DENPASAR, bisniswisata.co.id: PARIWISATA Bali pulih dalam waktu dekat, dengan melakukan standar tatanan kehidupan baru? Mimpi di siang bolong, tegas Nyoman Artha pegiat Koprasi Tani Bali Jagadhita menanggapi wacana membuka kepariwisataan Bali dalam kaidah Bali Next Normal yang digadang- gadang pemerintah dan sejumlah asosiasi.
Argumentasinya, jelas Direktur PT Aroma Wali Dewata Nusantara ini, pariwisata membutuhkan keadaan aman dan nyaman, baik dalam perjalanan dari tempat asal menuju destinasi (Bali) mau pun saat mereka ada di destinasi. Tidak mudah meyakinkan wisatawan untuk merasa aman, nyaman dalam masa pandemi atau pasca pandemi ini.
Dengan ambruknya ekonomi dunia, dampak ikutan pandemik penyakit ( bencana kesehatan) orang akan lebih berfikir pada kebutuhan pokok mereka dan upaya untuk bertahan atau mengubah arah aktivitas mereka untuk bisa survive. Traveling bukanlah kebutuhan pokok, apalagi traveling ke luar daerah atau pun ke luar negeri, kecuali dalam keadaan mendesak, ungkap pemilik usaha berlabel Balizen ini.
Mahalnya biaya perjalanan, akibat pembatasan dan bertambahnya item dokumen, prosedur dalam setiap proses traveling, dengan resiko tetap tinggi tertular virus, diyakini Nyoman Artha mengikis minat masyarakat melakukan perjalanan jauh.
“Memaksakan diri untuk berfikir dan melakukan usaha- usaha recovery pariwisata dalam waktu dekat ini, sama seperti usaha beruang kutub memaksakan diri untuk berburu pada musim dingin di Kutub Utara. Tenaganya akan habis untuk membawa berat tubuhnya melewati tebalnya salju dan dinginnya cuaca, sementara binatang buruan sangat jarang keluar. Dia akan mati kelaparan dalam waktu singkat, karena tidak dapat buruan, “ paparnya dengan nada prihatin.
Apa sebenarnya yang harus dilakukan Bali untuk bertahan?
“Jaga stabilitas produksi pangan, sehingga kita bisa swasembada pangan, walau tidak harus selalu beras. Jaga distribusi pangan sehingga setiap orang bisa makan, punya atau tidak punya uang. Bangun kembali kegiatan- kegiatan gotong royong dan fokus untuk petani tetap bisa berproduksi dan masyarakat bisa makan,” papar Co- founder jejaring Pasar Rakyat.
Berhenti korupsi, berhenti cari profit hanya untuk diri sendiri saja, kita bekerja hanya untuk bisa bertahan beroprasi serta bertahan makan untuk anggota keluarga. Lakukan trobosan untuk produk- produk turunan, serta bangun asset- asset intangible saat “musim dingin” (darurat pandemik) bagi ekonomi ini, ungkap Artha disela kegiatan menyiapkan paket sayur segar bagi warga Desa Tembok, Buleleng yang “tertahan” di Denpasar, akibat pembatasan pergerakan masyarakat.
Mengakui atau tidak, tradisi pertanian adalah muasal kepariwisataan Bali, wisatawan manca negara mau pun domestik ke Bali mencari ketenangan alam. Tatanan hidup harmoni dengan menjalankan konsep berkehidupan Tri Hita Karana dirusak oleh budaya hedonism. Sah dan wajar jika ada tokoh masyarakat di Sanur dalam obrolan ringan di Kebun KalpaTaru mengatakan:
“…Manusia Bali sedang menjalani karma nya; mereka dulu mendapat hadiah pariwisata karena merawat alam yang melahirkan segala budaya yang ada saat ini. Setelah pariwisata besar, mereka kemudian membunuh alam — yang telah memberikan segala kehidupan….”
Menyadari “karma” itu, Nyoman Artha dan jejaringnya (Koprasi Tani Bali Jagadhita, Pasar Rakyat) mempelopori upaya memerdekakan pikiran, selanjutnya mendayagunakan akal untuk berkreatifitas dan mensyukuri hidup.
Nyoman Artha mengingatkan,”jika semua bisa saling bantu dengan “cerdas”, Bali tidak hanya menjalani tatanan kehidupan normal baru. Bali justru kembali ke kejayaan masa lampaunya dalam hal memproduksi pangan. Jarak orang kerja di kebun itu minimal 5 meter, jadi melebihi syarat yg ditentukan oleh institusi internasional mana pun dan pasti aman, “asal” selalu waspada.
Bali tidak perlu menjalani New Normal, tapi kembali ke normal lama, bertani kekinian dengan kearifan lokal sebagai kunci utama.