya, Ferry menggandeng kosmetik legendaris Indonesia Viva Cosmetics yang menjadi simbol tradisi kedewasaan perempuan melalui fashion dan beauty. (redaksi@bisniswisata.co.id)

Endy Poerwanto