YOGYAKARTA, bisniswisata.co.id: Ruang utama Ndalem Poenokawandi Jl. KHA Ahmad Dahlan 71 Yogyakarta dipenuhi undapngan dan kehadiran Sri Sultan HB X dan GKR Hemas serta kelima putri dan mantu dalem.
Hadir pula Gusti Putri Pakualam, Menkopolhukam RI Mohammad Mahfud MD, Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Staff Khusus Presiden Sukardi Rinakit, KH Ahmad Muwafiq, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Islah Barawi, Staff Khusus Menkeu Prastowo, anggota Parampara Praja serta tamu lainnya.
Hari istimewa karena merupakan perhelatan ulang tahun emas Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi, sosok putri sulung Raja Yogya ini banyak diutarakan orang sebagai pribadi yang simpel, apa adanya –bahkan kerap berpampilan tanpa sapuan make up— namun tak mengurangi keberadaannya sebagai pribadi yang berkharakter kuat.
Semua duduk setengah melingkar di delapan meja bulat berlapiskan kain merah menyala. Di bagian depan ada podium kecil berkarpet yang juga berwarna merah. Dekorasi bernuansa merah makin kontras dengan hiasan bunga-bunga di berbagai sisi ruangan yang dominan putih. Perpaduan yang sederhana namun tampak anggun dan berkharakter.
Perpaduan ini jugalah yang muncul dalam gambaran serupa banyak dituliskan oleh 34 orang tokoh lintas kalangan dalam buku berjudul “GKR Mangkubumi : Penyambung Budaya Adiluhung dan Peradaban Indonesia Modern” yang diluncurkan sekaligus sebagai kado ulang tahun buat Gusti Mangkubumi.
Buku itu sendiri disusun hanya dalam waktu tiga pekan saja. Penulis sekaligus editor buku Widihasto Wasana Putra menyampaikan, buku juga mengulik kisah masa lalu dan kiprah Gusti Mangku saat masih bernama Raden Ajeng Nurmalita, kemudian berganti GKR Pembayun dan kemudian menyandang gelar nama GKR Mangkubumi.
Banyak kisah unik dan mengesankan muncul. Apalagi diungkapkan sendiri oleh ibunda GKR Hemas, suami, anak-anak dan adik-adik Gusti Mangku. “Harapannya kado buku ini dapat menyemangati Gusti Mangku untuk semakin teguh dan kuat mengarungi gelombang samudera kehidupan,” ujar Widihasto.
Dalam sambutannya mewakili penulis, Mahfud MD mengungkapkan, bangsa Indonesia hari ini menghadapi masa depan di mana masyarakat dunia berubah.
Sedangkan kita ingin nilai-nilai adiluhung bangsa itu tidak luntur menghadapi masa depan. Sehingga perlu penyambung. Setiap hari orang mencaci orang, tidak ada sopan santun lagi, tidak ada budaya yang kita banggakan dulu.
“Lho, ini kan budaya mulia. Tapi kenyataannya kita menghadapi tantangan besar budaya kita terkikis. Apalagi sekarang batas-batas antar negara sudah tak ada lagi, sehingga kita perlu penyambung,” paparnya.
Nah di sinilah kita lihat salah satu penyambung ada di di GKR Mangkubumi. Gusti Mangkubumi sebagai sosok yang lahir dan dibesarkan di pusat budaya adiluhung, namun tetap punya pergaulannya ke dunia masa depan. Hidupnya juga begitu merakyat.
“Nah itu yang saya tulis, kesan di selamat ultah ke 50. Karena kebetulan saya satu kantor. Di Paramporprojo selama 2 tahun, lalu saya ke Jakarta. Saya punya kesan seperti itu,” tukas Mahfud.
Sementara itu Sri Sultan HB X mengatakan, sebagai orang tua bisanya hanya berdoa. Mereka sudah berdiri sendiri. Berkeluarga. Sehingga pemikiran, perilaku, maupun apa yang diabdikan untuk bangsa dan negara ini, di luar tanggungjawab dia sebagai anak saya di Kraton Yogyakarta. Semua adalah didasari kejujuran dan juga niat yang baik dari yang bersangkutan.
Tidak hanya punya pencerminan pada anak saya tapi juga pada keluarga termasuk suaminya sendiri-sendiri. “Kami sebagai orang tua sudah melepaskan tanggungjawab itu karena sudah berumahtangga. Saya hanya bisa mempersiapkan bagaimana dia bisa mengarungi kehidupan sebagai anak bangsa yang harus bermanfaat bagi bangsa dan negara,” ujar Sri Sultan HB X.
“Semua itu coba kita lakukan. Dari awal. Bagaimana, menurut pandangan saya, dasar kemandirian itu paling menentukan. Karena akan terbentuk seberapa jauh integritas dan kemampuan mereka beradabtasi dengan tantangan hidupnya sendiri. Sebagai sesuatu yang memang harus dia lakukan,” imbuh Sultan.
Acara perayaan ulang tahun ke 50 Gusti Mangku dipuncaki dengan doa yang dipimpin KH Ahmad Muwafiq dilanjut dengan ramah tamah. Buku “GKR Mangkubumi : Penyambung Budaya Adiluhung dan Peradaban Indonesia Modern” sementara baru dicetak terbatas dan belum dipasarkan ke umum.