Memahami halal dapat membantu memupuk hubungan antar agama. ( foto/Pexels)
Oleh M.Obaidul Hamid dan Md Mahmudul Hasan untuk theconversation.com
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Kata “halal” mungkin merupakan konsep paling umum yang dikaitkan dengan umat Muslim. Ini adalah “wajah sosial” dari keyakinan dan praktik keagamaan mereka, yang telah memperkaya multikulturalisme Australia.
Namun, banyak non-Muslim tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang arti halal. Ketidaktahuan dan kesalahpahaman tentang halal dapat menyebabkan sikap xenofobia terhadap umat Muslim, seperti yang telah kita lihat sebelumnya.
Mengetahui makna sebenarnya dapat meningkatkan rasa saling menghormati antara umat Muslim dan non-Muslim serta mempererat keharmonisan sosial. Berikut arti istilah tersebut dan asal usulnya.
Apa definisinya?
Halal adalah kata Arab yang pada dasarnya berarti segala sesuatu yang diizinkan atau halal menurut ajaran Islam. Lawannya adalah “haram” yang merujuk pada segala sesuatu yang dilarang dalam Islam.
Ulama Yusuf Qardhawi mendefinisikan halal sebagai “yang diizinkan, yang tidak ada batasannya” dan haram sebagai “yang dilarang keras oleh Sang Pemberi Hukum [Tuhan]”.
Batasan halal sangat luas. Apa pun yang tidak dinyatakan haram dan baik bagi manusia adalah halal. Ulama Islam Mohammad Hashim Kamali mengutip pernyataan dari Nabi Muhammad:
Halal adalah apa yang telah diizinkan Allah dalam Kitab-Nya, dan haram adalah apa yang telah dilarang Allah dalam Kitab-Nya. Adapun apa yang Dia pilih untuk tidak disebutkan, maka itu dibebaskan. Oleh karena itu, apa yang tidak digambarkan Islam sebagai haram, adalah halal.
Siapa yang memutuskan apa yang halal?
Halal dan haram adalah hak Allah dan tidak dapat ditentukan oleh manusia. Al-Qur’an menasihati orang beriman untuk “mengambil bagian dari hal-hal baik” yang disediakan untuk rezeki mereka.
Apa yang Islam halalkan diyakini baik bagi manusia, dan apa yang dilarangnya berbahaya bagi mereka. Al-Quran menyebut makanan halal sebagai “baik”.
Namun, makanan halal bisa menjadi haram jika berbahaya bagi kesehatan. Misalnya, gula halal tetapi mengonsumsinya secara berlebihan dapat menjadi haram jika membahayakan nyawa.
Makanan haram juga bisa halal ketika terjadi rasa lapar yang mengancam nyawa. Daging hewan dan burung tertentu termasuk sapi, kambing, kanguru, ayam dan bebek halal hanya jika disembelih dengan cara Islam.
Reptil, bagaimanapun, adalah haram. Spesies ikan dan makanan laut umum adalah halal, meskipun ada perbedaan pendapat mengenai barang-barang tertentu, seperti kepiting dan cumi-cumi.
Zat memabukkan (seperti merokok dan alkohol) dan perjudian adalah haram dalam Islam karena mereka “menabur permusuhan dan kebencian” antara orang-orang dan menjauhkan mereka dari ibadah, menurut Al-Quran.
Lebih dari sekadar makanan
Kehidupan Islami tidak dapat dipahami tanpa aturan halal dan haram. Aturan-aturan tersebut mencakup semua aspek kehidupan Muslim, termasuk konsumsi makanan dan minuman, pakaian, perilaku verbal dan nonverbal, transaksi keuangan, hubungan seksual, interaksi sosial, dan rekreasi.
Misalnya, perempuan Muslim dilarang mengenakan pakaian yang lazimnya dikenakan laki-laki, begitu pula sebaliknya. Emas, perhiasan, dan pakaian sutra dilarang bagi laki-laki, tetapi diperbolehkan bagi perempuan.
Riba (meminjamkan uang dengan bunga yang sangat tinggi) adalah haram, tetapi menghasilkan uang melalui perdagangan yang adil dan praktik bisnis adalah halal.
Produsen dan pemasar semakin banyak memenuhi kebutuhan pelanggan Muslim dengan mempromosikan merek halal. Namun, ketidaktahuan atau pemahaman yang kurang tentang halal masih umum di kalangan Muslim maupun non-Muslim.
Saat makan di restoran umum, umat Muslim akan memeriksa apakah daging di menu halal. Terkadang, kita mendengar karyawan di gerai makanan berkata: “Daging sapi dan ayam halal, tetapi saya tidak yakin dengan daging babi”.
Yang lain bertanya kepada umat Muslim apakah mereka diperbolehkan makan ikan.
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mengungkapkan rasa ingin tahu sekaligus kesalahpahaman.
Kehidupan yang bermakna dan etis
Pendekatan yang tidak bermanfaat adalah ketika halal dipahami melampaui makna sebenarnya dan dikaitkan dengan isu-isu politik dan ideologis. Terkadang halal dijadikan senjata untuk propaganda anti-Muslim.
Dalam kebanyakan kasus, makanan halal dan non-halal mungkin tidak memiliki perbedaan fisik, kimia, atau nutrisi. Perbedaannya hanyalah perbedaan agama atau spiritual.
Seorang anak dari salah satu penulis artikel ini pernah makan sosis sapi di festival makanan sekolah dasarnya. Ketika diberi tahu bahwa sosis itu tidak halal, ia mengatakan rasanya persis seperti sosis halal.
Dia benar. Seorang anak non-Muslim akan memiliki pengalaman yang sama dengan sosis halal. Karena perbedaannya hanya pada metode penyembelihan hewan yang seharusnya halal, rasanya akan sama.
Namun mengingat pentingnya halal secara spiritual, seorang Muslim tidak akan merasa nyaman jika mereka makan makanan non-halal, bahkan karena kesalahan.
Muslim yang mengikuti aturan halal cenderung menghormati pola makan orang lain. Aturan atau preferensi diet dapat menjadi dasar untuk memahami persamaan dan perbedaan antar kelompok agama.
Pengetahuan ini juga dapat membantu mengidentifikasi kesamaan antara Muslim dan non-Muslim, memastikan inklusi dan hubungan sosial.
Praktik halal Muslim dapat membawa manfaat bagi masyarakat.
Makanan halal yang diperoleh melalui cara ilegal menjadi haram. Misalnya, kecurangan, korupsi, dan penyembunyian informasi produk dapat membuat pendapatan atau transaksi bisnis menjadi tidak Islami.
Mencari keuntungan berlebihan dengan merugikan pelanggan juga bertentangan dengan semangat halal. Jadi, halal bukan hanya tentang menghindari makanan dan minuman tertentu. Halal juga tentang menjalani kehidupan yang etis dan bermakna, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.










