INTERNATIONAL

Gaet Turis Muslim, Kamboja Kembangkan Wisata Halal

PNOM PENH, bisniswisata.co.id: Pemerintah dan industri pariwisata di Kamboja juga mulai mengembangkan wisata halal untuk menggaet kunjungan wisatawan muslim dari negara-negara di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Informasi dari Kedutaan Besar RI di Kamboja, Kamis (11/10) menyebutkan sejumlah investor mengembangkan wisata halal di negara bekas jajahan Prancis itu. Negara terkenal dengan objek wisata berupa kuil itu, terdapat perkampungan Champa yang merupakan kawasan permukiman penduduk Muslim asli warga Kamboja.

Sekretaris Pertama Kedutaan Besar RI di Phnom Penh Avi Dewani Sari Harahap menyebutkan setiap perayaan Idul Adha, banyak wisatawan datang dari Malaysia dan Timur Tengah. “Banyak juga restoran yang mengembangkan wisata halal di sini,” kata Avi.

Industri pariwisata di Kamboja berkontribusi sekitar 30 persen dari GDP Kamboja. Serta menyerap jumlah tenaga kerja sekitar 650 ribu orang.

Menurut laporan Kementerian Pariwisata Kamboja, selama 2017, jumlah wisatawan inbound yang berkunjung ke Kamboja sebanyak 5,6 juta wisatawan dengan total penerimaan negara sebesar 3.63 miliar dolar AS (meningkat 12,3 persen dibanding tahun 2016).

Dengan tren pertumbuhan sektor pariwisata yang terus meningkat, Pemerintah Kamboja optimistis mencapai tujuh juta wisman tahun 2020. Sementara itu, outbound turis Kamboja pada 2017 tercatat sejumlah 1,75 juta orang atau meningkat 22,2 persen dibandingkan tahun 2016.

Sekretaris Pertama Kedutaan Besar RI di Phnom Penh Made Santi Ratnasari menyebutkan dari jumlah wisatawan Kamboja tersebut yang mengunjungi Indonesia baru sekitar 6.000 orang. “Sementara jumlah wisatawan Indonesia yang mengunjungi Kamboja mencapai sekitar 40 ribu,” katanya, Jumat (12/10/2018).

Ketua Asosiasi Muslim Kamboja, Sos Mossin, mengatakan, dalam pertemuan antara Perdana Menteri Kamboja Hun Sen dengan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Malaysia bersedia membiayai pelatihan skema standardisasi halal di Kamboja. Selain itu, Kamboja meminta bantuan teknis dari Thailand terkait isu ini.

Bulan lalu, kata Mossin, Kementrian Perdagangan Kamboja menerbitkan aturan untuk mengembangkan standardisasi produk halal. Begitu semua rampung, para pelaku bisnis dan restoran akan bisa mengajukan sertifikasi halal melalui kementrian.

Sejauh ini, pelatihan yang digelar banyak membahas seputar daging mulai dari metode penyembelihan hewan hingga proses menirisan darah hewan sembelihan. Jaminan daging halal sendiri merupaka hal langka di Kamboja.

“Produk halal itu penting. Tapi, kebanyakan restoran dan perusahaan tidak paham soal standar halal. Meski produk berlogo halal sudah ada, Kamboja belum punya produk terstandar halal,” kata Mossin seperti dikutip Phnom Penh Post akhir pekan lalu.

Banyak negara mengekspor ke negara Muslim lain dan negara-negara Eropa. Kamboja, kata Mossin, ingin bisa mengundang lebih banyak investor ke Kamboja sehingga bisa membantu peningkatan pendapatan negara.

Impelementasi halal, lanjut Mossin, tak hanya pada pemotongan hewan, tapi juga restoran dan hotel untuk memastikan kualitas produk halal yang dijual. Hal ini, tak lepas dari terus meningkatnya jumlah wisatawan Muslim yang berkunjung ke Kambodia tahun ke tahun.

Hingga saat ini, Dewan Tertinggi Agama Islam Kamboja sudah menerbitkan sertifikat halal di sana. Namun, para pengusaha jagal menyebut proses sertifikasi halal ini didasarkan pada kepercayaan satu sama lain, ketimbang inspeksi langsung. Beberapa organisasi juga menyebarkan panduan produksi pangan halal.

Ketidakseragaman bisa memicu kebingungan termasuk perang logo sertifikasi. Pejabat Kementrian Perdagangan Kamboja, Kit Pheara, mengatakan, Kementerian Perdagangan sedang mendesain logo halal sendiri karena sertifikasi halal yang ada selama ini tidak resmi dan dirancang secara individu.

Sampai saat ini, kata Pheara, banyak wisatawan bisa salah mengonsumsi makanan, entah itu makanan yang jelas tidak halal atau makanan yang diyakini halal. “Saat wisatawan datang ke Kamboja, mereka tidak makan makanan halal karena kami tidak punya standarnya,” kata dia.

Investor dan wisatawan akan lebih banyak datang ke Kamboja karena mereka percaya akan produk berstandar tinggi. Karena itu, Kamboja melihat akan ada banyak manfaat jika mereka memiliki standardisasi produk halal.

Kebanyakan perusahaan jagal di Phnom Penh menggunakan logo halal. Manager sebuah rumah potong hewan, Van Mohamed Raoyany, mengatakan, perusahaannya mendapat sertifikat halal dari Asosiasi Muslim Kamboja. Asosiasi Muslim Kamboja menyediakan panduan sertifikasi halal. Meski begitu, dia mengatakan, perusahannya juga mengikuti standar yang dikembangkan di Jerman.

Raoyany mengaku, dengan standar yang tinggi, perusahannya berhasil menarik banyak konsumen di luar komunitas Muslim. “Pelanggan saya tidak hanya Muslim. Mayoritas pengikut Khmer, jadi pelanggan toko saya karena mereka tahu daging halal punya kualitas lebih baik dari daging yang umum dijual di pasar dan juga dikemas dengan baik,” ungkap Raoyany.

Sayangnya, perusahaan Raoyany belum bisa melakukan ekspor. Padahal, memiliki standar produk akan membuat Kamboja punya akses ke pasar pangan halal global. Pasar pangan halal global saat ini diprediksi menguasi 16 persen dari nilai pasar pangan dunia.

Dengan pertumbuhan yang cepat dan insentif yang dihasilkan, pasar halal tak mungkin dilewatkan. Thailand dan Vietnam sudah memiliki standar halal. Thailand bahkan mampu mengekspor makanan halal hingga enam miliar dolar AS pada 2015. (EP)

Endy Poerwanto