JAKARTA, bisniswisata.co.id: Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar perbincangan budaya dengan dengan para budayawan di Istana Negara Jakarta, Jumat (06/04/2018) sore. Sedikitnya ada 31 budayawan berpendapat masih banyak hal yang harus dilakukan Presiden Jokowi dalam periode akhir kepemimpinannya.
Silahturahmi dengan budayawan ini diawali Presiden menyempatkan diri melukis di sebuah kain kanvas. Namun bukan gambar yang ia lukis, melainkan menulis Indonesia Maju menggunakan cat berwarna merah dengan sebuah lingkaran. Lukisan itu kemudian disempurnakan lagi oleh pelukis Nasirun.
Semula Presiden Jokowi dan para budayawan serta seniman beramah tamah di beranda Istana Merdeka. Mereka melanjutkan ramah tamah dan diskusi di bawah pohon besar di halaman belakang Istana Merdeka. Sejumlah budayawan memberikan pendapat dalam diskusi itu antara lain Putu Wijaya dan Mohammad Sobary.
Sobary menilai kecuali program pembangunan infrastruktur yang massif sebagai pondasi yang akan menjadi warisan di masa mendatang, pemerintah juga telah menguatkan suprastruktur ideologi Pancasila dan revolusi mental. “Presiden telah memerintahkan penguatan Pancasila dengan lembaga baru dengan fungsi eksplisit menangkal ideologi lain,” kata Sobary.
Sementara untuk revolusi mental, menurut Sobary jika dilaksanakan di tingkat bawah akan menjadi jawaban atas tuntutan rakyat. Sobary juga menilai Jokowi memiliki gaya komunikasi politik yang berbeda dengan lainnya. “Komunikasi politik seperti ini tidak ada gurunya, dan ternyata efektif tanpa harus ngeden-ngeden dan teriak-teriak,” kata Sobary.
Budayawan Radhar Panca Dahana menyoroti mengenai ketertinggalan pembangunan sumber daya manusia (SDM) di tengah upaya pemerintah yang menggenjot pembangunan infrastruktur. “Pembangunan materialnya luar biasa terutama di bidang infrastruktur. Sebaliknya pembangunan immaterialnya, pembangunan kemanusiaannya memang tertinggal dan itu sangat disadari oleh Presiden,” ungkap Radhar.
Radhar melanjutkan mengemukakan salah satu hal yang bisa dilakukan untuk mengejar ketertinggalan tersebut adalah meningkatkan fondasi kebudayaan. Lemahnya fondasi kebudayaan juga menjadi pangkal dari kesenjangan kebudayaan hingga persoalan kedangkalan dalam beragama.
Butet Kertaradjasa, budayawan lainnya yang juga bertemu dengan Jokowi, memberikan masukan kepada Presiden mengenai pentingnya peran pendidikan kebudayaan dan seni di tingkat menengah ke atas. “(Presiden) baru tersadar bahwa itu satu hal penting untuk pembangunan dasar yakni penanaman nilai kemanusian,” ucapnya.
Saat ini, sambung Butet, pendidikan seni justru lebih banyak diarahkan kepada hal pragmatis dan bersifat vokasional. Padahal pendidikan seni seharusnya memiliki tujuan untuk menciptakan manusia yang kreatif.
Dialog yang mengemuka pun cukup beragam mulai dari pengakuan Putu Wijaya yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, revolusi mental, hingga keluhan budayawan asal Aceh mengenai mahalnya penerjemahan literatur budaya.
Dengan sabar, Jokowi meladeni keluhan demi keluhan dan apresiasi para budayawan. Yang tak kalah penting, dia menjanjikan agar pertemuan santai semacam ini bisa dilakukan secara reguler.
“Memang dalam 3, 5 tahun ini saya dan kabinet selalu bicara masalah hal yang fisik yaitu infrastruktur. Dan kenapa kita memulai dengan investasi bidang di infrastruktur karena kita sebagai negara besar terlalu jauh ditinggal oleh kanan kiri kita,” katanya.
Kemudian, dia menambahkan tahapan kedua adalah investasi di bidang sumber daya manusia yang nantinya menjadi fondasi atau nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut dipandang Jokowi sebagai modal dasar untuk bersaing dan berkompetisi dengan negara lain.
“Dan perlu saya sampaikan memang revolusi mental bukan jargon. Saya kira itu tidak perlu diteriakan terus. Memberikan contoh adalah lebih baik dari pada berteriak,” ungkapnya.
Tampak sejumlah budayawan yang hadir, di antaranya yakni Butet Kertaradjasa, Nasirun, Olga Lidya, Putu Wijaya, Nasirun, Olivia Zalianty, Toety Herati Rooseno, dan lainnya. Presiden Jokowi didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Kepala Bekraf Triawan Munaf, dan Mendikbud Muhadjir Effendy. (NDY)