JAKARTA, bisniswisata.co.id: Semua orang tahu Cendrawasih. Burung yang memiliki kecantikan luar biasa. Namanya sangat tersohor karena bulu-bulu indah menghiasi tubuhnya dan penampilannya sangat sedap di pandang mata. Keindahan bulunya jadi daya pikat sekaligus keunggulan utama yang dimiliki burung yang berasal dari keluarga Paradisaeidae ini.
Cendrawasih hanya hidup di wilayah Indonesia Timur, tepatnya Papua. Sayangnya, tidak semua orang tahu bahwa kini cendrawasih terancam punah. Keberadaanya di alam bebas juga terbatas. Malah, banyak ditemui dalam sangkar. Juga kebun binatang.
Kepunahan burung Cendrawaih menjadi keprihatinan Maharani Ayuk Listyaningrum. Alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta melampiaskan keresahan akan Cendrawasih lahirlah Tarian King. Bersama seniman tari asal Papua yang tergabung dalam Maha.Dance, Maharani menampilkan keindahan burung Cendrawasih dalam tarian kontemporer.
Tarian King yang mengedepankan unsur budaya nusantara, melakukan performance di depan penikmat seni di Auditorium Galeri Indonesia Kaya Jakarta, Sabtu (31/03/2018) malam. “Kali ini kami menampilkan tarian dari Papua. Memang, Papua menyimpan ragam kekayaan yang berlimpah. Mulai alam, budaya, wisata hingga flora dan fauna. Salah satunya Cendrawasih yang menjadi simbol Papua,” ungkap Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation dalam siaran persnya, Ahad (01/04/2018).
Dilanjutkan, Maha.Dance menampilkan keindahan burung Cendrawasih dalam tarian kontemporer yang tetap mengedepankan unsur budaya nusantara di depan penikmat seni yang hadir di Galeri Indonesia Kaya. “King persembahan Maha Dance merupakan gambaran dari keindahan burung Cendrawasih dan wujud dari keresahan akan kepunahan burung Cendrawasih,” sambungnya.
Berangkat dari keprihatinan terhadap keberadaan burung Cendrawasih yang kian lama kian terancam, pertunjukan ini juga merujuk pada eksplorasi dari gerak alami burung Cendrawasih dan pengembangan beberapa gerak tradisi Papua. Juga Terinspirasi dari gerak perkawinan burung Cendrawasih, tarian diciptakan Maharani ini menampilkan 5 penari laki-laki, 2 penari perempuan dan pemusiknya 2 orang.
Mereka: Anjar Noak Msen, Griece Martha Deda, Melfritin Waimbo, Fachry D Matlawa, Frans Junias Juganza, Ahmad Nur, Rudy L Karel Mandosir. Semuanya mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Papua yang kampusnya di Jayapura. Meskipun memiliki latar belakang tari yang berbeda, ketujuh penari ini mampu menggabungkan energi dan perasaannya dalam pertunjukannya Tarian King.
“Sangat disayangkan ketika hewan yang menjadi ikon daerah kami terancam punah, karena adanya perburuan dan eksploitasi. Karya ini merupakan sebuah pesan singkat untuk kita sebagai generasi muda penerus bangsa, untuk bersama-sama menjaga keindahan alam, termasuk makhluk hidup yang ada di dalamnya,” ujar Maharani Ayu, Koreografer Tarian King.
Dijelaskan, pakaian dipakai penari perempuan, kebanyakan dari daun-daun segar. Sedangkan alat musik digunakan di antaranya Tifa, alat musik pukul khas Papua. Total masa latihan King selama 6 bulan. “Cukup lama karena saya mengunakan penari baru semua dan mereka belum pernah pentas selam 45 menit di karya sebelumnya,” ungkap Maharani.
Rarian King berdurasi 45 menit merupakan salah satu kampanye untuk keselamatan dan keberlangsungan Burung Cendrawasih di Papua.” Jika ingin melihat Burung Cendrawasih di alam liar di Papua kini sangat sulit. Bisa sih tapi menghubungi pihak WWF Papua dulu. Memang yang disangkar sangat banyak, cuma jatuhnya kasihan,” lontarnya.
Maha.Dance merupakan salah satu kelompok seni terpilih dalam Program Ruang Kreatif: Seni Pertunjukan Indonesia yang digagas oleh Bakti Budaya Djarum Foundation dan Garin Workshop. Berasal dari Papua, Maha Dance didirikan tahun 2015 oleh Maharani Ayuk Listyaningrum alumni ISI Surakarta.
Misi kelompok seni ini menjadi wadah untuk menciptakan dan mengembangkan karya tari yang bersumber dari seni tradisi Indonesia dan juga dapat menjadi wadah untuk bisa memberikan wawasan dan juga pelatihan tentang tari kepada masyarakat.
Karya pertama Maha.Dance adalah tari “Simpang Jalan” bersumber pada tari tradisi Gaya Surakarta dengan Hip Hop dance dan berkolaborasi dengan Goksel Yilmaz Ensemble- musisi asal Belanda dan Turki untuk dipentaskan di 2 kota di Indonesia.
Tahun 2016 Rani mendapatkan Hibah dari Yayasan Seni Kelola yang kemudian tercipta Karya tari “Jalan Pilihan – Love Knows No Gender”. Setahun kemudian Rani memutuskan untuk mencari wawasan baru dari tradisi Papua. Karya yang diciptakan di tanah Papua antara lain tari “Hutan Perempuan” yang di pentaskan di Green Youtefa Performing Art, Jayapura.
Berikutnya tari “Color Rain in Unity” yang di pentaskan di Festival Teluk Humbolt dan Sosiodrama bertajuk “Untukmu Papua Untukmu Indonesia” dalam rangka HUT TNI Ke 72.
Ditambahkan setelah tampil di Jakarta, Tarian King akan dipentaskan di Museum Ulen Setalu Jogja tanggal 27 April dan event Hari Tari dunia tanggal 29 April mendatang di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. (redaksibisniswisata@gmail.com)