Eka Moncarre ketika promosikan kuliner lewat Festival Indonesia di Paris tahun lalu. ( Foto: VITO France)
PARIS, bisniswisata.co.id: Bumbu jadi alias bumbu instant bukan cara yang tepat untuk mempromosikan makanan Indonesia dan rempah-rempah Indonesia di luar negeri, kata Eka Moncarré, Country Manager Visit IndonesiaTourism Office ( VITO), Perancis, hari ini.
“Apalagi dengan adanya COVID-19, semua orang di dunia akan lebih memilih makan makanan organik yang alami dan bukan dengan bumbu jadi. Sekarang semua orang akan memiilih go natural, go green, dan makan makanan dari alam, bio food sangat laku di Eropa dan akan jadi trend dari pasca COVID-19,” kata Eka
Hal ini menanggapi pernyataan pakar kuliner William Wongso di sebuah media di tanah air bahwa untuk mempromosikan bisa dilakukan lewat bumbu bubuk dan lebih baik menggunakan bumbu yang sudah jadi ( instant) supaya restoran Indonesia di luar negeri juga tidak bangkrut.
Menurut Eka Moncarre, bumbu jadi alias bumbu instant itu mungkin bagus buat orang-orang yang ingin masak makanan Indonesia secara praktis tapi bukan sebagai cara yang tepat untuk mempromosikan makanan Indonesia dan rempah-rempah Indonesia apalagi di luar negeri.
Orang-orang di Eropa terutama orang Perancis lebih suka bumbu yang segar(fresh) dan mereka tidak suka bumbu instant apalagi yang dibuat di Indonesia yang nota bene ada bahan pengawetnya.
” Prinsipnya orang Perancis tidak suka makanan dengan produk kimia, mereka lebih suka makanan dengan bumbu alami, go nature. Jika kita memperkenalkan rempah2 Indonesia dengan bumbu instant, bagaimana dunia bisa tahu tentang kekayaan rempah-rempah di Indonesia ? ini sama sekali bertolak belakang,” tegasnya.
Para chef di Perancis tidak pernah akan memasak dengan bumbu jadi dan mereka anti dengan bumbu jadi. Mereka ingin membuat dan meracik bumbu mereka sendiri. Bahkan untuk membuat kaldu pun, mereka tidak pakai penyedap rasa, tapi dibuat dari kaldu sari tulang ayam atau sapi.
Saat ini Indonesia sedang berjuang agar Jalur Rempah mendapat pengakuan sebagai warisan budaya dunia dari Badan PBB untuk urusan Pendidikan, Sosial, dan Budaya (UNESCO). Ini penting mengingat Jalur Rempah bisa membuka peluang promosi kekayaan nusantara di kancah global.
“Jadi yang kita perlu tunjukkan rempah-rempah bukan bumbu instant. Sebagai diaspora Indonesia yang tinggal di Perancis dan juga perwakilan resmi dari kemenparekraf di Perancis, saya rasa perlu untuk saya menjelaskan ke semua pihak supaya tujuan kita membawa nama Indonesia di luar negeri bisa berhasil,” ungkapnya.
Tugas utamanya, kata Eka, adalah mempromosikan Indonesia di Perancis dan meningkatkan wisman Perancis ke Indonesia. Selain mempromosikan pariwisata Indonesia, juga lewat gastronomi Indonesia dan produk-produk Indonesia di Perancis.
Eka mengaku cukup terkejut ketika pernah mengundang William Wongso ke Paris untuk mempromosikan makanan lewat festival Indonesia di Perancis ternyata yang digunakan beliau adalah bumbu instant dari satu merk bukan bumbu segar dengan alasan logistik.
Begitu pula halnya ketika tahun lalu membuat cooking demo dihadapan para chef Perancis yang terkenal dan yang digunakan beliau adalah bumbu instant. Hal yang sama dilakukan saat demo masak di sekolah Cordon Bleu yang mendunia.
“Sekarang kalau tujuan kita untuk mempromosikan rempah-rempah, yang harus ditonjolkan adalah rempahnya. Kalau memang susah untuk mengekport rempah-rempah segar, kita bisa buat dalam kemasan bubuk tetapi natural alami tidak ditambah bahan kimia,”
Restaurant-restaurant Indonesia di Perancis mereka lebih suka membuat bumbu sendiri fresh untuk membuat rendang, pertama cost lebih murah dan lebih asli. Rempah-rempah bisa didapat di toko asia, walaupun bukan datang dr Indonesia tapi sama, atau di toko India juga bisa didapatkan.
Itu sebabnya pihaknya meminta perhatian pemerintah dan semua pihak untuk memiliki satu visi dalam mempromosikan gastronomi Indonesia di mancanegara seperti yang sukses dilakukan oleh Thailand.
“Saat ini jalur rempah kita masih belum dikenal, makanan Indonesia belum banyak yang tahu, dan kalau caranya kita promosikan Indonesia seperti ini, bisa kacau, karena tidak fokus dan bercabang-cabang,” tutup Eka.