Stasiun kereta Zurich, we are coming
ZURICH, Swiss, bisniswisata.co.id: Kembali ke Geneve airport kami lakukan di hari ketiga kedatangan di Swiss. Kali ini Nuraina Bandarsyah ( Ina), keponakan yang bekerja di World Intelectual Property Organization ( WIPO) membawa saya dan besan, Dewi Stalini Kushariadi untuk menjelajah kota tua Zurich ( altstadt) yang menjadi highlight Zurich, Swiss.
Kalau sebelumnya setelah mendarat di Geneve Airport ( Jenewa Airport) kami sempat mengeksplor kota dan sibuk berpose bak selebriti serta menikmati suasana stasiun kereta (Gare de Cornavin), maka perjalanan ke dua ini dimulai dari stasiun kereta di bandara Jenewa yang bisa membawa para penumpang pesawat terbang ke kota tujuan lainnya.
Para penumpang pesawat di gedung Arrival ( kedatangan) di bandara tinggal turun escalator atau lift ke level paling bawah dimana kita langsung terkoneksi dengan kereta api dan memilih tujuan kota selanjutnya.
Transportasi di Swiss sangatlah baik karena semua sistem kendaraan terkoneksi. Di kanton -kanton biasanya ada trem dan bis-bis yang terkoneksi. Mereka sudah memperhitungkan jadwal tram dengan kereta dan bis. Jadi selama di Swiss saya lebih merekomendasikan untuk memakai transportasi umum seperti pakai kereta (SBB).
Oh iya, kalau di Indonesia terdiri dari provinsi dan pemerintah pusat. Nah di Swiss atau Switzerland ini ada 26 kanton atau negara bagian dari negara federal Swiss. Kanton-kanton perkotaan ini mencakup Zürich, Bern, dan Basel. Zurich yang kami kunjungi kali ini adalah kota terbesar di Swiss.
Rupanya masing-masing kanton mempunyai konstitusi, dewan legislatif, pemerintahan dan pengadilannya sendiri juga seperti di kota provinsi di Indonesia. Kebanyakan dari dewan legislatif dari kanton-kanton ini adalah parlemen unikameral.
Mbah Google bilang sistem satu kamar (unikameral) adalah sistem pemerintahan yang hanya memiliki satu kamar pada parlemen atau lembaga legislatif. Banyak negara yang menggunakan sistem satu kamar seringkali adalah negara kesatuan yang kecil dan homogen dan menganggap sebuah majelis tinggi atau kamar kedua tidak perlu.
Kereta ke Zurich sungguh nyaman dan kami mendapatkan gerbong yang hanya diisi beberapa orang, jadi agak kosong tapi masih akan terus bertambah. Mungkin karena bukan hari kerja karena hari Senin, ada libur nasional di Swiss.
“Sepanjang perjalanan dari Jenewa- Zurich selama tiga jam kita bisa lihat suasana pedesaan dan danau-danau lainnya. Swiss banyak memiliki danau jadi danau Jenewa yang kita lihat kemarin masih banyak yang lebih luas,” kata Ina yang cuti dari kantor untuk mendampingi duo oma ini.
Mungkin karena banyak memiliki danau itulah mengapa air di Swiss sangat berharga bagi Eropa. Swiss merupakan tower penyedia air bagi dataran Eropa. Penelitian menyatakan bahwa air di danau dan sungai Swiss adalah yang paling bersih.
Hanya ada tiga yang tidak memenuhi standar Eropa yaitu satu area pemandian di Laussane dan dua aliran sungai Rhein di Kanton Aargau. Pantesan di apartemen Ina air kran di dapur boleh diminum tanpa harus dimasak dulu. Keren kan…
Tak heran juga mengapa traveler dunia banyak berwisata ke Swiss, salah satu destinasi yang menjadi impian bagi kebanyakan orang Indonesia juga. Apalagi kalau bukan ingin melihat dan bermain salju. Cara termudah untuk melihat salju sepanjang tahun di Eropa adalah menuju gunung-gunung di Swiss.
Bahkan ketika musim salju semakin banyak turis berdatangan untuk bermain ski. Bandara akan penuh dengan turis maupun selebriti dari mancanegara. Namun Swiss sebenarnya bukan saja sekedar salju. Sepanjang tahun, Swiss akan terus dibanjiri para pendatang karena alam yang indah.
Swiss merupakan negeri kecil di kaki pegunungan Alpen, sehingga alamnya begitu cantik. Negeri ini memiliki sejarah panjang sehingga banyak jejak peradaban yang bernilai historis.
Sambil memandang ke luar jendela, saya takjub melihat suasana pedesaan yang teratur, hamparan rumput, kebun dan dari kejauhan terlihat danau luas. Rumah-rumahnya indah apalagi di bawah jendela rumahnya ada bunga-bunga yang merekah merah dalam pot-pot.
Masyaallah, luar biasa cantiknya pemandangan padahal baru sekitar 30 menit keluar dari kota besar seperti Jenewa. Saya langsung menengok ke arah besan saya di kursi seberang, Dewi Stalini Kushariadi, 66 tahun, yang tengah asyik menikmati pemandangan.
Rasa syukur langsung menyergap karena sebagai traveler diusia 60 tahunan yang bisa bersaing dengan generasi milenial menjelajah Indonesia dan dunia, maka duo oma ini bersyukur di dukung anak, mantu dan cucu untuk ngebolang di Eropa.
Meski bukan kategori bocah petualang tapi kategori master alias generasi tua yang mendatangi berbagai tempat asing, tak hanya untuk liburan, tapi juga demi mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
Perjalanan ini juga tidak luput dari pengalaman saya ikut lomba renang master di GBK pada 30-31 Maret 2019 lalu dimana Indonesia menjadi tuan rumah renang master internasional yang bertajuk 1st South East Asian Swimming Federation (SEASF) Masters Swimming Championship 2019.
Meski tidak menjadi juara, tapi partisipasi saya di SEASF dan kehadiran anak, menantu dan cucu sebagai penonton di ajang kompetisi itu berbuah hasil dukungan jalan-jalan ke Eropa ini. Sedangkan Oma Dewi yang pada 18 Mei lalu genap berusia 66 tahun juga mendapat hadiah yang sama. Maka nikmat mana lagi yang kami dustakan ?
Hal ini tentu saja sangat positif, terlebih dalam Islam traveling memang sangat dianjurkan. Sebab, dengan melakukan traveling, manusia diharapkan akan semakin bersyukur dan mendapatkan banyak hikmah serta pelajaran dari berbagai kejadian yang dihadapinya di perjalanan.
Traveling juga bisa menjadi sarana dakwah. Itulah yang dilakukan para pendahulu kita, bahkan sejak zaman para Nabi. Saya jadi teringat ayat Alquran yang membahas tentang traveling, antara lain Surat Al-Mulk Ayat 15 sebagai berikut ;
” Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Carte Journaliere
Jalan–jalan ke Swiss lebih menguntungkan memakai kendaraan umumnya. Kami membeli carte journaliere semacam Swiss Pass. Keuntungan adalah bisa dipakai untuk naik trem dan bis juga. Pengalaman di hari pertama naik trem dan bis kota tinggal naik saja tanpa harus memperlihatkan tiket pada petugas.
“Kalau beli carte journaliere atau daily pass untuk satu hari , perjalanan bebas di seluruh wilayah Swiss, keliling Swiss seharian penuh maka hanya sesekali saja ada pemeriksaan dari petugas. Bahkan kadang tidak semua penumpang diperiksa tapi random saja,” kata Ina.
Kepercayaan pemerintah dan kedisiplinan penumpang beli tiket jadi kuncinya sistem ini bisa berjalan baik. Untuk itu sebelum berangkat meski tiket berlaku untuk sebulan maka penumpang sebelum naik harus validasi tiket di mesin terdekat yang tersedia di halte maupun stasiun.
Keuntungan membeli Swiss Pass lainnya adalah sering kali kita mendapat diskon 50 persen yang tentunya menguntungkan kita saat berkunjung ke Swiss. Untuk ke Zurich ini kami membeli tiket kelas 2 untuk dua hari seharga 94 franc Swiss yang bisa dibeli di kantor pos tergantung promonya dimana.
Untuk yang memiliki izin tinggal seperti Ina Bandarsyah, tentunya sudah tahu kalau adalah pilihan terbaik dan sistem berlangganan dengan beragam tiket promo lainnya. Begitu juga untuk SIM Card selular yang saya pakai cukup bayar 20 euro untuk pemakaian satu bulan di wilayah Eropa bukan hanya di Swiss.
Menurut Ina, untuk angkutan massalnya, trem merupakan konsep utamanya yang bersliweran di tengah kota berjajaran dengan kendaraan bis dan mobil pribadi. Rel trem mampu bersaing dan berkomprehensif dengan sangat ‘smooth’ sehingga tidak terdengar ada tabrakan antara moda transpotasi satu dengan lainnya.
“Warga di sini yang memiliki kendaraan bermotor roda dua atau empat sangat menghormati pejalan kaki. Hal yang penting adalah tertib menyebrang di zebra cross. Jika menyebrang meski tidak ada lampu merah maka mobil-mobil akan berhenti sehingga pejalan kaki bisa menyebrang jalan. Mereka tetap saling menghormati,” kata Ina.
Arsitektut menawan di Kawasan kota tua Zurich
Altstadt, kota tua Zurich
Menurut referensi mbah Google, Zurich HB melayani sekitar 2900-an kereta per-hari, dan sampai sekarang Zurich HB merupakan stasiun tersibuk di dunia. Bangunan stasiun juga berupa gedung tua yang megah peninggalan dari abad pertengahan.
Seperti stasiun besar umumnya di Eropa, stasiun ini juga menjadi magnet para turis karena memiliki pusat perbelanjaan, supermarket besar, hingga kafe. Luasnya area dan ada beberapa lantai ke bawah bisa membuat pengunjung kesasar saking besarnya.
Saran Ina, sebelum turun kereta sebaiknya sudah ke toilet karena begitu tiba di stasiun kita harus membayar 2 franc Swiss/ per orang untuk urusan kebelakang. Repot juga kalau belum menukar uang kecil.
” Sekarang kita jalan kaki ya sekitar 6 menit saja dari stasiun ke kawasan kota tua Zurich disebut Altstadt,” kata Ina sambil menerobos hujan gerimis. Untung masing-masing sudah bawa payung jadi tidak bermasalah sedikit hujan-hujanan apalagi semangat eksplornya kenceng.
Sesuai namanya, banyak bangunan tua ditemukan berjejer di kanan-kiri jalan. Berbekal Google Maps, kamipun menuju kawasan yang tak jauh dari Hauphbanhof. Jalan setapak beraspal pun mulai naik dan berkelok, tampak bangunan tua di kanan kiri jalan, serta kafe dan toko tua berjajar.
Di sisi barat sungai terdapat Gereja Fraumünster dengan ciri khas tower clock ala Neo Gothic. Suasana kota tua sangat berbeda dengan area pusat kota di bawah yang lebih modern. Di sinilah wisatawan mancanegara dapat menikmati peninggalan masa lalu melalui arsitek bangunannya dan semua lorong-lorongnya yang mempesona.
Hal ini semakin mengokohkan citra bahwa Swiss adalah salah satu negara tua di Eropa yang tetap berdamai dengan arsitektur modern dan menjadikan arsitektur bangunan Swiss memang berbeda dengan arsitektur bangunan tua di Eropa.
Awal kota tua Zurich memang pada abad ke-15, dimana arsitektur bangunan abad pertengahan, banyak terpampang disemua ruang di Zurich. Keindahan bangunan dan mengintip isi toko yang menjual pernak-pernik perhiasan, baju, tas hingga barang bermerek second ada saja yang jual. Bahkan baju dan sepatu berbahan motif batik tampak elegan sekali di etalase.
” Jangan-jangan produk fashion dari Indonesia nih, wow...jadi kelihatan mahal mirip motif dari desain-desain Versace tapi kalau diperhatikan lebih ke motif batik nih,” kata saya bersemangat sementara oma Dewi dan Ina ternyata sudah berjalan lebih dulu di depan. Ngomong sendiri deh…..
Setelah mendaki sedikit melewati jalan menanjak, saya pun sampai di sebuah jalan aspal dengan gedung-gedung tua berwarna coklat. Di bawah ada taman dan jalan melingkar yang sisi-sisinya rimbun oleh pohon. Terlihat banyak daun marple berguguran.
Di kawasan kota tua ini saya sangat menikmati keindahan bangunan, pintu kayu yang lebar dipadu hiasan besi-besi hingga pagar-pagar yang unik. Sambil membayangkan kehidupan abad pertengahan saya bershalawat memuji Nabi Besar Muhammad SAW dan Allah SWT karena masih bisa menikmati karya ratusan tahun lalu.
Rasa syukur dan kekaguman saya pada Allah SWT adalah dalam menciptakan komunitas manusia, bangsa, negara. Soalnya baru melewati 3 jam Jenewa-Zurich saja bahasa, budaya dan karakter manusianya sudah beda.
Nah di kawasan Eropa ini dalam 3-5 jam saja sudah beda negara, adat istiadat, budaya dan seni juga bahasa. Di Zurich ini meski saya masih berada di negara Swiss tapi bahasa yang digunakan bukan bahasa Perancis lagi tapi Jerman karena bahasa nasionalnya memang tiga termasuk bahasa Itali.
Melewati lorong-lorong jalan setapak turun, naik cukup melelahkan juga meski mata dimanjakan dengan arsitetur bangunan yang indah dan deretan toko, hotel, gereja dan cafe-cafe. Di satu lorong, segerombolan pria menghampiri saya dan langsung menyapa ” Assalamualaikum madame” membuat saya reflek membalas Mualaikum salam, Bonjour, mungkin efek pakai turban dan pose ria seperti seleb ha ha ha…
Kami mampir di satu cafe untuk menikmati coklat panas dan kue macaron yang manis dengan karyawan cafe yang bisa melayani tiga bahasa sekaligus. Ada tamu berbicara bahasa Inggris, Prancis dan Jerman bisa dilayani semua. Wuih bikin kagum saja apalagi sikapnya ramah. Cafe itu hanya dilayani 3 orang saja….
Berpose dan menyeberangi Limmat River yang membelah kota tua ini menjadi spot yang disukai wisatawan mancanegara. Apalagi sebelum melintas ada patung penunggang kuda yang tinggi dengan tulisan Burgermeister Hans Waldmann, ada tanda salib tertanda tahun 1489.
Melewati jembatan Rathaus Brücke untuk menyeberangi Sungai Limat, kita mengeksplorasi sisi timur dari Zurich hingga menemukan bangunan Gereja Grossmünster, sebuah gereja yang kabarnya dibangun mulai tahun 1100 namun baru selesai wujudnya pada abad 15.
Sedangkan jika jalan kembali ke sebelah barat sungai Limat, terdapat Gereja Fraumünster dengan ciri khas tower clock ala Neo Gothic. Fraumunster dulunya adalah biara khusus perempuan namun kini berfungsi sebagai gereja. Pengunjung bisa masuk ke dalam gereja cantik ini hingga ke lantai dasar. Tapi bila ingin naik ke atas menara mesti bayar.
Saya merajuk pada Ina untuk naik trem saja kembali ke stasiun, betis kaki sudah pegal diajak jalan terus. Dari stasiun besar kami ganti trem untuk melihat Danau Zurich dan melewati kawasan pertokoan Bahnhofstrasse yaitu sebuah jalan yang merupakan pusat belanja termahal di Eropa.
Ada berbagai butik desainer Eropa, departement store, kafe, restoran hingga flagship store dari merek kenamaan Swiss. Uniknya di depan pertokoan ada patung perunggu dari badak bercula satu dalam ukuran sebenarnya.
Keliling Danau Zurich
Wisata cruise ini salah satu cara kami mengatasi hujan gerimis yang masih saja turun sejak tiba di kota terbesar di Swiss ini. Sebelum membeli tiket saya asyik melihat sekelompok angsa dan bebek yang mandi hujan di pinggir danau dan menghirup udara segar di tepi danau.
Paru-paru terasa lega oleh oksigen murni, mata terhibur oleh keindahan alam yang ada. Berteduh di bawah pohon saat menunggu Ina membeli tiket waktu seakan terhenti, berdiam sejenak dan takjub dengan pemandangan di sekitar danau yang dipenuhi bangunan hotel dankeindahan arsitekturnya.
Untuk tiga orang harga lagi miring cukup bayar 24 franc swiss dan kami langsung naik dari dermaga tiga untuk menikmati cruise selama 1.5 jam. Naik dari Zurich Burkliplatz bersama puluhan wisatawan mancanegara lainnya, saya melangkah ke dalam kapal dengan semangat tinggi.
Begitu masuk, lantai pertama adalah restoran. Coba naik ke atas, kursinya hanya sedikit dan sudah penuh, tapi selebihnya adalah ruangan terbuka untuk bersantai menikmati pelayaran di atas danau.
Berhubung cuaca belum bersahabat, akhirnya kami kembali ke lantai bawah menikmati teh panas dan sepiring besar kentang goreng dengan mayonais. Untung ada sambal sachet di dalam tas sehingga terasa lebih nikmat menyantapnya.
Selain naik kapal pesiar yang menawarkan keindahan, di sekitar Danau Zurich ini ternyata ada fasilitas lainnya seperti jalur hiking dan juga sepeda di sekitar danau yang memiliki pesona yang menarik. Jadi seputaran danau ini juga menjadi pusat kegiatan wisata alam.
Membuka brosur Welcome On Board saat masuk tadi akan lebih jelas apa saja kegiatan tour gabungan antara cruise dan menikmati kegiatan di darat seputaran danau. Ternyata kapal juga singgah di beberapa pemberhentian ( halte) untuk mengambil dan menurunkan penumpang.
Pilihan cruise juga ada yang selama 4 jam dan 7,5 jam. Selama berpetualang di sekitar kawasan danau Zurich ini, kita bisa melihat beberapa tempat-tempat bersejarah yang memiliki nilai historis di sekitar kawasan wisata alam ini.
Di dekat danau ini juga terdapat beberapa museum serta perkampungan yang masih asli dengan bangunan-bangunan khas abad pertengahan yang masih dipertahankan di sekitar kawasan wisata tersebut. Pastinya bangunan dan tamannya instagrammable !.
Sedikitnya ada 20 obyek wisata yang bisa dikunjungi di tepi danau, bahkan dengan keterangan berapa menit jalan kaki dari halte pemberhentian. Tentu saja pemandangan alam dan opsi tour highligt ini menjadi salah satu pesona yang ditawarkan oleh Danau Zurich.
Kondisi gerimis hujan tak perlu disesali karena duduk dekat jendela dan melihat aktivitas dari penduduk lokal di halaman rumahnya masing-masing. Makin jauh saat masyarakat tepi danau mulai mancing, bersepeda bahkan menyapu halaman membuat saya baru sadar, hujan gerimisnya sudah berhenti.
Bersama besan, Dewi Stalini, saya langsung naik ke lantai dua untuk berfoto ria. Ada beberapa turis yang ingin foto di spot yang sama sehingga kami saling bergantian bahkan saling membantu memotret.
Sepanjang perjalanan saya terpikirkan apakah para wakil rakyat, anggota Dewan yang terhormat di negriku, termasuk para pengelola Danau Toba pernah studi banding ke Danau Zurich sepanjang 88, 66 km ini sehingga mampu mengadopsi cara untuk mengemas tournya dengan baik.
Di Danau Toba minimal punya beberapa kapal cruise kecil seperti di Danau Zurich ini dan brosur round trips serta highlight kunjungan ke obyek seputaran danau. Sampai cruise berakhir saya masih berkhayal bisa menikmati Danau Toba senikmat dan senyaman Danau Zurich ini sehingga dampak multiplier efeknya bagi perekomian rakyat bisa merata. Horas !!!.
Perjalanan di Zurich diakhiri dengan naik kereta lagi dua stasiun dan menginap di Welcome Inn. Trik ini bisa diikuti karena harga hotel bisa separuh harga ketimbang di pusat kota Zurich. Tapi dalam rupiah tetap saja mahal berkisar Rp 2,3 juta per malam untuk hotel kelas bintang tiga. Sebaiknya selagi traveling lupakan kurs rupiah ya. Tidur cepat karena besok pagi-pagi sudah jalan-jalan lagi.