Aktivitas Dewi Hermayanti di daerah NTT
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Solo traveling ke Kupang, Flores menjadi pengalaman paling berkesan bagi Dewi Hermayanti, eksekutif marketing di perusahaan jasa medis yang juga pegiat Personal Social Responsibility
( PSR).
Personal Social Responbility (PSR), sebuah gerakan personal setiap individu terhadap tanggung jawab sosial mungkin masih asing bagi sebagian orang. Tapi bagi Dewi, mengisi kegiatan berwisata sekaligus melakukan kegiatan sosial sudah menjadi passionnya sejak kecil.
“Waktu di Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) saya aktif di kegiatan Pramuka dan mulai punya cita-cita ingin membuat yayasan dan membuat program-program yang bisa menolong sesama umat seperti sekolah gratis” ujarnya membuka percakapan di sebuah resto di Cilandak Town Square.
Kegiatan Pramuka mengawali hobi ibu satu anak ini untuk sering berwisata, namun setelah bekerja dan makin sering berwisata menjelajah tanah air tercinta, dia merasa ada yang kurang dalam batinnya. Seperti cuma mengambil sesuatu, menikmati keindahan alam tapi tidak meninggalkan jejak seperti memberi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat yang dikunjungi.
” Tiba di destinasi wisata yang dituju, biasanya cuma foto-foto dan kulineran ternyata tidak mampu membuat saya puas dan bahagia. Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir ini kegiatan wisata saya diisi dengan aktivitas PSR, membantu masyarakat di tempat yang saya tuju,” ujarnya.
Dewi mengaku manusia adalah makhluk sosial. Selain itu, dalam agama juga diajarkan saling berbagi yang menjadi salah satu nilai kebaikan. Oleh karena itu Desember 2018 saat melakukan liburan akhir tahun di NTT, Dewi memilih PSR di Lembata dan sebuah Taman Bacaan di atas gunung.
“Mulanya baca di Facebook kegiatan relawan dan ada taman bacaan yang terbengkalai, ada yang berada di kaki gunung dengan kondisi desanya belum punya listrik. Saya langsung putuskan berangkat ke Lembata lewat Kupang dengan membawa buku bacaan dan sepatu-sepatu dari donatur,”
Selama ini, Dewi dan rekan-rekannya yang peduli PSR kerap menjadi relawan saat ada bencana di Lombok, Bali,Poso dan daerah lainnya. Dia juga pergi ke Labuan Bajo dan Raja Ampat, Papua. Selain dana pribadi kerap sejumlah teman menitipkan donasinya pada Dewi untuk membeli barang yang dibutuhkan dan disumbangkan.
Solo traveling atau perjalanan pertamanya ke Kupang-Lembata – Flores seorang diri ini selain baru pertama kali dilakukan juga hanya bermodal nomor kontak handphone relawan Taman Baca yang baru satu kali dijumpainya di Jakarta. Tiket pesawatnya juga hanya sekali jalan karena belum tahu kondisi medan yang dikunjungi sehingga tidak bisa menentukan tanggal pulang dan pulang dari mana ke Jakarta.
Perjalanan panjang
Dewi mengaku sangat terkesan dalam misinya kali ini karena niat baik akhirnya memudahkan perjalanannya untuk sampai tujuan. Perjalanan panjang yang dilalui dengan oprimistis.
Nekad berangkat dari Jakarta-Kupang, tiba di Kupang tidak memiliki tiket transportasi untuk mencapai Lembata. Untungnya ada Iin Herlina, salah satu relawan di Ende yang bisa ditemui dan akan mempertemukan dengan dua relawan lainnya di Wolowaru, Ende untuk menghidupkan sebuah taman bacaan yang terbengkalai.
” Dari Kupang ke Lembata tadinya mau naik kapal Pelni karena tidak kebagian tiket pesawat akibat bersamaan dengan mudik Natal. Tapi karena cuaca buruk kapal Pelni sudah seminggu tidak singgah. Akhirnya Go Show ke bandara untuk ke Lembata,”
Dewi jadi calon penumpang yang langsung menuju ke bandara untuk mendapatkan tiket keberangkatan, dan melihat apakah ada kemungkinan untuk bisa mendapatkan tiket bagi perjalanannya. Go Show ini biasanya 2-3 jam sebelum jadwal waktu keberangkatan pesawat.
” Niat baik saja dan alhamdulilah satu penumpang batal berangkat sehingga saya bisa ke Lembata dan melakukan PSR di sebuah desa di sana,” ungkapnya bahagia.
Tinggal bersama masyarakat desa yang ramah, lingkungan yang indah selama tiga hari memberikan kesan yang mendalam bagi Dewi. ” Rasanya yang saya bawa nggak terlalu berarti cuma buku dan sepatu tapi anak-anak bahagia banget apalagi kami bisa berbagi makanan juga,” tambahnya.
26 Desember 2018 perjalanannya harus dilanjutkan ke Ende untuk menuju Lowolaru, desa terpencil di gunung yang belum ada listrik. Masih berfikir keras mau naik transportasi apa ke Maumere karena laut tetap ganas. Ternyata terdengar bunyi kapal Pelni singgah di Lembata yang berkapaitas 2000 penumpang.
Dewi disarankan untuk ikut kapal Pelni hingga Maumere lalu lanjut ke Ende dengan mobil ELF selama tiga jam. Untungnya selama perjalanan dia tertidur sehingga tidak tahu bahwa kapal besar itu berguncang melawan badai.
“Allah itu baik banget, dimudahkan semua urusan masak begitu naik kapal saya tertidur pulas. Padahal lama perjalanan 10 jam. Alhamdulilah di Ende ada rumah singgah milik relewan Iin Herlina, gadis Medan yang merantau ke Ende dan menikah dengan suami asal Jawa,”
Menurut Dewi, Mbak Iin Herlina ini ikhlas banget menampung teman-teman volunteer dari mana saja, dalam dan luar negri yang sedang lintas Flores tanpa mau menerima bayaran. Seperti bertemu dengan orang yang satu frekwensi, dia bersyukur di tampung di rumah Iin selama di Ende.
Pertemuan dengan wanita pejuang tanpa tanda jasa itu makin memperkuat keyakinannya bahwa berbuat kebaikan pada masyarakat itu bukan hanya mendatangkan kepuasan batin dan kebahagian tetapi juga membuatnya ketagihan ( addick) untuk membantu mengatasi kesulitan hidup orang lain.
Besoknya Dewi dari Ende berangkat menuju desa di atas gunung yang diingatnya bernama Detupau. Lima kilometer pertama masih ada jalan aspal, tapi 5 km selanjutnya motor melewati jalan kecil di tepi jurang dan bikin sesak nafas karena rasa takut.
” Ternyata desa itu benar-benar belum ada listrik dan selain rumah-rumah sederhana, hanya ada satu gereja dan satu sekolah. Kedatangan saya sudah disambut masyarakat,”
Kalau di Jakarta sebagai ibukota negara, masyarakatnya acuh bahkan dengan tamunya sekalipun, nah di desa ini meski kita bukan siapa-siapa tapi disambut seperti saudara sendiri yang pulang kampung, tambahnya.
Suasana seperti inilah dengan rasa kekerabatan dan toleransi besar yang membuat kegiatan PSR nya penuh rasa bahagia. Selain itu juga membuat hidup menjadi lebih berharga karena bisa melakukan sesuatu yang baik kepada orang lain.
“Besoknya mereka mau menyuguhkan hidangan ayam tapi karena mereka paham dalam syariat Islam untuk menyembelih ayam juga ada doanya maka pemotongan ayam diserahkan pada saya,” kata Dewi menambahkan indahnya kebersamaan dengan toleransi yang tinggi.
Dia jadi tertawa mengingat kejadian memotong ayam yang tidak pernah dilakukan seumur hidup. Dilanjutkan memasak bersama serta makan bersama anak-anak membuat kenangan manis yang selalu diingatnya, apalagi Dewi lalu diajarkan menari.
Selama di atas ‘gunung’, dan di Lembata kata Dewi, tidak ada satu ekor babi yang boleh berkeliaran karena mereka punya tamu Muslim. Jadi semua babi dikandangkan di belakang rumah bahkan sampai Dewi mencapai bukit doa di desa itu tidak ada babi yang berkeliaran.
“Uniknya waktu ke spot-spot foto yang indah seperti bukit doa, orang desa yang mengantar dan jadi guide adalah orang Muslim yang tinggal di kota Lembata. Dia fasih dengan cerita-cerita umat Kristiani,” jelas Dewi.
Titik Balik
Sebagai single parent, rumah tangganya yang gagal pada 2011 justru menjadi titik balik untuk meraih kebahagian hidup. Padahal ibarat pepatah ‘Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula “, di tahun yang sama dia kehilangan mobil kesayangan karena dirampok, ayahnya mengalami strooke, jadi korban office politic di kantor dan ditipu ratusan juta oleh orang kepercayaan yang menjalankan usaha milik pribadinya.
Maklum sambil bekerja di perusahaan besar, jiwa entrepreneur dan kreativitasnya membuat Dewi memiliki usaha sendiri sebagai suplier kebutuhan salon-salon besar maupun usaha lainnya.
Selama dua tahun dia harus menata hidup, melakukan self motivation, banyak mendengarkan ceramah agama dari beragam ustad/ustajah, melatih ketenangan diri dengan yoga, olahraga renang secara teratur dan merawat kedua orangtua di rumah.
“Tadinya orangtua belum mau tinggal bersama saya padahal Ayah saya sudah sakit-sakitan. Akhirnya sebagai anak perempuan pertama dari lima saudara, orangtua mau bergabung dan rumahnya disewakan,” kata Dewi.
Mengasuh anak tunggal yang kini sudah kuliah di Jerman, Dewi mengaku tekadnya untuk hidup bahagia dipenuhi oleh Allah SWT dengan banyak mendapat perhatian dan kasih sayang dari warga tempat dia melakukan PSR.
” Karena saya peduli literasi maka kegiatan PSR waktu libur week-end melakukan kegiatan di kota-kota terdekat seperti di Bogor yang masih punya desa tertinggal atau ke Marunda, bagian dari ibukota negara yang kumuh dan masyarakatnya perlu di bina,” ungkapnya.
Dewi yang kini bekerja di perusahaan jasa medis penyedia beragam kebutuhan mulai dari SDM hingga pengadaan klinik di tambang-tambang minyak, juga kerap mengajak teman-teman secara pribadi mendukung bakti sosial yang dibuatnya.
“Banyak teman yang ternyata suka dengan kegiatan PSR dan merasa senang bersedekah dengan program yang nyata bahkan jika ada waktu mereka terlibat langsung,” kata Dewi.
Masih di Marunda, misalnya, anak-anak bisa periksa gigi gratis, mendapat latihan merawat gigi dan mulut dan pulang dengan goody bag yang membuat mereka menjadi riang gembira.
Di beberapa kota di Jawa Barat, Dewi menggelar program tebar buku gratis terutama buku-buku untuk membimbing usaha tertentu sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup.
Di lain hari, dia sibuk menerima barang layak pakai terutama baju, mukena, jilbab dan barang lainnya sumbangan para kerabat. Kadang barang-barang itu dibuatkan bazar dengan harga murah seperti 3 baju seharga Rp 5000 sehingga masyarakat di kampung-kampung kumuh bisa memiliki baju-baju mahal.
Mengingat hasil penjualan bazar barang bekas juga untuk kegiatan amal lainnya maka penjualan juga selalu habis membuat Dewi selalu bersyukur atas keajaiban yang Allah ciptakan. Hal ini menjadi satu bukti meski kurang mampu kalau tujuan amal masyarakat mau membeli, jelas Dewi.
“Manusia tidak bisa membeli kebahagian tetapi dia berhak memiliki kebahagian dan memberi kebahagian buat orang lain. Saya memilih menjadi ibu yang bahagia sehingga bisa mendidik anak semata wayang melewati tahapan hidupnya dengan selalu bahagia serta mendekatkan diri pada tuhan,” katanya menutup bincang-bincang soal Personal Social Responsibility ( PSR) itu. Au Revoir Madame !.