LAPORAN PERJALANAN

Menelusuri Jalur Sutra 

Wiiliam Satriaputra ( paling kiri) bersama rombongan di Samarkand ( foto: dok. pribadi)

William Satriaputra, Ketua Forum Komunikasi Alumni ( FKA) ESQ wilayah Eropa dan Afrika yang juga eksekutif INNIO Groups menuliskan perjalanan wisata religinya, Menelusuri Jalur Sutra. Berikut laporan perjalanannya bagian pertama.

 

Destinasi perjalanan wisata religi menjelang akhir tahun 2019 kali ini adalah Uzbekistan dan Tajikistan. Kota pertama yang saya pilih untuk mendarat di Uzbekistan adalah Samarkand yang terletak antara Tashkent dan Bukhara.

Samarkand dijuluki permata dari Timur,  kota nan megah dan indah yang menjadi legenda itu telah berusia lebih dari 2.750 tahun dan menjadi kota terbesar kedua di Uzbekistan.

Keindahan Samarkand  membuat Kaisar Alexander Agung terpikat. Tatkala ia menginjakkan kakinya untuk pertama kali di tanah Samarkand, Alexander pun berkata, aku telah lama mendengar keindahan kota ini, namun tak pernah mengira kota ini ternyata benar-benar cantik dan megah. Kota legenda itu  menghubungkan Jalur Sutera antara Timur dan Barat.

Islam Masuk ke Samarkand tahun 46 H pada masa dinasti  Umayyah. Pada era kejayaan Islam, Samarkand menjadi pusat studi para ilmuwan. Itulah mengapa, orang-orang Eropa mendaulatnya sebagai Tanah Para Saintis.

Samarkand memasuki babak baru ketika Islam menaklukkan wilayah itu pada abad ke-8 M. Dinasti Umayyah yang saat itu dipimpin Khalifah Abdul Malik (685 M – 705 M) menugaskan Qutaibah bin Muslim sebagai gubernur di wilayah Khurasan.

Ketika itu, Samarkand dipimpin Tarkhum yang telah melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Cina. Wilayah itu bersama dengan Bukhara sempat menjadi pusat Islamisasi penting di Asia Tengah.

Uzbekistan sendiri sebagai pintu gerbang memiliki  kompleks makam yang bangunannya megah layaknya istana, yaitu Shah-i-Zinda di Samarkand. Makam indah tersebut menyimpan suatu cerita penting di balik pembangunannya yang antara lain berhubungan dengan Nabi Muhammad SAW.

Di kompleks Shah-i-Zinda ini terdapat antara lain makam Kusam ibn Abbas, yaitu sepupu Nabi Muhammad yang menyebarkan agama Islam di kawasan negara ini pada abad ke-7.  Disini terdapat juga makam Khodja-Akhmad, keluarga Emir Timur, militer dan ulama bahkan ilmuwan seperti Kazi Zade Rumi seorang astronom dan ahli matematika.

Hal yang sangat penting dan berkesan bila kemudian Uzbekistan  banyak melahirkan banyak ulama besar dan para ilmuwan dari sini. Sehingga tidak heran, makam di Uzbekistan ini begitu dijaga dan terbilang suci. Saya dan rombongan menjumpai bangunan Shah-i-Zinda khas Timur dengan ubin-ubin bermotif indah. Komplek makam terletak di atas bukit Necropolis di Kota Samarkand.

Bangunan Shah-i-Zinda , makan tokoh Uzbekistan Amir Timur

Salah satu tempat pertama yang saya kunjungi di Samarkand adalah makam tokoh ternama Uzbekistan, Amir Timur (Timurlane). Amir Timur adalah seorang penakluk dan penguasa keturunan Turki-Mongol dari wilayah Asia Tengah. 

Namanya terkenal pada abad ke-14, terutama di Asia Tengah dan sekelilingnya. Saat berusia dua puluh tahun bukan saja mahir dalam berbagai bidang, Amir Timur juga dikenal sebagai pembaca Al-Quran yang tekun. Pada masa itu, ia disebutkan telah menunjukkan sifat-sifat yang ramah dan mudah bersimpati. Timur juga berinteraksi dengan Ibnu Khaldun (Damaskus) dan Hafiz-i Abru. 

Ibnu Khaldun dimasa itu sebagai pakar politik, ekonomi, sejarah, sosiologi dan banyak lainnya. Bukunya yang termasyur berjudul Muqaddimah. Sedangkan Hafiz-i Abru pakar sejarah dan geografi bergabung dengan para ilmuwan di Samarkand.

Kehadiran Timur Lenk pada saat itu sebagai kekuatan baru dalam konstelasi politik dunia yang memunculkan harapan baru bagi suku-suku nomaden untuk meraih kembali kejayaan sebagaimana yang pernah diraih pada masa kepemimpinan Jengis Khan. 

Oleh karena itu dengan sukarela mereka datang ke Samarkand untuk mengabdi kepadanya, maka dalam masa 10 tahun kekuasaan Timur Lenk memperoleh pengikut yang banyak dan mampu membangun angkatan perang yang kuat dan cemerlang dan oleh karenanya wilayah kekuasaannya juga terus meluas. 

Kalau melihat peta gerakan pasukan dan perluasan wilayah dari Mesir hingga ke India dan dari Rusia hingga ke Iran/Irak bahkan China maka sebagai panglima perang tak terkalahkan di medan perang Timur berhasil mengalahkan 2 lawan tangguh yaitu Tokhtamysh keturunan Gengis Khan dan ditawannya Sultan Bayezid setelah kalah pada Pertempuran Ankara. 

Makam Amir Timur berada satu ruangan dengan guru spiritual dan keluarganya. Menariknya makam sang guru berada di deretan pertama di atas kepala Amir Timur. Posisi makam sang guru ini sebagai bentuk penghormatan seorang murid kepada gurunya.

Seorang murid akan mencium kaki sang guru. Begitu kira-kira sehingga makam sang guru spiritual Mir Said Baraka  berada persis di atas kepala Amir Timur. Amir Timur juga dikenal sebagai pengikut Tarekat Naqsyabandi. Timur di sebut dengan nama the sword of Islam.

Ilmuwan Islam pernah jaya pada abad ke 7 hingga 14. Berbagai warisan ilmu mereka tinggalkan pada kita. Padahal alat yang mereka gunakan jauh dari canggih kalau kita bandingkan dengan sekarang.   Jejak-jejak peninggalannya saya lihat antara lain di Samarkand.

Ilmuwan Ulugh Beg

Salah satu ilmuwan dan juga Emir adalah cucu Emir Timur sendiri yang bernama Muhammad Taragai Ulugh Beg yang hidup pada 1393-1449 di Samarkand, Uzbekistan. 

Ulugh Beg membangun observatorium untuk menguak rahasia langit. Hasil pengamatan dan penghitungan Ulugh Beg dan murid-muridnya masih digunakan misalnya sebagai acuan dalam menentukan awal Ramadhan.

Peninggalan Ulugh Beg, ilmuwan Islam ternama

Ulugh Beg mendirikan observatorium di abad ke-14. Dengan mengadakan pengamatan dan mempelajari astronomi dan menyusun jadwal salat, awal tahun dan waktu mulai puasa ramadhan.

Ahli astronomi Barat, Kevin Krisciunas, dalam tulisannya berjudul “The Legacy of Ulugh Beg” menyebut bahwa observatorium Ulugh Beg di Samarkand adalah termegah yang dibangun oleh ilmuwan muslim.

Kubah observatorium itu mencapai 130 kaki, dan terletak di atas bukit. Dari atas bukit inilah pandangan mata untuk melihat hilal (bulan) tidak terganggu.  Salah satu instrumen yang digunakan oleh Ulugh Beg untuk menentukan awal tahun, dan waktu shalat juga masih bisa dilihat sampai sekarang. 

Bangunannya berupa sebuah terowongan batu yang cukup lebar dan panjang dengan ratusan anak tangga. Pangkal dari terowongan tersebut berada di bawah tanah dan berujung pada alam terbuka beratapkan langit. 

Di dalamnya dilengkapi dengan dua jeruji batu yang ditempatkan pada posisi tepat sehingga memberi hasil yang maksimal dalam menghitung ketinggian jarak bintang-bintang yang diamati secara cermat.

Di antara atap terowongan itu dibuat satu lubang untuk memungkinkan masuknya sinar matahari. Titik sinar matahari yang jatuh di anak tangga itulah yang digunakan oleh Ulugh Beg untuk menentukan waktu shalat dan awal tahun.

Tak hanya menentukan waktu shalat dan awal tahun, dari obsevatorium itulah Ulugh Beg membuat rumus penghitungan matematika, termasuk dalam soal geometri bola dan trigonometri. Pada saat itu ketika teknologi belum semodern sekarang, Ulugh Beg sudah berhasil menghitung kemiringan poros bumi dengan sangat akurat mendekati ketepatan pengukuran dunia modern.

Bahkan Ulugh Beg juga berhasil  menghitung kemiringan poros bumi selama 26.000 tahun. Lingkar bumi juga diukur, dan hasilnya adalah 24.835 mil. Hanya meleset sedikit dari hasil pengukuran zaman modern dengan peralatan lebih canggih: 24.906 mil.

Ulugh Beg dan murid-muridnya juga berhasil mengukur posisi titik terjauh Bumi dari Matahari bergerak setiap tahunnya.Dari hasil pengamatan dan perhitungannya, Ulugh Beg dan timnya juga berhasil mengoreksi penghitungan yang pernah dilakukan oleh para astronom Romawi seperti Ptolemeus.  

Hasil-hasil pengamatan dan hitungan tersebut kemudian dihimpun dalam beberapa buku antara lain; kitab Zij-i-Djadid-I Sultani. Hasil observasi dan penghitungan mereka sangat canggih untuk ukuran zaman itu, sehingga datanya masih sangat berguna hingga ratusan tahun kemudian.

Ulugh Beg telah jauh melampaui zamannya pada saat itu. Sejumlah astronom telah lahir dari observatorium itu seperti Riyadh al-Din Jamshid al-Kushy, Qadizada al-Rumy, Ali ibn Muhammad. ( bersambung)

 

                     

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)