ART & CULTURE NEWS

Widha Chaidir: Kapan Kuliner dan Restoran  Indonesia Bisa Mendunia ?

Nasi goreng, masakan Indonesia ( Unsplash.com/ Ariv Kurniawan)

MELBOURNE, Aussie, bisniswisata.co.id: Kuliner di suatu tempat bisa menjadi ciri khas daerah sebagai salah satu kebutuhan utama bagi wisatawan untuk dikonsumsi di tempat ataupun untuk dibawa pulang ke daerahnya sebagai oleh-oleh dari daerah yang dikunjunginya seperti gudeg Yogya, misalnya.

Dalam perkembangannya wisata kuliner bukan hanya sekedar menikmati menu makanan di tempat atau dibawa pulang. Bahkan proses pembuatan mulai dari penyediaan bahan baku, pengolahan masakan, dan pengemasannya dapat dijadikan paket wisata yang sangat menarik dan digemari wisatawan terutama di desa-desa wisata.

Bagi Widha Chaidir, diaspora Indonesia yang kini bermukim di Melbourne, Australia, kuliner tradisional justru membuatnya selalu mencarinya saat pulang ke Indonesia. Setiap hari saat pulang kampung akan dimanfaatkannya untuk menyantap masakan dari berbagai daerah.

“Nasi bukan makanan utama, jadi saya suka pilih gado-gado Betawi, karedok Sunda, Asinan, Mie kocok Bandung dan lainnya,” kata Widha Chaidir, hari ini melalui daring.

Meninggalkan Indonesia tahun 1983 dan bermukim serta bekerja di Marseilles, Perancis membuatnya terbiasa makan roti dan pasta ketimbang mencari nasi yang juga memang lebih sulit didapat. Tentu saja untuk kebutuhan buah dan sayurnya hampir setiap hari dia membuat salad dan bumbunya sendiri.

Saat di negri orang dimana umat Muslim menjadi kelompok minoritas masak sendiri memang yang paling aman dan saat jamuan makan baik menjamu tamu di rumah maupun jamuan di Kedutaan Besar Republik Indonesia ( KBRI) di luar negri maka menu andalan a.l nasi goreng, sate ayam dan rendang Padang.

” Saya sendiri kalau menjamu tamu di rumah lebih suka bikin nasi goreng, lumpia, salad dan kalaupun bikin opor isinya bukan ayam tapi kentang dan wortel,” kata Widha.

Hijrah dari Perancis ke Australia pada 1997, Widha yang berprofesi sebagai guru bahasa Perancis di sebuah sekolah swasta di kawasan Ivanhoe, 8 km dari pusat kota Melbourne, mengaku agak  sulit mengajak teman-temannya warga Australia menikmati kuliner otentik Indonesia. Soalnya restorannya sangat terbatas dan pilihan akhirnya hanya itu-itu juga.

“Restoran Indonesia memang tidak banyak, dari dulu yang eksis misalnya Restoran Nelayan dimana yang datang kebanyakan orang Indonesia dan keturunan China. Kalau orang bule ( Aussie) umumnya yang sudah pernah datang ke Indonesia,” jelas Widha.

Menurut Widha, warga Australia adalah tamu repeater ke Bali dengan total turis Aussie ke Indonesia mencapai 1,5 juta/ tahun. Mereka bahkan hampir tiap tahun datang lagi ke Indonesia meskipun promosi pariwisata Thailand juga sangat gencar.

” Jaman Menpar Jero Wacik datang ke Aussie dan jumpa dengan diaspora RI sudah saya ungkapkan kalau bikin Festival Indonesia atau bikin Festival kuliner cukup ampuh untuk menjaring wisman. Apalagi kalau banyak restoran Indonesia dibuka di kota-kota besar di negri kangguru ini,” ungkapnya.

Negara-negara tetangga kalau mempromosikan pariwisata negaranya akan all-out dan promosi di TV nasional, bus, tram dan ruang publik lainnya minimal sebulan sebelumnya sehingga ketika eventnya tiba sambutannya juga luar biasa, jelasnya.

Sayang alasan budget promosi terbatas selalu menjadi jawaban klise sementara restoran Vietnam dengan menu unggulan Pho ( mie) dan Pad Thai serta restoran Malaysia dengan andalannya Nasi Lemak menjamur di Melbourne dan kota lainnya. Begitu pula resto Sushi Jepang.

Widha Chaidir, diaspora Indonesia di Melbourne, Australia

“Pemerintah Indonesia melalui BUMN harus berani buka restoran di kota-kota penting di dunia sehingga bisa mempopulerkan masakan Indonesia di tingkat dunia. Katanya Rendang sudah jadi makanan yang enaknya nomor satu di dunia, tapi kok turis tidak datang berduyun-dutun ke Sumatra Barat ?,” katanya kritis.

Widha Chaidir berharap dalam benak wisatawan asing akan muncul satu saja menu andalan Indonesia yang bisa menjadi trigger mereka datang ke Indonesia gara-gara kepincut kuliner yang jadi andalan. Sama seperti orang kita ke Italia pingin mencicipi originalitas pizza yang dikenalnya di Tanah Air.

Selain soal kuliner, hospitality harus menjadi perhatian pemerintah yang sudah mempromosikan 10 daerah tujuan wisata baru dan destinasi prioritasnya. Mengapa orang Australia misalnya, tetap rajin ke Bali tidak ke Sumatra Barat yang kulinernya sudah diakui dunia ?.

SDM di Bali sekalipun hanya tamatan Sekolah Dasar ( SD)  sangat berbeda kemampuannya dalam melayani wisatawan asing dengan SDM pendidikan yang sama bahkan di Jakarta sekalipun.

“Pengalaman sebagai traveler di Indonesia, masalah hospitality ini harus ditingkatkan terutama di kota-kota Kabupaten. Destinasi wisata ada di pelosok bukan di ibukota provinsi saja. Di daerah kita kerap menemukan harga untuk turis meroket, pelayanan yang lama dan tidak ramah,” ungkapnya.

Soal kuliner Indonesia sudah lama jadi perhatian diaspora Indonesia di Australia, oleh karena itu pihaknya berharap BUMN di bawah Menteri Erick Thohir bisa menghadirkan restoran Indonesia di mancanegara dan membuat wisatawan juga mampu mengingat menu unggulan.

” Saya pingin satu aja menu kuliner Indonesia yang bisa diingat wisatawan saat pulang ke negaranya sudah bagus itu. Test aja apa soto ada di benak turis asing sebagai kuliner khas Indonesia ?. Hampir tiap daerah di Indonesia punya soto,” kata Widha Chaidir.

Jangan lupa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau. Negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia pula dan punya 700 bahasa daerah dan 300 lebih suku etnik.

” Semua itu menjadi daya saing wisata kuliner Indonesia jika memang mau fokus mengembangkannya, kata Widha mengakhiri obrolannya.

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)