JAKARTA, Bisniswisata.co.id: Pariwisata Indonesia mengalami kemajuan yang luar biasa. Berbagai fasilitas dibangun. Destinasi wisata semakin bervariasi dan berkembang dengan cepat. Pertumbuhan hotel dan restoran pun mengalami kenaikan yang pesat. Sayangnya, kemajuan pariwisata belum ramah, kurang peduli bahkan belum memberikan rasa nyaman bagi kaum difabel atau penyandang cacat.
Penyandang disabilitas di Indonesia masih merasakan susahnya menikmati fasilitas obyek wisata, hotel, dan akses travelling. “Padahal, kami memiliki hak yang sama untuk bisa berwisata seperti orang kebanyakan,” papar Ketua Umum Perkumpulkan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Gufroni Sakaril saat Dialog Publik “Mewujudkan Komunitas ASEAN yang Inklusif 2025” di Jakarta, Rabu (07/08/2019).
Dijelaskan, saat ini jumlah penyandang disabilitas sekitar 21,5 juta jiwa dari populasi penduduk Indonesia sekitar 264 juta jiwa. Sementara di wilayah ASEAN jumlah kaum difabel sekitar 69 juta jiwa. Jumlah ini diyakini masih lebih kecil dari jumlah sesungguhnya yang dilaporkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), dimana 15 persen dari populasi global yang merupakan penyandang disabilitas.
Memang, lanjut Gufroni, potensi wisatawan kaum difabel sangat besar. Namun masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah maupun pengusaha pariwisata. Sehingga tidak menyediakan akses maupun fasilitas bagi penyandang cacat. Dicontohkan, ditempat wisata masih ada yang belum menyediakan toilet bagi kaum difabel. “Toilet bagi difabel harus ada handrail atau pegangan. Di beberapa hotel memang sudah tersedia, namun masih banyak yang belum menyediakan,” ungkapnya.
Selain itu, transportasi untuk kaum difabel juga susah. Bus wisata belum diperuntukkan bagi penyandang cacat, juga halte bus dan stasiun masih sangat terbatas. Juga akses jalan bagi penyandang disabilitas tidak ada.
Padahal di Indonesia, penyandang disabilitas sesungguhnya mendapatkan perlindungan hukum melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam Bab III Pasal 5 poin 1 (k) disebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak dalam bidang pariwisata. Bahkan ada Peraturan Daerah Pemprov DKI Jakarta tentang Perlindungan Penyandang Disabilitas Nomor 10 Tahun 2011.
Peraturan itu mengatur, antara lain, aksesibilitas kaum difabel terhadap fasilitas umum, seperti halte, taman, dan stasiun. Sejumlah langkah nyata memang sudah terlihat. Sebut saja pemasangan guiding block yellow line pada trotoar di Ibu Kota. Yellow line merupakan jalur warna kuning yang dibuat dengan paving block bertekstur tertentu guna memudahkan kaum difabel melintasi jalur pedestrian, khususnya bagi warga tunanetra. “Sayangnya warna itu sudah pudar dan belum ada perbaikan,” ucapnya.
Jika melihat potensi pariwisata Indonesia sangat besar seharusnya juga menyediakan akses dan fasilitas buat kaum difabel. “Saya yakin jika Indonesia peduli dengan penyediaan kebutuhan penyandang cacat, maka Indonesia akan menjadi tujuan wisatawan kaum difabel. Kalau wisatawan difabel datang ke obyek wisata, biasanya tidak sendirian dan selalu didampingi keluarganya, pembantu,” ucapnya
Di kawasan ASEAN, menurut Gufroni, hanya pariwisata Singapura merupakan negara yang peduli dengan wisatawan dengan kebutuhan khusus sehingga banyak didatangi wisatawan penyandang cacat. “Saya berharap Indonesia bisa meniru Singapura, sehingga pariwisata Indonesia dikenal peduli dan ramah bagi kaum difabel,” lontarnya.
Hasil survey laman perjalanan wisata tahun 2015 menyebutkan di dunia internasional ada kode etik wisata, salah satunya harus menghormati semua konsumennya, termasuk untuk kaum disabilitas. Beberapa negara sudah menerapkannya. Sebanyak 55 persen hotel di Uni Emirat Arab sangat ramah dan peduli bagi turis kaum disabilitas, sementara Amerika Serikat mencapai 77 persen. Dan 90 persen hotel di Abu Dhabi memiliki fasilitas bagi penyandang disabilitas.
Destinasi wisata ziarah juga cenderung memiliki tingkat aksesibilitas lebih tinggi. Di Fatima, tempat tujuan wisata religi umat Katolik di kota Portugal, Spanyol, lebih dari 70 persen hotel memiliki fasilitas untuk para tamu dengan kebutuhan khusus. Begitu juga di kota Lourdes, Perancis.
Anehnya wilayah Asia, termasuk Indonesia sangat disayangkan tidak ada satu pun negara di benua ini yang berhasil masuk peringkat 10 besar. Singapura merupakan yang tertinggi di antara negara Asia lainnya, yaitu di peringkat ke-18. Sebanyak 40 persen dari hotel memiliki fasilitas untuk kaum disabilitas.
Bahkan, lima negara dengan persentase 10 terbawah berasal dari benua Asia, yakni Vietnam (9 persen), Nepal (8 persen), Thailand (8 persen), Kamboja (8 persen), dan Laos (1 persen) kemudian Indonesia tidak ada informasi yang jelas dalam menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas. (END)