SDM seperti apa yang diperlukan bisnis pariwisata pasca Pandemi COVID-19?
DI tahun 2022 dan 2023, apakah pemerintah masih “memasang” target kunjungan wisatawan mancanegara sebesar 20 juta orang — me-refresh target tahun 2019–? Menurut saya, angka tersebut adalah target yang over-optimist, dengan menganalisa kondisi dunia.
Dan, apakah juga akan didukung sepenuhnya — terutama — dari para pekerja pariwisata atau Sumber Daya Manusia (SDM) pariwisata itu sendiri?
Dalam pengamatan saya — juga dari pandangan sejumlah pakar kepariwisataan–, sektor pariwisata akan berkembang seiring dengan kemajuan industri perhotelan, restoran dan sarana pendukung rekreasi lainnya. Menciptakan suatu destinasi yang terintegrasi dengan fasilitas umum di suatu area.
Akan tetapi kendala praktisi profesional sampai saat ini –di beberapa daerah terkait SDM — adalah rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja. Menjadi sedemikian akibat ketidak-sesuaian kompetensi yang dimiliki pencari “kerja” dengan kebutuhan industri. Saya merasakan proses rekrutmen menjadi sangat lambat di wilayah tempat kerja saya saat ini; di Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Saya masih “meraba-raba”, hal peran sistem triple helix (industri, pemerintah dan akademisi) dalam menyusun model peningkatan kompetensi SDM. Apakah dapat terjadi dalam jangka waktu satu semester ke depan?
Berkaitan dengan kepariwisataan, di tahun 2018 kementrian telah menyusun cetak biru sektor pariwisata yang di dalamnya ada 88 kawasan strategis pariwisata nasional, tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Fokusnya secara tradisional masih di Bali, Yogyakarta dan Batam Kepulauan Riau. Tiga daerah penyumbang 90 persen devisa dari sektor pariwisata sampai dengan akhir tahun 2019, sebelum pandemi COVID-19 menghantam dunia dan meruntuhkan hampir semua lini bisnis.
Kualitas, Kompetensi, Keahlian SDM
Dampak hantaman pandemi terparah terjadi disektor pariwisata yang multi dimensi dengan keragaman sektor ikutannya. Dan, belajar dari krisis ini, apakah masih berlaku pernyataan “Untuk pariwisata Indonesia adalah lapangan kerja yang paling mudah dan murah?”
Pasalnya, yang menarik — sedikit membingungkan — adalah data pada tahun 2019 dari berbagai sumber mengungkapkan 58 persen dari 133 juta jumlah angkatan kerja Indonesia berasal dari lulusan SMP. Sedangkan pariwisata dalam hal ini bisnis perhotelan hanya akan menerima staff minimal lulusan SMK khususnya pariwisata.
Jadi, dibawa kemanakah para lulusan SMP itu? Jika dipaksakan, bagaimanakah cara men-training mereka?
Seperti kita ketahui SMK adalah pendidikan jalur cepat kejuruan siap pakai. Mata pelajarannya fokus pada keterampilan dan praktek kerja magang sebagai trainee. Mereka mendapat teori yang sedikit. Jadi biasanya hotel penerima trainee SMK harus ekstra keras dalam memberikan supervisi, agar trainee belajar menyetarakan diri dengan standar operasional hotel berbintang empat (4) ke-atas.
Sebagai praktisi hotel yang sudah malang melintang selama lebih dari 20 tahun, sempat bekerja dibagian sales marketing hotel-hotel bintang lima (5) hingga General Manager hotel bintang empat (4), — telah saya bukukan berjudul Hotelier Stories Catatan Edan Penuh Teladan –, kekinian pasca pandemik COVID-19 menggelitik hati saya dan membuat saya bertanya pada diri saya. Bagaimana sesungguhnya wajah SDM pariwisata kita terutama perhotelan masuk ke triwulan ke-2 tahun 2022?
Apakah mereka dapat kembali dirasuki roh hospitality yang multi dimensi? Apakah “upah/gaji semampunya” perusahaan dan se-nerimo–nya karyawan akan mampu menghasilkan SDM unggul? Mengingat hotel adalah sebuah bisnis yang menuntut sebuah performa tinggi untuk menjaga mood tamu — masuk happy dan keluar juga harus tetap happy—.
Standar remunerisasi pekerja hotel adalah UMK/UMP atau yang disetarakan, plus ada sedikit pendapatan tambahan bagi staff hotel melalui persentase service charge — tidak banyak– mengingat staff rank & file adalah pekerja dengan sistem kesepakatan kerja dengan waktu tertentu. Dibisnis perhotelan, staff rank & file seperti waitress dan housekeeping attendant saja sudah dituntut untuk bisa berbahasa inggris yang baik dan benar dan mengerti grooming.
Lalu bisakah kita mencapai efisiensi dan hasil seperti yang diharapkan wisatawan — akan standar internasional luxury — dengan memperkerjakan SDM yang mudah dan murah? Sebab kebutuhan pekerja murah, meriah dapat dipenuhi para lulusan SMK Pariwisata yang sudah tersebar di beberapa provinsi. Seberapa unggulkah sudah lulusan SMK Pariwisata kita? Bisakah mereka menjadi SDM handal, dan menjadi duta pariwisata Indonesia?
Kesenjangan Skill dan Attitude
Berdasarkan pengalaman — lebih dari 20 tahun bekerja dan berkarya di Bali –Bali sebagai tolak ukur SDM tingkat internasional — bicara perihal wisatawan mancanegara– menyimpan pekerjaan rumah besar. Ada kesenjangan lebar dan dalam pada penyediaan SDM kepariwisataan. Kesenjangan itu nyata terlihat jika kita membandingkan skill dan attitude para pekerja hotel bintang 4 dan 5 dibandingkan dengan hotel bintang 3 ke bawah.
Hal-hal paling mudah dilihat dalam kehidupan hotel sehari-hari adalah masalah grooming, tata cara membawa diri terkait kemampuan komunikasi. Sederhana saja seperti – sudahkah memberi salam kepada tamu ketika berpapasan?
Prilaku para waiter dan waitress “mengobrol” di sudut restoran, tidak memperhatikan kebutuhan tamu yang sudah duduk di restoran dan memerlukan perhatian?
Staff hotel memaksakan diri masuk lift bersama para tamu hotel –sudah jelas peraturannya, bahwa mereka tidak boleh menggunakan fasilitas untuk tamu –bila ada tamu di dalam lift yang terbuka, staff tidak boleh ikut masuk ke dalamnya.
Hotel-hotel chain internasional berbintang 5 umumnya tak bermasalah dengan standar kompetensi SDM, namun ada juga hotel bintang 5 non-chain internasional yang bahasa Inggris staffnya masih pas-pas-an dan belum mempunyai kemampuan diplomasi. Dan kebanyakan lulusan SMK Pariwisata belum mampu berbahasa Inggris dengan baik dan benar sesuai ekspektasi hotel berbintang.
Jika Bali saja yang menjadi tolak ukur pariwisata Indonesia masih kedodoran dalam hal rekrutmen SDM yang skillfull dan well–groomed sesuai jenjang karir dan kualifikasi jabatan yang disandang. Yaitu dari rank & file, supervisor sampai manager. Bagaimana dengan destinasi lainnya yang sedang dikembangkan termasuk daerah-daerah di luar Bali?
Seperti kita ketahui di industri hospitality paket kompeten dan kompetensi pekerjanya sangat komplek. Hospitality, berhubungan dengan bisnis emosi manusia, sebagai sumber interaksi; terutama tamu-tamu hotel, dan solusi yang dibuat harus selalu tepat waktu. SDM hotel selayaknya memahami psikologi pelayanan, latar belakang kultur kastemer, komunikasi untuk bisa memberikan pelayanan yang terbaik.
Pertanyaan mendasarnya adalah, SDM sekelas apa yang disiapkan untuk mencapai target kunjungan wisman — tiap tahun target nya ditetapkan meningkat?
Apakah pemerintah bersedia menfasilitasi pelatihan bahasa dan membuka grooming school untuk SDM pariwisata terutama untuk para pekerja hotel bintang 4 ke bawah?
Apabila di suatu daerah tidak terdapat sekolah tingkat menengah maupun perguruan tinggi dengan jurusan kepariwisataan. Selayaknya dibuka beberapa Lembaga Pendidikan dan Pelatihan untuk meningkatkan kompetensi pencari kerja melalui program sertifikasi. Peran sistem triple helix yaitu industri, kebijakan pemerintah, dan institusi pendidikan. sangat direkomendasikan dengan tujuan menghasilkan model peningkatan kompetensi SDM yang sinkron pada sektor pariwisata, perhotelan dan restoran.
Jember, 4 April 2022