JAKARTA, bisniswisata.co.id: Wabah Covid-19 yang melanda dunia, dan anjuran para ulama serta umara untuk kita tetetap tinggal di rumah untuk waktu yang sudah ditentukan, nyatanya memang berdampak luas.
Pelajar tak bisa pergi ke sekolah, pegawai tak bisa bisa ke kantor, tempat-tempat wisata ditutup, dan banyak rencana kerja yang sudah disiapkan matang terpaksa gagal dilaksanakan atau ditunda pengelenggaraannya.
Dampak ini juga dirasakan oleh Jan Praba, seorang perupa di Jakarta dan Ketua Komunitas Pelukis Kopi Indonesia atau Coffee Painter Indonesia (CPI) yang juga mantan President Persatuan Kartunis Indonesia.
“Kami, 30 orang perupa yang tergabung dalam Komunitas, berencana menggelar pameran bertajuk ‘Coffee in CultureHeritage #2’ di Museum Seni Rupa dan Keramik di kawasan wisata Kota Tua Jakarta, dan sedianya diresmikan pada tanggal 21 Maret 2020,” ungkap Jan Praba yang juga aktivis Sanggar Lukis Garajas.
Tapi seperti kita ketahui, wabah Covid-19 melanda termasuk di sekujur wilayah Indonesia. Dan kita semua sepakat dengan anjuran para ulama/agamawan serta umara atau pemerintah untuk #saveStayHome, tinggal di rumah sambil terus bekerja.
Hal ini sebagai usaha memutus rantai penyebaran virus corona yang bisa menyerang siapa saja, tak peduli pejabat dan selebriti ataupun seniman yang tak punya gaji tetap. Maka, pameran pun gagal digelar. “Persisnya, kami tunda, menunggu hari baik untuk digelar lagi,” ucap Jan Praba, optimistis.
Sebagaimana yang pertama, pameran ‘Coffee in CultureHeritage #2’ digagas untuk mencatat serta mendokumentasikan peninggalan sejarah dan budaya yang ada dan berkembang di Indonesia. Untuk itu, Jan sudah menyiapkan dua buah lukisan dengan obyek sosok wayang Bima, satu dari lima persaudaraan Pandawa.
Sebuah lukisan berukuran 75 x 120 Cm bertajuk Bersih – Tegas – Berani, sebuah lagi berukuran 75 x 150 Cm bertajuk “Two Version of Bima”. Yang menarik, sebagaimana juga karya lain yang kelak dipamerkan, kedua lukisan karya Jan dilukis menggunakan media kopi.
Pesona ampas minuman
Indonesia merupakan negara penghasil produk biji kopi terbesar keempat setelah Brazil, Vietman dan Kolombia. Dimana-mana orang suka ngopi. Bubuk kopi mudah didapat, bahkan di kampung-kampung di pinggir hutan dan gunung.
Banyak pedagang asongan menawarkan kopi hangat di tempat-tempat keramaian ataupun taman kota, harganya segelas tak sampai Rp 5000. “Setelah kita teguk habis, ampasnya di dasar gelas bisa kita gunakan untuk melukis di atas kanvas,” ungkap Jan sederhana.
Melukis dengan menggunakan air dari ampas kopi bukan hal baru. Di luar negeri ataupun dalam negeri, sejak lama seniman melakukannya. “Tapi sebagai komunitas, saya kira…Coffee Painter Indonesia ( CPI) hadir sebagai yang pertama,” ungkap Jan Praba.
Dideklarasikan pada 1 Oktober 2018 bertepatan dengan International Coffee Day, Coffee Painter Indonesia sedikitnya telah menggelar tiga kali pameran di Jakarta, yakni pameran bertajuk Ekspresi Nuansa Kopi di Smesta Gallery pada November 2018, Coffee in CulturalHeritage di Museum Seni Rupa & Keramik pada 9 Februari 2019, dan Coffee in Hero di Museum Basoeki Abdullah pada bukan November 2019.
Di luar itu, CPI juga bergiat di berbagai kegiatan. Kerap diminta untuk demo dan berekspresi di berbagai perayaan dan acara wisata, termasuk kegiatan ‘mengajar’ secara gratis kepada masyarakat, keluarga dan anak-anak ihwal bagaimana memanfaatkan bekas minuman kopi yang sudah habis diteguk ayah atau ibu, dan menjadikannya zat pewarna pengganti cat air atau watercolor berwarna sephia.
Sama dengan cara melukis konvensional, yang menggunakan cat atau pinsil, kapur warna serta potongan arang, melukis dengan media kopi amat mudah di lakukan. Tingal menyiapkan lembar media datar seperti kertas kwarto ataupun folio, atau kanvas bila sudah mulai mahir.
Kemudian bentuklah suatu gambar yang kita inginkan dengan menggunakan pewarna dari cairan kopi, bisa yang pekat ataupun agak encer dan encer sekali, tergantung nuansa gambar yang kita inginkan.
Ujung kuas, atau batang lidi yang sudah dipenuhi cairan itu lantas disapu di atas kanvas yang ada. hingga muncul gambar yang kita inginkan. “Kami siap bila diminta untuk berbagi pengetahuan,” kata Jan.
Karya berharga
Saat ini aktivitas melukis memang cenderung kita fahami sebagai kegiatan menggambar sesuatu di atas kertas atau kanvas, dengan pensil pewarna, tinta atau produk zat pewarna yang kita kenal sebagai cat. Padahal kita tahu, sejarah seni lukis lahir jauh sebelum masyarakat budaya menghasilkan tinta, pensil ataupun cat.
Pada lempeng batu-baru atau dinding goa misalnya, para akreolog menemukan gambar-gambar hasil tangan-tangan manusia purba, yang mencoret atau menoreh gambar-gambar khas dari bahan lumpur ataupun cairan warna alamiah yang didapat di permukaan bumi di dekat situ.
Pada perkembangannya, kita juga tahu, orang lantas menggambar atau mendokumentasikan sesuatu bentuk di alam dengan menorehkan batu runcing atau arang kayu yang hitam legam, sampai kemudian ditemukan budaya sabak (batu tulis), kertas, pena bulu angsa, tinta, pensil warna-warni, lembar kain kanvas, dan juga ragam cat modern.
Namun ada hal yang tidak berobah, yakni seni menggambar atau melukis selalu menggunakan alat untuk melukis (pensil, pena, kuas atau tongkat lukis), media datar (juga cembung atau cekung) sebagai tempat untuk menggambar, serta cairan tertentu untuk menghadirkan gambar sesuai imaji dan fantasi artistik si pembuat gambar.
“Sekarang ini, siapapun yang ingin melukis, bisa dengan mudah membeli dan mendapatkan alat-alat lukis. Tapi tidak demikian dengan masyarakat di desa apalagi yang berkampung nun jauh di pinggir hutan dan gunung,”
Cat khusus untuk melukis masih merupakan sesuatu yang susah didapat, disamping harganya yang relatif mahal. Pada situasi seperti ini maka kopi bisa menjadi alternatif baru untuk melukis.
Namun begitu Jan menegaskan bahwa penggunaan bubuk biji kopi sebagai dasar pewarna, tidak dimaksud untuk menggantikan fungsi cat. “Ada atau tidak ada gerakan melukis dengan kopi, cat atapun tinta akan tetap dicari dan digunakan orang untuk menggambar atau melukis,” katanya.
Sama dengan cara melukis menggunakan cat air, butuh teknik dan ketelatenan tersendiri untuk mahir memulas atau menutulkan warna pada kertas atau kanvas yang digunakan. Tapi semua itu bisa dipelajari. Lupakan dulu soal bakat, yang penting punya minat.
Jika tak punya minat, mengerjakan apapun tak kan pernah berhasil. “Tak ada batasan umur. Anak-anak ataupun orang tua, asal bisa pegang kuas atau pensil, silakan menggambar dengan ampas kopi sekalipun,” lanjutnya sederhana.
Ngomong-ngomong berapa harga lukisan kopi dengan obyek Bima di atas? Jan Tak menjawab. Tapi beberapa bulan lalu, dalam sebuah ajang wisata di Jakarta, sebuah lukisan kopi karya Jan Praba bertema Semar, dijinjing pulang seorang kolektor ke negeri asalnya, setelah ‘menukar’nya dengan kocek Rp 20juta.