Jalan Suryakencana yang legendaris di Kota Bogor ( foto-foto: P. Hasudungan Sirait)
BOGOR, bisniswisata.co.id: Baru-baru ini, tentu sebelum Covid-19 mewabah, kami sekeluarga kembali menyusuri Jalan Suryakencana yang legendaris di Kota Bogor. Kawasan pecinan yang sudah ada sejak zaman kolonial ini berlokasi sangat strategis: dekat dengan Tugu Kujang yang merupakan ikon kota Bogor.
Lokasinya juga persis berseberangan dengan gerbang utama Kebun Raya Bogor. Di ujung jalan, yang merupakan jalur satu arah ini, juga berdiri Vihara Dhanagun yang usianya sudah lebih 300 tahun.
Pada 10 Februari 2016, Pemerintah Kota Bogor resmi menyatakan Jalan ini sebagai kawasan “heritage”. Pertimbangannya, menurut Wali Kota Bogor Bima Arya, karena kawasan itu menjadi tempat bertemunya berbagai etnis, bahasa, dan budaya.
“Jalan Suryakencana merupakan salah satu jalan tertua di Kota Bogor. Ini adalah identitas Kota Bogor, menghargai satu sama lain,” ucap Bima kala itu.
Jalan Suryakencana merupakan pusat perniagaan, setidaknya untuk wilayah Bogor Kota. Di sana ada Pasar Bogor yang menurut sejarahnya merupakan pasar pertama yang ada di kota hujan ini. Pasar ini berdiri pada sekitar 1770 di masa pemerintahan Gubernur Jendral Belanda, Petrus Albertus van Der Parra yang menjabat pada kurun waktu 1761 hingga 1775.
Selain itu ada deretan toko lama yang umumnya dikelola warga keturunan Tionghoa. Ceritanya bermula dari sebuah peristiwa pembantaian etnis Tionghoa di Batavia pada 1740. Saat itu banyak dari mereka mengungksi ke kota Bogor. Untuk memudahkan pengawasan, Belanda pun melokalisir mereka di kawasan yang kini bernaman Jalan Suryakencana.
Di sana ada toko perabot rumah tangga langganan kami, Jaya Makmur, kios jam Djakarta, toko sport yang dijagai pasangan Tionghoa tua, mini market Ngestii – tempat kami biasa membeli kopi Liong Arabika khas Bogor – hingga toko roti de Paris yang kue pia-nya cocok di lidah kami.
Setiap kali kami mampir ke toko-toko tersebut, suasana di sana selalu ramai. Bahkan Jaya Makmur yang beroperasi hanya hingga pukul 18.00 sore, kerap sesak. Koleksi mug atau cangkir teh/kopi yang dijajakan di sana, sayang rasanya dilewatkan untuk sekadar dilongok.
Suasana ramai pengunjung di toko-toko itu menjadi bukti masih banyak pelanggan fanatik yang tak hendak ‘pindah ke lain hati’ meski sejumlah pilihan bermunculan, termasuk fasilitas aplikasi belanja online.
Kami rutin menyambangi Jalan Suryakencana meski hanya sekadar olah kaki untuk jalan-jalan sore. Sekadar info, sejak menikah pada 2003 silam, kami memutuskan untuk menetap di kota hujan ini. Rutenya dari ujung jalan hingga ke perempatan Gang Aut – pusat jajanan yang selalu ramai pengunjung – yang berjarak kurang dari 1 kilometer.
Kalau sedang beruntung, kami akan berjumpa para pedangan buku bekas di trotoar jalan. Beberapa kali kami dikejutkan oleh koleksi buku langka yang mereka jajakan dengan harga sangat bersahabat.
Saat lapar dan ingin menyantap mie, kami biasanya mampir ke warung langganan, Mie Tasik namanya. Saking lamanya berlangganan, kami sempat menyaksikan bagaimana warung ini bertransformasi, mulai dari sebuah kedai kecil yang sempit dan panas, hinggga kini mewujud menjadi restoran permanen berlantai dua yang bersih dan nyaman.
Ada juga warung nasi goreng Guang Tjo langganan kami yang menurut anak-anak masakannya paling pas. Selalu menjadi benchmark nasi goreng yang enak. Selain nasi goreng, mereka juga menjajakan menu bubur kacang ijo dan ketan item yang lezat. Kami kerap makan bersama, termasuk saat merayakan momen spesial, seperti ulang tahun.
Kini, jalan Suryakencana telah banyak berubah. Satu yang paling mencolok adalah ketersediaan trotoar yang lebar, bersih, rapi dan manusiawi bagi pejalan kaki. Padahal dulu, kami harus berjuang jika hendak menyusuri jalan ini.
Saat berpapasan dengan pejalan kaki lain, mau tak mau kami harus berhenti menunggu giliran jalan, karena trotoar sempit. Selain untuk pejalan kaki, trotoar juga dipakai pedangan kaki lima yang menjual buah, rujak uleg, gorengan, buku bekas atau barang loak. Mereka mengisi separo badan trotoar.
Selain itu, ada sejumlah gang sempit di sepanjang jalan ini yang gelap, seram dan kumuh. Kini, semua telah berubah, mewujud menjadi lorong cantik dan bersih. Beberapa kali kami melihat gerombolan anak muda menjadikan tempat itu sebagai spot untuk berswafoto.
Jalan juga dipercantik dengan hadirnya sejumlah kursi besi di kiri kanan trotoar. Itu membuat kawasan ini tampak lebih elok dan rapi. Pejalan kaki bisa santai sejenak untuk sekadar duduk menikmati sore di Jalan Suryakenana, atau melepas lelah.
Menjaga kebersihan dan kenyamanan trotoar, terutama bagi pelancong pejalan kaki, menjadi urusan bersama warga setempat. Mereka tak segan saling menegur jika kedapatan ada yang kurang sedap dipandang.
Saat kami sedang berjalan sore itu, tiba-tiba terdengar teriakan seseorang yang nampaknya pengurus RT setempat. Dia dengan bersahabat menegur salah satu pemilik toko. “Itu kemarin Pak Wali marah-marah, banyak sampah di sini. Tolong dibersihkan ya Ko,” ujarnya. Sang empunya toko pun menurut.
Kedai Kopi Menjamur
Beberapa tahun silam, saat kerap melakukan wisata kuliner di sepanjang jalan ini, sulit sekali mencari tempat nongkrong.Kala itu memang gak asyik juga sih berlama-maka di Jalan Suryakencana yang chaotic, kumuh dan tak ramah lingkungan karena asap kendaraan. Kebanyakan orang biasanya ke sana hanya mencari sensasi jajan di pinggir jalan atau berbelanja di toko langganan, lalu pulang.
Kini, suasananya sudah jauh berubah. Rumah-rumah warga Tionghoa peninggalan zaman kolonial yang dulu terkesan tertutup dan terbengkalai, kini mulai ditata menjadi kedai-kedai kopi, toko roti, atau kios yang lebih berselera milenial.
Sore itu, setelah membeli sabun, shampo dan kebutuhan lain di toko Ngesti, kami melihat ada toko roti baru berplang, Mr. Yos. Tempatnya bersih dan display rotinya menarik sehingga menggoda kami untuk mlipir mampir.
Terbukti, tidak terlalu mengecewakan karena ternyata pilihan rotinya beragam pun, yang lebih penting, harganya bersahabat. Tempatnya cocok untuk duduk-duduk menikmati sore yang cerah. Selain toko roti, kini pun bermunculan kedai kopi kecil yang dikelola kaum milenial.
Satu kedai kopi yang kami singgahi bernama Fanaticoffee. Kami mampir karena inilah kedai yang terlihat paling ramai pengunjung. Lokasinya di sebelah kanan jalan. Kami memesan caffe latte dan mencobai affogato shoot. Rasanya standar, harganya pun masih reasonable.
Interior cafe juga ditata apik. Ruangan perokok dipisah. Bagi kami yang bukan perokok ada disediakan ruang di sebelah. Pemisahnya dinding dengan ornamen kaca berkusen bulat-bulat. Dari dalam kita masih bisa menikmati pemandangan lalu lalang orang maupun kendaraan di Jalan Suryakencana.
Sayangnya, kehidupan di sepanjang jalan ini redup cepat karena pukul 18.00 sebagian besar toko sudah tutup, kecuali beberapa saja yang buka, seperti Ngesti yang baru tutup pada pukul 20.00. Atau warung-warung kopi dan toko roti yang rata-rata tutup pukul 22.00.
Untunglah ada Hotel 101 yang turut menggeliatkan kehidupan di sana. Berjarak sekitar 100 meter dari gerbang utama Kebun Raya Bogor, hotel ini banyak diminati pelancong. Setelah tadi rehat sejenak di toko roti Mr. Yos, perjalanan kami lanjutkan hingga ke ujung Jalan Suryakencana yang merupakan perempatan ke Gang Aut.
Di sana aktivitas masih marak. Kawasan ini ramai terus terutama karena memang sejumlah pedagang makanan menumpuk di sana. Ada soto bening, sate ayam, bakso, penjual gorengan, hingga toko roti de Paris yang legedaris. Akhirnya, perjalanan kami akhiri dengan menyantap sate ayam Madura di Gang Aut. Enak dan terjangkau, itulah kesan kami.