LAPORAN PERJALANAN

Jalan  Kaki ke Hutan Mati Penuh Misteri  

Keindahan Dead  Forrest atau dijuluki Hutan  Mati di Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. ( foto: Heryus Saputro Samhudi).

GARUT, bisniswisata.co.id:  Saya   dan Resti,   istri saya, berdiri   di hamparan tanah debu   vulkanik berwarna putih. Tubuh kami   sedikit goyang oleh angin yang berkibar kencang, datang entah dari arah mana, membawa aroma belerang ke hidung yang (maaf) mirip bau kentut. 

Ada kesan seram dan misteri, terlebih ketika mendadak turunnya kabut makin menebal, menjadikan semua yang ada seperti hilang ditelan kapas lembut dan dingin, sampai kemudian saya   menyadari tengah berada diantara ratusan batang dan ranting pohon cantigi (Vaccinium valium).

Pohon yang tegaknya   tak beraturan ini seolah tanduk-tanduk  rusa jantan yang dilabur cat hitam. Begitu   kesan saat mampir (lagi) di Dead   Forrest atau dijuluki Hutan   Mati di Gunung Papandayan, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tempat yang menjadi favorit pendaki alam  yang satu ini memang bukan hal baru bagi saya. 

Sejak tahun 1976,  saya sudah beberapa   kali mampir, tiap hendak   mendaki dan mencapai Tegal Alun,   kawasan terbuka yang tak berapa   luas dan merupakan pucuk tertinggi dari Gunung Papandayan. Siapapun yang singgah, pasti setuju bahwa Hutan Mati memang seperti menyimpan misteri.

Betapa tidak! Batang dan ranting pepohonan tegak  memenuhi area, namun, uniknya, tanpa daun   sama sekali. Sementara nyaris berdempetan dengan   semua itu, juga mengampar pohon-pohon cantigi dan pohon tipe hutan alpin lainnya. Merah-kuning-hijau, karena lengkap dirimbuni daun-daunnya. 

Misterius dan bikin bulu kuduk merinding. Terlebih setelah kita tahu kalau batang-batang pohon yang menghitam itu, adalah arang-kemarang, sisa hutan terbakar. Pusat  data geologi di Bandung mencatat, Gunung Papandayan erupsi dahsyat pada 11 – 12 Agustus 1772. 

Akibat letusan itu, empat puluh desa yang ada di sekitar kasawan hancur-lebur. Lebih dari 3.000 orang penduduk menjadi korban dan hilang jiwa, terkubur debu vulkanik dan   muntahan lahar panas yang muncrat.   

Lelehan   lahar panas menggelontor   ke bawah, menghasilkan alur   lebar berlekuk-lekuk, dibatasi dua dinding tinggi. Saya  jadi ingat Grand Canyon di Colorado, USA yang dipenuhi bongkah-bongkah belerang di sana-sini, dan kawah yang menjadi   sumbernya masih terus mengepul hingga kini.   

Itu   semua direkam sejarahwan Lee Davis dalam buku The Natural Disasters. Tahun 2002. Papandayan meletus lagi meski tak sedahsyat erupsi dua setengah abad silam, yang terus membayangi kami saat melangkah menapakinya.  Namun, kesan seram tersebut tak meruntuhkan minat pendaki untuk datang dan datang lagi ke Hutan Mati.  

Bukan sekadar untuk   tempat istirahat, meneguk   isi botol air mineral atau   menikmati bekal camilan, tapi juga untuk menjadikan areal Hutan Mati sebagai spot foto  yang unik dan eksklusif. Resti misalnya, langsung minta saya men’jepret’nya,  saat ia berpose di antara hitam legam batang-batang pohonan yang seperti tumbuh di amparan debu halus putih dan masif.

Cantik dan misterius dan Swiss van Java Garut ini  banyak menyumbang wisata alam unggulan bagi Provinsi Jawa Barat. Dijuluki sebagai Swiss van Java, karena kecantikannya merebak dimana-mana. Geografisnya yang berada di ketinggian dikitari dengan deretan gunung-gunung:   Cikuray (yang tertinggi, 2.821 m-dpl), G. Guntur, G. Galunggung, Talagabodas, dan banyak lagi.   

Ketinggian   terendahnya merentang   di sepanjang pesisir   pantai selatan, antara   lain berupa pantai-hutan Cibanteng dan Pamengpeuk. Gunung  Papandayan (2.622 m/dpl) merupakan satu dari sekian banyak pesona Garut, dan sekaligus merupakan satu dari sekian banyak obyek pendakian di Indonesia. 

Berdua, menikmati keindahan Gunung Papandayan dari tempat yang dijuluki Camp Davis dan berjalan menanjak selama dua jam  (foto: Herus Saputro Samhudi).

Cara mencapainya

Cukup jauh dari pusat kota Garut, yakni sekitar 69 Kilometer, dan perlu waktu tempuh sekitar 3 jam untuk mencapainya. Bagi calon pengunjung umum, patokannya adalah Terminal Garut dan dari situ silakan  naik bus regular tujuan Pameungpeuk, dan minta sopir atau kernet untuk diturunkan di Simpang Tiga Pasar Cisurupan.

 Di samping Masjid Raya Cisurupan mangkal mobil-mobil pick-up bak terbuka yang biasa  mengantar para pendaki gunung yang hendak dituju ke area Wisata Gunung Papandayan.  mobil ngetem menunggu penumpang penuh. Biaya per penumpang Rp 20.000 – Rp 30.000. Bila   datang berombongan, ada baiknya negosiasi sewa sekali antar, hingga bisa didapat kumulasi ongkos yang lebih murah.

Bagi yang berkendaraan pribadi, dari   arah kota Garut bisa langsung menuju   Cisurupan, dan lanjut menyusuri jalan mendaki dan   berkelok-kelok hingga mencapai gerbang Wisata Gunung Papandayan. Pusat pengelolaan Wisata Gunung Papandayan ini masuk wilayah administratif Desa Karamat Wangi,  Kecamatan Cisurupan, KabupatenGarut, Jawa Barat, kode pos 44163.   

Hari Minggu atau hari libur,  pesona wisata alam ini ramai disaksikan  pengunjung domestik dari Bandung, Garut dan   Tasikmalaya, Bekasi dan Jakarta. Satu dua   rombongan wisatawan mancanegara yang datang dengan   minibus wisata pun tampak di lokasi. Tiket masuk Rp   35.000/pengunjung. Bea parkir Rp30.00 untuk katagori sedan atau minibus.

Ojeg  ‘Camp David di ’Gerbang   Wisata Gunung Papandayan   dilengkapi sarana dan fasilitas   umum yang relatif baik. Areal   parkirnya yang dengan nada gurau dijuluki ‘anak gunung’ sebagai Camp David, luas beraspal, dikitari bangunan-bangunan   fungsional: kantor pengelola, resto dan warung makan sederhana, toko cenderamata dan oleh-oleh, gerai penjual buah dan sayuran segar, serta menara pandang untuk melihat view sekitar.

Dari gerbang Wisata Gunung Papandayan, perlu jalan kaki sekitar dua jam untuk mencapai Hutan Mati. Melintasi sabana dan hutan kecil yang rapat pepohonan cantigi dan alpin, menyusuri jalan setapak terbuka dipunggungan gunung yang gundul berbatu-batu, diapit tebing tinggi di kiri kanan. 

Para pemula tak perlu khawatir karena track menuju Hutan Mati relative landau, tak terlalu sulit didaki. Bahkan di ‘Camp David’ tersedia jasa ojeg sepeda motor trail menuju titik terdekat Hutan Mati. Tarifnya Rp 75.000 sekali jalan atau Rp  125.000 untuk antar-pulang. Cuma, berboncengan sepeda motor, mendaki atau menuruni jalan setapak yang licin dan berbatu-batu, butuh kesiapan mental. 

Di sadel boncengan, tubuh terus-menerus terantuk-antuk, bikin pinggang pegal, ha…ha…ha…! karena itu, disamping  isi dompet mesti dihemat, saya dan Resti memilih jalan kaki, sebagaimana biasa kami mendaki gunung. Tak mau kalah dengan para pendaki muda yang masih bertenaga dan tegap langkahnya.

Berjalan bersama para pengunjung   pemula, membantu pasangan muda yang minta tolong mereka di’jepret’ di spot foto eksotik. Perjalanan wisata yang menyehatkan dan menyenangkan.  

Sekitar satu setengah jam berjalan dari Gerbang, karena banyak berhenti   di spot-spot foto, kami sampai di areal lebar Kawah Papandayan yang terus mengepulkan asap belerang, dan mengeluarkan air panas yang mengalir membentuk sungai kecil ke arah bawah dengan aiir jernih bercampur belereng yang tak layak diminum.

Ada   pos jaga   tempat petugas   memonitor aktivitas   pendaki, dilengkapi warung kecil penyedia makanan dan minuman ringan, dan biasa jadi tempat istirahat pendaki sebelum bergerak kembali.

Di pos jaga ini jalan setapak   bercabang dua. Yang ke arah kanan menuju Pondok Saladah, area berkemah bagi yang ingin bermalam atau tinggal lebih   lama di kawasan itu dan yang di sebelah kiri adalah jalan menuju Hutan Mati dan Tegal Alun – triangulasi Gunung Papandayan.

Persisnya, kawasan Hutan Mati berada di bagian atas bibir kawah Papandayan.  Lumayan dingin walau tengah hari bolong. Maklum, itu kawasan merupakan   jalur lintasan angin dan kerap disapu kabut tebal. “Tempat angker”, ungkap   seorang famili yang tinggal di dekat Masjid Raya Cisurupan. 

Namun bila didekati dengan hati yang bersih, akan hadir dalam diri kita   sudut pandang berbeda karena ini tempat yang bagus meski banyak pohon  tanpa dedauan. Ratusan pohon cantigi berwarna hitam tumbuh tepat di atas material lumpur   dari kawah gunung, menghadirkan suasana eksotis dan menakjubkan.  

Indonesia   memang cantik.  Dead Forrest on   top of Mt.Papandayan adalah bagian dari kecantikan itu…Oya, jangan lupa membawa topi, wind jacket water proof berbahan ringan dan hangat bila dikenakan, karena hujan lokal bisa turun kapan saja.   Saputangan atau bandana berbahan flannel juga perlu untuk menutup hidung saat   kepulan uap belerang melintas ke dekat kita.   

Jangan juga  lupa membawa tongkat. Syukur-syukur  tongkat lipat dari bahan metal ringan yang bisa dikantongi atau disusupkan ke dalam tas cangklong. Juga botol berisi air mineral yang cukup, plus camilan ringan dan bergizi.

Nikmati saat harus beristirahat, sebelum melangkah lagi. Santai saja, selangkah   demi selangkah. Tak dilarang untuk bergandengan tangan ataupun menuntun Si Dia dan   luluskanpermintaan bila dia ingin di foto di sebuah spot yang menurutnya cantik dan perlu. Hmmm asyikkan ?…

Hana Fahila