Rahasia Kopi Vietnam Memikat Dunia

JAKARTA,  bisniswisata.co.id: Pandemi virus corona belum menunjukkan tanda-tanda segera pergi. Orang masih banyak yang mengurung diri di rumah karena khawatir tertular virus mematikan itu. Meski pemerintah sempat mempertimbangan untuk melonggarkan aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), toh banyak pihak meminta agar ide itu ditinjau kembali. 

Sementara menunggu perkembangan, ada baiknya kita alihkan sedikit perhatian ke isu lain, yakni kopi Vietnam. Kini, semakin banyak penikmat kopi di dunia kepincut kopi Vietnam. Kopi berjenis robusta ini biasa disajikan dengan campuran susu kental manis.

Tak sulit bagi awam (bukan penikmat kopi) untuk segera jatuh hati dan ketagihan. Dulu, saat masih ada restoran Vietnam Pho Hoa di pojok Jalan Sabang, kami kerap mampir untuk sekadar menyeruput usai menyantap mie Vietnam yang nikmat.

Menurut seorang kerabat yang sering bertandang ke Vietnam, negara dengan pangsa pasar sepeda motor terbesar di dunia itu, kopi Vietnam sebenarnya keras banget, apalagi jika kita minum di sana. “Akupun sampai pusing setelah minum kopi di pojok kafe yang banyak tersebar di kota Ho Chi Minh,” kata Nico.

Bagi masyarakat Vietnam, minum kopi sudah menjadi semacam way of life. Seperti halnya di rumah-rumah sebagian besar masyarakat Indonesia, orang-orang Vietnam juga memiliki tradisi minum kopi di rumah atau saat menjamu tamu.

Mereka percaya kadar kafein yang ada di dalam kopi bukan sekadar mampu menyuntikkan energi, melainkan lebih dari itu. Kedai-kedai kopi pun marak berdiri di sana, mulai dari model counter hole-in-the-wall dengan bangku plastik di sepanjang trotoar, hingga kafe kontemporer dengan fasilitas sangrai di tempat.

Sebenarnya, tradisi minum kopi di Vietnam bukanlah murni budaya yang tumbuh dari lokal melainkan diimpor dari Perancis saat negara Eropa ini menjajah pada sekitar 1850an. Kebiasaan ini pun berlanjut. Budaya impor ini bahkan memberi  kontribusi pada tingkat kebahagiaan masyarakat Vietnam.

Menurut survei yang dilakukan Happy Planet Index yang berbasis di Inggris pada 2016, Vietnam diurutkan pada peringkat ke-5 negara paling bahagia di dunia, dan menempati urutan kedua di kawasan Asia Pasifik.

Membuat kopi Vietnam tidaklah rumit. Setiap orang bisa meraciknya di rumah. Alat utamanya hanya sebuah phin, penyaring bubuk kopi berbahan stainless steel. Ini mudah didapat, harganya pun relatif terjangkau. Pertama, masukkanan dua sendok makan kopi bubuk Vietnam ke dalam phin, kemudian letakkan phin di atas cangkir atau gelas.

Rebus air panas, lalu tuanglah ke dalam phin: tunggu (dengan sabar) sampai ia menyaring. Kopi Vietnam biasanya disajikan dengan cita rasa creamy. Untuk itu, tambahkan susu kental manis ke dalam gelas sebelum kopi masuk. Terakhir, aduk rata sehingga kopi berubah warna menjadi karamel coklat. Jika ingin, boleh saja tambahkan gula untuk menendang rasa kafeinnya. 

Petani kopi di Vietnam melatani turis dan racikan kopi Vietnam di cafe-cafe

Salah seorang yang sukses  memulai usaha jual kopi Vietnam ‘pinggir’ jalan adalah Rob Atthill, warga negara London. Dia mengaku jatuh cinta pada kopi creamy Vietnam sejak 2004 saat dirinya pertama kali menapakkan kaki ke negara di Asia Tenggara ini. 

Vietnam sendiri sudah cukup lama dikenal sebagai negara pengekspor kopi. Secara global, negara berpenduduk sekitar 92 juta orang ini, sudah dikenal sebagai pengekspor kopi dunia terbesar kedua, setelah Brazil.

Organisasi Kopi Internasional (International Coffee Organization) melaporkan Vietnam mengekspor sekitar 25 juta, 60 kg bags of coffee per tahun. Nilainya sekitar US$3 miliar.

Meski secara kuantitas besar, namun kopi Vietnam belum mampu bersaing secara kualitas di pasar global. Reputasinya kalah jika dibandingkan dengan negara pengekspor kopi lainnya seperti Indonesia. Sebut saja Kopi Gayo dari Aceh. Kopi berjenis Arabika ini dianggap lebih berkelas. 

Menurut beberapa pakar, masalahnya ada pada kualitas biji kopi. Di Vietnam, mayoritas perkebunan atau sekitar 97% merupakan tanaman kopi berjenis Robusta. Sedangkan di dataran tinggi Gayo, kopi yang ditanam adalah jenis Arabika. 

Perkebunan Kopi di Gayo telah ada sejak 1908, utamanya di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut tersebut merupakan perkebunan kopi Arabika terluas di Indonesia. 

Produksi kopi Arabika tidak bisa massif karena harus ditanam pada ketinggian tertentu. Hal ini berbeda dengan jenis Robusta yang cenderung over produksi. Selain ketersediaan berlimpah, kopi ini banyak dipakai sebagai campuran membuat kopi murahan dan instan.

Aroma biji kopi robusta memang lebih keras dan kadar kafein-nya tinggi. Itulah yang antara lain mendorong produsen kopi pabrikan mencampurnya dengan bahan lain. Inilah yang turut merusak reputasi kopi jenis robusta.

Menurut pandangan Atthill, pemilik kedai kopi di London, sikap yang menganggap kopi jenis robusta itu rendah kualitas merupakan pandangan yang sudah ketinggalan zaman. “Ada banyak keangkuhan pandangan di kalangan industri tentang kopi robusta. Tidak ada itu istilah inferioritas. Arabika juga secara inheren tidak lebih baik. Jadi, ada biji kopi Robusta yang baik juga ada Arabika yang jelek.”

Tapi banyak juga konsumen kopi di negara yang penduduknya tak punya tradisi ngopi, misalnya Kanada. Mereka umumnya tak terlalu hirau pada cita rasa. “Itulah masalahnya, orang ke Starbuck bukan untuk betul-betul menikmati kopi tapi sekadar hangout dan kumpul,” kata Michael Sung.

Teman saya ini seorang imigran Taiwan yang kini menetap di Kanada. Dia  pernah mencoba peruntungan menjual kopi luwak, namun gagal karena pembeli enggan membayar harga tinggi meski kopi luwak menawarkan sesansi rasa yang unik. 

Sementara itu menurut Will Frith, seorang konsultan kopi yang juga pemilik perusahaan co-roasting di Kota Ho Chi Minh, kebiasaan orang Vietnam minum kopi di kedai atau kafe itu lebih tentang kebersamaan dan hasrat untuk berkumpul bersama teman. 

Dia menambahkan banyak peminum kopi berkumpul di kedai kopi favorit dan menganggap tempat itu sebagai “ruang ketiga,” setelah rumah dan tempat kerja. Di sana persahabatan dengan pemilik atau staf sering kali terjalin. Selain itu, “hampir setiap rumah tangga di Vietnam menyeduh kopi di rumah,” katanya, seperti dilansir dari CNN.

 

Rin Hindryati