INTERNATIONAL TRANSPORTASI

CEO IATA: Refund Tiket Dengan Voucher Lebih Fleksibel

Refund Tiket penerbangan jadi isu dunia ( Foto: unsplash.com/ Raychan)

MONTREAL, Kanada, bisniswisata.co.id: Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) memberikan perhatian utama masalah refund tiket dengan voucher oleh perusahaan penerbangan akibat pembatasan perjalanan dan kebijakan Lockdown ditengah pandemi global COVID-19 , kata Alexandre de Juniac, CEO IATA.

Dia meminta masyarakat memahami regulasi EU 261, peraturan yang menetapkan aturan umum tentang kompensasi dan bantuan kepada penumpang jika terjadi penolakan naik pesawat dan pembatalan atau penundaan lama penerbangan

Menurut regulasi EU 261, maskapai penerbangan Eropa harus mengembalikan sekitar 9,2 miliar Euro sebagai kompensasi terhadap penerbangan yang dibatalkan hingga akhir Mei,” kata Alexandre de Juniac, CEO IATA.

Padahal EU 261 bukan dirancang untuk menghadapi pembatalan massal akibat sejumlah negara menerapkan kebijakan lockdown untuk memerangi pandemi COVID-19.

Sekadar informasi, flight compensation regulation 261/2004, atau biasa disebut EU 261 merupakan regulasi yang dibuat untuk kenyamanan penumpang pesawat ketika penerbangannya mengalami penundaan (delay), tidak bisa boarding (denied boarding) misal karena overbooked, atau bahkan ada pembatalan (cancel) dari pihak maskapai.

“Oleh sebab itu, kami meminta fleksibelitas penerapan aturan ini agar bisa menggantinya dengan sistem refundable vouchers – atau penundaan reimbursements – sehingga perusahaan penerbangan dapat menyimpan uang tunai demi bertahan hidup terutama di masa krisis seperti saat ini. Kami pastikan, konsumen tetap akan mendapatkan pengembalian, tetapi butuh waktu,” kata Juniac.

Sejauh ini sudah 16 negara anggota Uni Eropa yang mewakili 70% populasi Eropa mendukung permintaan tersebut. Alih-alih mengamandemen regulasi EU 261 yang bertujuan untuk memperjelas panduan, Komisi Eropa justu mengeluarkan rekomendasi yang tidak jelas. 

Sejujurnya, menurut Juniac tindakan ini tidak membantu sama sekali maskapai penerba gan dan konsumen. Keduanya butuh kejelasan. Permintaan ini bukanlah mudah bagi IATA. Setiap orang yang bepergian harus diperlakukan adil dan bayarlah apa yang menjadi hutang mereka. 

“Tetapi dengan menerapkan regulasi EU261 yang fleksibel, kami yakin dapat memfasilitasi dan menjaga agar sektor ini tetap hidup selama krisis,” tambah Juniac.

Jika perusahaan penerbangan kehabisan uang, keadaan akan makin buruk. Banyak orang akan kehilangan pekerjaan. Situasi ini akan memberi dampak negatif pada seluruh mata rantai industri perjalanan dan wisata. Selama ini industri penerbangan mampu mendorong bisnis di sektor terkait lainnya, dan menghubungkan ekonomi. 

Menurut Juniac, memulai kembali aktivitas ekonomi dengan sektor transportasi udara yang terseok-seok ibarat sedang bertinju seumur hidup tapi dengan satu tangan terikat di belakang.

“Kami minta negara-negara anggota Uni Eropa (UE) untuk meyakini bahwa pendekatan yang harmonis lewat sistem reimbursements dan vouchers dapat dilaksanakan dengan baik. Hak penumpang tidak akan hilang, hanya perlu sejumlah penyesuaian,”kata Juniac.

Di Indonesia

Refund tiket menjadi isu hangat juga ditanah air begitu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi melarang mudik 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020.

Imbasnya, permintaan refund tinggi, tak terkecuali untuk tiket pesawat. Namun, bentuk refund tiket pesawat yang diberikan justru dikeluhkan calon penumpang. Mereka mengeluhkan, adanya kebijakan refund khusus tiket pesawat yang dikembalikan tidak dengan uang tunai, melainkan voucer.

Kebijakan refund berupa voucer ini juga ditanggapi oleh Asosiasi Travel Agent Indonesia ( Astindo) melalui Sekretaris Jenderal DPP, Pauline Suharno.

Ia meminta perhatian kepada seluruh maskapai agar refund tiket berbentuk dana yang ditransfer ke rekening customer atau travel agent.

“Bukan mengembalikannya dalam bentuk voucer ataupun deposit, karena dalam kondisi saat ini seluruh industri, khususnya dalam hal ini adalah travel agent pun sangat membutuhkan dana tunai,” kata Pauline melalui rilisnya bulan lalu.

Ia mengkhawatirkan, apabila dana refund konsumen dan top up deposit tidak dikembalikan kepada yang berhak yaitu konsumen dan travel agent, maka puluhan miliar rupiah uang milik konsumen dan travel agent dianggap bagian dari aset mereka.”Karena mengendap di rekening bank mereka,” tambahnya.

Pauline juga bertanya, apakah ada jaminan bagi pemegang voucher refund, maupun pengusaha travel agent, perihal uang tiket dikembalikan utuh..”Sangat disayangkan baik konsumen maupun travel agent menjadi yang paling dirugikan dalam hal ini, maskapai penerbangan beroperasi bermodalkan uang milik konsumen dan travel agent,” jelasnya.

Sebelumnya, Kemenhub RI mengatakan, masyarakat bisa melakukan refund tiket maskapai. Namun, pengembalian pembelian tiket tersebut tak bisa berbentuk uang tunai.

“Airlines tidak ada kewajiban kembalikan uang cash, tapi dalam voucer yang 100 persen sama nilainya dengan yang sudah dikeluarkan,” kata Dirjen Perhubungan Udara Novie Riyanto saat teleconference dengan wartawan

Novie menjelaskan, aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 185 tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.

Melalui aturan tersebut, lanjut Novie, maskapai wajib melayani penumpang yang akan refund tiket. Misalnya dengan penjadwalan ulang, atau mengganti rutenya pada kemudian harinya.

Pernyataan Novie pun lantas segera diterapkan sejumlah maskapai penerbangan di Indonesia seperti Garuda Indonesia, AirAsia, Citilink, Lion Air, dan sejumlah maskapai lain yang akhirnya melakukan refund berupa voucher.

Contohnya, jika melihat situs resmi Garuda Indonesia, tertulis jelas kebijakan refund dilakukan dengan menggunakan Travel Voucher.

“Refund hanya dapat ditukarkan dengan travel voucher yang dapat digunakan untuk pembelian tiket Garuda Indonesia selanjutnya,” tulis laman resmi Garuda Indonesia.

 

Rin Hindryati