Mengharapkan kembali wisatawan domestik dan mancanegara ke obyek wisata butuh komunikasi dua arah dan kepercayaan yang tinggi. ( Foto Kemenpar).
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Kehadiran pelayanan semacam Tourism Call Center tetap diperlukan untuk meraih kepercayaan wisatawan dari dalam dan luar negri dalam upaya dibukanya kembali destinasi wisata di Indonesia, kata pengamat pariwisata Wuryastuti Sunario.
“Bali sudah siap dengan protokol kesehatan dan sudah rencana buka pada 11 September 2020 tapi akhirnya mundur lagi karena berbagai pertimbangan dan kebijakan Kemenkumham yang belum dicabut serta pertimbangan lainnya,” ujarnya.
Mantan Ketua Badan Promosi Pariwisata Indonesia ( BPPI) yang akrab di sapa Tuti Sunario ini mengingatkan sesiap apapun kita merencanakan pembukaan kembali maka kuncinya adalah di konsumen yaitu turisnya sendiri yang mau datang berkunjung.
“Hal terpenting yang perlu dilakukan oleh kepariwisataan Indonesia agar mampu menarik wisatawan adalah pertama-tama meraih kembali Kepercayaan (Trust and Confidence) para wisatawan, baik domestik maupun internasional dan itu membutuhkan komunikasi dua arah,”
Menurut Tuti pemerintah tidak bisa menulis slogan :“Anda akan nyaman, aman dan sehat bila berwisata ke destinasi Indonesia” karena tidak ada jaminan untuk itu dan warga dunia juga mempertimbangkan bagaimana negara yang ingin dikunjunginya itu dalam menangani COVID-19.
” Di Indonesia selama COVID-19 tidak ada kementrian yang menangani khusus semacam Tourisn Call Center yang berfungsi sebagai media komunikasi seperti International Tourism Communication di era New Normal,”
Dia mengaku di awal pandemi global berharap pada Kementrian pariwisata & Ekonomi Kreatif untuk mengaktikan Crisis Center sebagai media komunikasi industri pariwisata di dalam negri dengan mitra-mitranya di luar negri seperti whole seller, tour operator, badan-badan pariwisata mancanegara dan organisasi lainnya baik dari unsur pemerintah maupun swasta.
Tuti kemudian berharap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Binsar Luhut Panjaitan punya kapasitas untuk menjembatani komunikasi dua arah itu supaya masyarakat internasional paham mengapa Presiden Jokowi tidak mau lockdown, misalnya.
Lalu harapannya bersandar di Kementrian Luar Negri karena selain diplomasi seharusnya juga mampu menjembani komunikasi dua arah dengan berbagai bahasa asing karena konsumen ( turis) di era digital perlu berkomunikasi dua arah dan butuh penjelasan dari negara yang akan dikunjunginya nanti.
” Terakhir saya berharap pada Presiden Jokowi yang punya banyak akun media sosial bisa menjadi ” juru Bicara” pariwisata Indonesia dan terakhir pada Menteri BUMN Erick Thohir yang ditunjuk jadi Ketua Pelaksana Komite Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN),” kata Tuti Sunario.
Erick Thohir mengakui bahwa mensinergikan sektor kesehatan dan ekonomi dalam menangani pandemi Covid-19 bukan hal mudah. Sementara Pariwisata terbukti menjadi andalan devisa di banyak negara karena dampak ekonominya yang luas, tambah Tuti.
Jangan lupa, ujarnya. hal yang perlu dipahami juga saat ini adalah antara bagian Pemasaran ( Marketing) dan Public Relations ( PR) di era digital ini sudah tidak bisa bekerja terkotak-kotak. Tapi seperti halnya dua orang yang berjodoh maka mereka harus bisa terikat, melakukan engagement untuk merajut cinta.
” Engagement itu harus merajut kerjasama yang baik, tidak ada lagi tembok antara divisi marketing dan PR karena konsumen di era digital butuh komunikasi dua arah untuk percaya bahwa Indonesia aman untuk dikunjungi,”
Engagement itu sama dengan jumlah interaksi audiens dengan konten media sosial, brand, seperti jumlah klik, kunjungan, likes, share (retweet), pengikut (followers), komentar, balasan, tanbahTuti.
Pakar komunikasi dan pemasaran bisa mengedukasi masyarakat bahwa di era digital ini maka cara konvensional sudah tidak sesuai di tambah lagi dunia tiba-tiba terpukul oleh pandemi global yang menyebar merata di seluruh dunia yang belum pernah terjadi.
Dahulu sebelum internet berkembang pesat, praktisi public relations (PR) sangat bergantung pada media koran, radio, dan televisi dalam kampanyenya. Namun sejak kehadiran teknologi internet, maka pekerjaan PR pun bertransformasi menjadi PR digital.
Masyarakat global akrab menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, Google Maps, website, blog (WordPress, Blogspot, Kompasiana, Indonesiana, YouTube karena ingin berinteraksi, berkomunikasi dan memenuhi kebutuhannya.
Tetap saja PR digital harus membangun proses komunikasi strategis yang bertujuan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan organisasi dan publiknya. Kalau ada Tourism Call Center maka membangun komunikasi dengan turis sebagai konsumennya.
Apa keinginan dan kekhawatiran Wisatawan di New Normal? sekarang Pemasaran dan PR digital harus bersinergi agar mampu menjawab kebutuhan wisatawan jaman Now dimana justru mereka mencari pengalaman baru lewat pendekatan dengan masyarakat dan budaya setempat.
Destinasi Now juga harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip sustainable tourism dalam bidang ekonomi, lingkungan alam, sosial, budaya untuk memenuhi Kepuasan Konsumen yaitu target wisatawannya sendiri.
” Jangan abaikan kebutuhan komunikasi dua arah yang akan mengantarkan wisatawan domestik maupun internasional trust and confidence,” tegasnya