JAKARTA, bisniswisata.co.id: Memprihatinkan memang. Kelakuan turis asing yang berwisata di Pulau Dewata, semakin meresahkan. Melecehkan tempat suci umat Hindu, mencuri sepeda motor, mengamuk karena kehabisan uang, tak mampu bayar sewa hotel atau villa, mengutil barang-barang di hotel, menampar kepala petugas Imigrasi, merusak patung Catur Muka, melarang warga berenang di depan villa dan aksi lain yang menjengkelkan.
Meski ulah itu dilakukan beberapa oknum turis, namun para pelancong asal luar negeri semakin bertindak sewenang-wenang baik kepada masyarakat hingga petugas pemerintahan di Bali. Tak ada rasa saling menghargai, toleransi, terkesan menyepelekan warga lokal sekaligus tidak menghormati budaya Bali bahkan bertindak semaunya sendiri.
Kasus terbaru terjadi pada Sabtu (14/9/2019) siang. Turis asal Inggris bernama Emma Jane diduga depresi kemudian mengamuk bahkan mencoba telanjang di Kantor Kecamatan Kuta Kabupaten Badung Bali. Turis gadis belia ini ditemukan di Jalan Wana Segara, Kuta karena mengamuk dan berulah melempar mobil sambil berteriak. Emma kemudian diamankan petugas Linmas dan dibawa ke Kantor Satpol PP.
Sebelumnya, dua turis melecehkan tempat suci umat Hindu di kawasan objek wisata Monkey Forest, Desa Padangtegal, Ubud. Dalam video yang beredar terlihat turis pria membasuh pantat turis wanita dengan air mengucur di sebuah pelinggih yang disucikan umat Hindu. Tak merasa bersalah, malah tertawa terbahak-bahak Akhirnya kedua turis membuat video permintaan maaf setelah ada upaya mediasi dilakukan pihak Kepolisian, Imigrasi, Desa Adat dan Honorary Consul Republik Czech.
Juga, ada seorang bule di Denpasar yang berusaha mencuri sepeda motor milik warga lokal, kemudian berlari kabur dan berusaha menabrakkan diri ke kendaraan yang melintas di jalan. Aksinya itu membuat seorang pengendara motor Scoopy jatuh tersungkur dan motornya ikut terguling dan terseret beberapa meter dari lokasi kejadian. Bule pria itu juga akhirnya tertangkap dan dibawa kepada pihak yang berwajib.
Bukan hanya kelakuan turis tidak sopan dan cenderung semena-mena, Pemerintah Provinsi Bali juga menghadapi fenomena “Begpacker” yakni turis mancanegara yang nekat dan miskin datang ke Bali. Para begpacker ini kerap berlagak menjadi gembel lantas mencari uang di jalanan karena mereka tidak mempunyai uang untuk hidup selama di Pulau Dewata. Ada juga turis yang mengais-ngais sampah hanya untuk mencari makanan sisa.
Saat pemerintah Indonesia harus dibuat repot menangani masalah ini, lagi-lagi uang dari anggaran negara yang dipakai untuk mengurusi hal ini mulai dari konsumsi, penginapan hingga akomodasi. Tentu saja hal ini sangat meresahkan membuat kita jengah dan muak, tidak hanya penduduk lokal di Bali tetapi juga sektor pariwisata di Indonesia yang terkesan “melacurkan” diri kepada mancanegara tanpa tahu masalah yang harus dihadapi.
Berdasarkan catatan, kasus turis asing berbuat ulah dalam setahun terakhir sering terjadi. Ada sekutar 8 kasus yang dilakukan turis “Mbalelp”. Padahal tahun 2017, turis asing berulah hanya bisa dihitung jari. Tahun 2018, kasus itu bertambah menjadi satu hingga dua orang dalam sebulan. Begitu juga tahun 2019 terjadi meningkat lagi.
Berdasarkan World’s Travel & Tourism Competitive Index (TTCI) yang dilakukan oleh World Economic Forum (WEF), Indonesia menjadi negara paling terbuka dengan turis mancanegara peringkat 17 dunia. Artinya untuk para turis dari mancanegara bisa dengan mudahnya masuk ke Indonesia tanpa keribetan dari aturan yang ketat, belum lagi fasilitas bebas visa yang diberlakukan di banyak negara.
Padahal buat WNI untuk mengurus visa ke luar negeri seperti negara Uni Eropa dan Amerika kerap kali mengalami kesulitan karena banyaknya syarat yang harus diajukan supaya visa mereka diterima dan bisa pergi ke Eropa. Beberapa syarat yang penting yang harus dilengkapi oleh WNI seperti harus melampirkan tiket pesawat pergi-pulang, booking hotel, hingga lampiran bukti rekening yang dipunyai.
Sehingga negara-negara maju di Eropa dan Amerika inipun tidak harus mengurusi para “begpacker” yang kehabisan biaya untuk makan dan ongkos pulang ke negara asalnya. Seharusnya kebijakan serupa juga harus diimplementasikan di Indonesia agar tidak sembarangan turis asing yang bisa masuk ke Indonesia dan berlaku seenaknya sendiri bahkan mengemis di bukan negaranya sendiri.
Kita harus sadar untuk membuang mental inlader kita, bahwa orang-orang bule berkulit putih tidak lebih tinggi derajatnya dari orang Indonesia. Kita tidak lebih rendah dari orang Eropa atau Amerika sehingga mereka bisa berlaku semena-mena terlebih di tempat-tempat sakral.
Selain itu, warisan budaya di era kolonial yang sudah berlalu lebih dari 350 tahun ini harus kita tinggalkan. Kebanyakan dari orang Indonesia menganggap bahwa orang-orang berkulit putih secara otomatis mempunyai uang yang melimpah sehingga tidak merepotkan masalah di kemudian hari.
“Fenomena ini sebagai bukti bahwa orang kulit putih selalu kaya, bukanlah hal yang tepat. Dan banyaknya kejadian ini sebagai refleksi bagaimana pemerintah lewat Kementerian Pariwisata dengan gegabah membuat program-progam yang dinilai tidak dipersiapkan dengan baik dan matang,” lontar Ketum Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) Azril Azahari kepada Bisniswisata.co.id, di Jakarta, Ahad (15/09/2019).
Azril melanjutkan sejak awal diusulkan agar Pemerintah Indonesia tidak membuat kebijakan pada “Quantity Tourism atau Mass Tourism”, namun sudah bergeser pada “Quality Tourism atau Responsible Tourism”. Padahal dengan “Quantity Tourism” akan mengarah dan mengejar jumlah Wisman yang bisa berdampak buruk pada pariwisata Indonesia.
Dampak dari sisi ekonomi seperti pengeluaran Wisman yang berkurang atau spend of money rendah, karena banyaknya “backpacker” yang membanjiri pasar Indonesia, Apalagi ada program “hot deals” yang menawarkan wisata murah dengan diskon gila-gilaan, dan berkurangnya lama tinggal di hotel atau length of time. “Selain dampak ekonomi, juga berdampak Sosial Budaya seperti: meningkatnya tingkat kerawanan sosial dan keamanan,” lontar Azril.
Juga, lanjut dia, berampak Lingkungan atau enviromental sustainability seperti: meningkatnya kerusakan lingkungan dan lingkungan hidup di Indonesia. Hal ini didukung oleh hasil “Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI) 2015, 2017 dan 2019” bahwa sub-indeks yang terendah (paling bawah) selama 3 tahun dialami pariwisata Indonesia seperti Healthy & Hygiene, Environmental Sustainability, Safety & Security, Tourist Service Infrastructure, dan ICT Readiness sangat rendah.
“Jadi Menghormati budaya setempat adalah hal yang sudah sewajarnya dilakukan saat traveling. Hindarilah sesuatu yang bertentangan dengan adat istiadat di tempat wisata. Jangan sampai ada kelakuan mencengangkan seperti yang terjadi pada turis di Bali berikutnya,” harapnya.
Menurutnya, Pemerintah harus sadar bahwa pendekatan pada jumlah atau kuantitas semata adalah keliru, dan cepat kembali pada pendekatan pariwisata berkualitas. “Pemerintah harus sadar bahwa paradigma pariwisata dunia sudah bergeser dari “Mass Tourism/Quantity Tourism” (Sun-Sand-Sea) menjadi “Responsible Tourism/Quality Tourism” (Serenity-Spirituality-Sustainability),” tandasnya serius.
Disarankan segera eliminasi dampak sosial dan budaya yang sangat meresahkan di Bali terhadap aktivitas pariwisata di Bali, karena dampak tersebut akan cepat meluas. Selain itu, program “HOT DEALS” dengan prinsip “ASSET UTILIZATION” harus segera dikaji ulang, bila mungkin segera dihapus, agar tidak meluas ke daerah lain dampak negatifnya. Seharusnya sudah bergeser pada pengeluaran Wisman yang semakin meningkat (spend of money) dan meningkatnya pada lama menginap di hotel (length of time). “Dan Pemerintah harus memahami “TOURIST BEHAVIOUR”,” sarannya.
Selain itu, tambah Azril, prinsip ingin mengembangkan “Sharing economy” guna memanfaatkan periode Wisman yang “Low season” adalah kurang tepat. Sebenarnya dengan memahami karakteristik Wisman dari seiuruh negara untuk berwisata outbound, akan dapat mengisi dan menghindari “low season” tersebut, karena dapat mengisi periode secara penuh dalam satu tahun..
“Apakah pemerintah dalam hal ini memahami dan menyadari hal tersebut….?!? Artinya pemahaman dan kesadaran terhadap “low season”, “sharing economy” dan “Asset Utilization” yang salah…..?!?,” lontarnya.
Ditambahkan untuk mendatangkan Wisman dari luar negeri dapat diibaratkan antara “GULA DAN SEMUT”….. Selama ini prinsip yang dilakukan adalah memindahkan semutnya (Wisman) ke Indonesia….. seharusnya buatlah gula yang lebih manis (DAYA TARIK BUKAN ATRAKSI TAPI “ATTRACTION”) di Indonesia sehingga otomatis semut akan berebut mengejar gula tersebut. (end)