JAKARTA, bisniswisata.co,id: Pakar Marketing Hermawan Kartajaya menilai melakukan segmentasi di Industri pariwisata menjadi pondasi dari sebuah strategi marketing. Pasalnya, segmentasi sangat bermanfaat dalam menjaga fokus sebuah bisnis. Bahkan dengan melakukan segmentasi, seorang pemasar bisa memaksimalkan anggaran marketing agar tepat sasaran dan efektif.
“Dan, satu hal yang penting adalah tidak ada satu pun pemasar yang bisa menyasar semua segmen. Jika pun ada, pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit dan upaya yang tidak biasa,” papar Founder & Chairman MarkPlus, Inc. Hermawan Kartajaya saat pemberikan pembekalan pada diskusi Jakarta Weekend Hot Deals di Philip Kotler Theater Class Jakarta, Senin (23/7/2018).
Dilanjutkan, era sekarang ini, Tidak bisa lagi kita bicara kalau konsumen hanya originasi. Melakukan segmentasi harus presisi, begitu juga di industri pariwisata saat membangun destinasi.
Hermawan memberikan contoh Badung, Bali. Di sini, banyak pengunjung dari Malaysia Melayu yang kesenangannya adalah belanja di Badung.
Dalam hal ini, segmentasi tidak hanya bersifat agregat, melainkan kombinasi dari aspek geografis, demografis, psikografis, dan perilaku. Bagan di bawah bisa menggambarkan bagaimana segmentasi seharusnya dilakukan.
“China, Australia, dan India adalah pasar potensial. Ada pula Arab yang kecil tapi sedang naik. Kita mesti bisa baca anxiety & desire (kecemasan dan impian yang tidak ingin diomongkan) bukan sekadar need and want atau persepsi & ekspektasi,” lontarnya.
Selain itu, sambung dia seperti dilansir laman Marketeers, Selasa (24/07/2018), para pemasar harus bisa membaca tidak perlu selalu menanyakan. Salah satu kanal membacanya melalui media sosial mereka. “Belajar psikologi modern,” tutup Hermawan.
Dilanjutkan, memasarkan pariwisata saat ini tak lagi sama dengan cara lama. Di tengah dunia kian kompleks atau biasa disebut dengan era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity), pemasaran tak bisa lagi sekadar pemasaran biasa, melainkan harus presisi.
Ada tiga cara pemasaran presisi paling tidak harus diperhatikan di pariwisata. Pemasar tak bisa sekadar menjawab wants dan needs pasar, melainkan anxieties dan desires dari target konsumen. Dalam pariwisata, pendekatan pemasaran presisi yang dilakukan terhadap kebutuhan wisatawan dapat dilakukan dengan memberikan specific needs, specific offer, dan specific value.
“Segmentasi tidak hanya bersifat agregat, melainkan kombinasi dari aspek geografis, demografis, psikografis, dan perilaku,” ucapnya
Pemasar pariwisata dapat membuat paket destinasi wisata yang memenuhi specific needs dari target pasar mereka. Tidak hanya itu, para pemasar juga dapat bercermin dari tujuh tren global dalam pariwisata di tahun 2017, meliputi milennials, female solo travellers, bleisure, mobile photography, active and adventure trips, food tourism, dan responsible tourism. “Kalau lebih simple-nya, semua ada dalam tiga kata, yakni YWN (Youth, Women, Netizen),” sambungnya.
Untuk menghasilkan strategi yang presisi, Hermawan mengatakan diperlukan penawaran (offering) yang sesuai dengan apa yang menjadi keinginan dari wisatawan. Ada beberapa poin yang patut diperhatikan, Pertama, terkait desired destinations berarti harus ada destinasi-destinasi yang sesuai dengan apa yang menjadi anxieties and desires dari masing-masing segmen secara spesifik.
Kedua, dari segi value over price, para pemasar dikatakan Hermawan harus memahami bahwa active and adventure trips tak selalu identik dengan backpacking. Penawaran menarik seperti gampling dapat mengakomodasi pasar tertentu pula.
Ketiga, tailored message berarti pesan-pesan dalam promosi harus disesuaikan dengan masing-masing segmen. “Tentu, tanpa meninggalkan pesan utama dari Wonderful Indonesia,” kata Hermawan.
Tak ketinggalan, poin Keempat adalah conversational media di mana para pemasar harus meningkatkan kehadiran promosi di situs-situs online, media sosial, dan Key Opinion Leaders dari pasar-pasar prioritas. Terakhir, selected sales channels dalam arti menggunakan kanal-kanal penjualan yang sesuai dengan preferensi dan perilaku wisatawan.
Menurutnya, Poin yang tak kalah penting adalah menciptakan specific value. Hermawan menjelaskan, persoalan branding dan subranding perlu diupayakan secara nasional untuk diturunkan hingga tingkat yang lebih rendah (kota, kabupaten, desa/kecamatan) guna menjawab kebutuhan wisatawan dengan lebih spesifik. “Peranan pariwisata dalam tourist journey bukan lagi menciptakan awareness, melainkan meningkatkan commitment dan affinity wisatawan,” paparnya. (NDY)