JAKARTA,bisniswisata.co.id: Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda erupsi lagi pada Jumat sore dan Sabtu dinihari tanggal 11 April 2020, mengejutkan masyarakat yang tengah menerapkan social dan physical distancing terkait pandemi virus Covid-19 yang melanda dunia.
Pada tulisan bagian pertama, saya telah kisahkan peristiwa vulkanik yang mendunia itu yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern. Suaranya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan, bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.
Siapa sangka meletusnya Gunung Krakatau ternyata juga menginspirasi karya seni ?. Letusan Gunung Krakatau tahun 1883 juga diabadikan kaum seniman dalam bentuk karya sastra dan musik. Di Betawi misalnya, hingga kini populer Syair Kramat Karam (karya anonim) yang umum didendangkan dengan iringan musik Gambang Kromong.
Syair dan tembang Kramat Karam berkisah ihwal situs keramat di Tanjung Kait di utara Tangerang, yang nyaris tenggelam (karam) saat terjadinya tsunami akibat letusan Gunung Krakatau. Sebuah naskah sastra berbahasa Melayu, bertajuk Syair Lampung Karam karya Mohammad Saleh (sastrawan Lampung kah ia?) juga terbit di akhir 1883 di Singapura.
Tak cuma dalam bentuk sastra dan musik, letusan Krakatau tahun 1883 juga menginspirasi para sineas dunia. Bioskop Majestik di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan misalnya, pernah memutar film layar lebar (yang laris diserbu penonton) bertajuk “Krakatoa, Eas of Java”, Film drama produksi Amerika Serikat tahun 1969 ini disutradarai Bernard Kowalski, dengan pemeran utama Maximilian Schell.
Di sebuah festival film indie di Jakarta tahun 2006, saya juga sempat menonton film doku-drama berdurasi 45 menit, bertajuk “Krakatau – Ein Vulkan verändert die Welt” karya sutradara sekaligus penulis skenario Jeremy Hall, Produksi: ZDF. Film lainnya adalah “Krakatoa. The Last Days’, Dokudrama, Britania Raya, 2006, 87 Min., Sutradara: Sam Miller, Produksi BBC, dengan pemeran utama Rupert Penry-Jones dan Olivia Williams.
Anak Krakatau
Pasca ledakan, Gunung Krakatau hilang di gelam laut, menyisakan tiga gugus pulau kecil: Sertung, Panjang dan (tertinggi serta terbesar) pulau Rakata. Tapi aktivitas vulkanik ternyata tak berhenti. Tahun 1927 atau 44 tahun setelah letusan besar itu, para nelayan yang biasa memancing melaporkan melihat pulau timbul di sekitar situ. Tanggal 12-13 Mei 1929, seorang fotografer memotret temuan itu.
Foto yang kini jadi koleksi Troppen Museum di Belanda segera menyebar dan jadi perhatian dunia Kaldera purba itu tak benar-benar hilang. Dari bawah laut muncul gunung api baru, Anak Krakatau. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter per bulan.
Tiap tahun ia jadi lebih tinggi sekitar 6 meter dan lebih lebar 12 meter. Penambahan tinggi dan lebarnya disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 m-dpl, sementara induknya, Gunung Krakatau, saat meletus tingginya 813 m-dpl.
Apa yang terjadi di masa lalu memang menakutkan. Tapi realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatra yang aneh, mengisyaratkan bahwa apa yang dulu terjadi suatu ketika bukan tak mungkin terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus.
Beberapa ahli geologi memprediksi letusan akan terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 yang menghadirkan musibah tsunami di Aceh dan sekitarnya, juga tidak bisa diabaikan.
Di pulau gunung api Anak Krakatau itu beberapa waktu lalu, saya dan istri saya, Resti memang sengaja singgah ke kawasan kepulauan vulkanik aktif di Selat Sunda, cagar biosfer dengan kawah berapi paling aktif dan paling dipantau oleh para ilmuwan dunia.
Sensasi hujan batu salah satu aktivitas yang terjadi. Karena keunikannya, UNESCO – Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Dunia menetapkan kawasan Kepulauan Krakatau di Selat Sunda sebagai cagar biosfir warisan dunia.
Banyak ilmuwan dan peneliti dari berbagai disiplin ilmu mendapat izin dari otoritas setempat, untuk datang berkunjung ke situ. Dalam skala terbatas, Cagar Alam Krakatau juga membuka diri sebagai ajang wisata.
Bagaimana cara mencapainya ? Caranya? urus perizinan pada pihak terkait, dan penuhi aturan SIMAKSI. Siapkan sendiri moda transportasi dan akomodasi, termasuk juga kebutuhan makan-minum selama perjalanan.
Dengan memenuhi dan mematuhi semua kewajiban awal itu, saya, Resti dan beberapa teman backpackers menggelar Trip to The Lip of Krakatau. Banyak jalan ke situ, dan kami memilih yang paling aman dan murah, walau waktu tempuh jadi lebih lama dan jauh. Tak mengapa, sebab dengan pilihan ini, kami justru jadi bisa menikmati tamasya saujana lainnya di sepanjang perjalanan
Dari rumah kami bermobil minibus ke Pelabuhan Merak di pesisir barat Banten, menyeberang menggunakan jasa ferry ke Pelabuhan Bakauhuni, lalu melanjutkan perjalanan darat ke sebuah pelabuhan rakyat di pesisir selatan Lampung
Minibus yang kami sewa kembali ke pos perusahaan mereka di Bandarlampung, untuk kelak, di hari yang sudah kami sepakati, kembali menjemput kami di pelabuhan rakyat ini, untuk memulangkan kami ke titik rendevouz di Jakarta.
Kapal kayu berkapasitas sekitar 30 penumpang, yang kami sewa jauh-jauh hari, sudah menunggu di dermaga pelabuhan rakyat di kawasan Lampung. usai lunch, menikmati sajian ala prasmamam yang sebelumnya juga sudah kami pesan pada pemilik resto di situ, kami berlayar sekitar dua jam.
Tak langsung ke sasaran, melainkan singgah dulu ke Pulau Sebesi yang berdampingan dengan Pulau Sebuku. Kami menginap semalam di sebuah homestay yang dikelola koperasi desa setempat. Pilihan menginap agar bisa menikmati tamasya sekitar kampung nelayan yang sepi dan bersih, pantai-pantai landau berpasir.
Disini juga kami bisa melihat ‘wasata’ yaitu berburu babi hutan dan rusa dengan tumbak dan parang, dilakukan secara berkala oleh masyarakat setempat serta bantuan anjing kampung yang difungsikan sebagai pelacak sasaran.
Esoknya usai sarapan, panggang tengiri dengan sambal tung kedire (tomat muda), kami berlayar sekitar dua jam menuju sasaran, Kepulauan Krakatau. Ya, Pulau (gunung api) Anak Krakatau tak berdiri sendiri tapi tiga pulau yang sudah saya sebut tadi.
Letusan Gunung Krakatau 1883 menyisakan sedikitnya tiga kepingan gunung yang membentuk pulau saling terpisah, yakni Pulau Sertung, Pulau Panjang, dan Pulau Rakata yang masih terus berasap. Ditambah kemunculan pulau baru di tahun 1927, yakni Pulau (gunung api) Anak Krakatau, maka kelompok pulau-pulau di Selat Sunda ini lantas disebut sebagai Kepulauan Krakatau.
Tak ada fasilitas akomodasi di Pulau Anak Krakatau. Berkemah juga tidak disarankan. Itu pula kosong. Tak ada sumber air tawar di hutannya. Berkunjung ke Pulau Anak Krakatau idealnya harus dilakukan dengan konsep pulang hari, dan tiap pengunjung harus siap dengan bekal pribadi.
Semua barang yang tak perlu ditinggal di penginapan di Pulau Sebesi. Saya dan resti cuma bercelana ngatung selutut, mengenakan T-shirt dan topi rimba. Resti memilih bersandal Spartan, dan saya tetap bersepatu gunung yang menurut saya lebih save untuk untuk menjelajahi berbagai medan.
Kami juga membawa dry-bag cangklong. Isinya: obat-obat pribadi dank rim matahari, pakaian renang dan kacamata selam kalau-kalau ada kesempatan snorkeling, kamera, jas-hujan, tongkat-lipat, pisau lipat, roti dan kue-kue kering.
Tak lupa, kami juga membawa cukup air minum, plus payung lipat yang pasti berguna bukan cuma untuk menghindari terik matahari, tapi juga untuk penapis debu dan kerikil yang yang berhamburan ke langit tiap kali Anak Krakatau batuk.
Dengan perlengkapan itu kami mendarat di bagian pasir pantai yang landai, dan mendaki menuju bibir Anak Krakatau. Pengalaman langka jauh sebelum virus Covid-19 merambah dunia ini menjadi pengalaman berharga yang tidak terlupakan. Apalagi tidak setiap orang bisa menjangkaunya ke sana.
“Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih nikmat di negeri sendiri” begitu kata pepatah. Alhamdulillah, saya dan Resti pernah mengalami nikmatnya sensasi “hujan batu di negeri sendiri” saat trip to the lip of Anak Krakatau.