Panitia Tetap Anugerah Adinegoro PWI Pusat yang diketuai Rita Sri Hastuti menyelenggarakan Webinar “Berbagi Pengalaman Bersama Pemenang & Dewan juri 6 Kategori Anugerah Adinegoro 2021”. Acara yang akan berlangsung pada 6 Febuari mendatang, menyambut Hari Pers Nasional 9 Febuari 2021. Berikut profil pemenang kategori media cetak, Devy Ernis dari Majalah Tempo.
Sinopsis cetak :
Jauh dari sorotan, enam ustad dan ustazah berdakwah mengusung toleransi dan kesetaraan. Ada yang diusir dari kampungnya, ada juga yang pesantrennya nyaris dibakar.
Enam ustad dan ustazah berjuang membangun toleransi dan kesetaraan. Mereka berdakwah dari kampung ke kampung dan membina komunitasnya.
Berbagai penolakan dan ancaman menimpa mereka. Bahkan ada yang diusir dan pesantrennya diserang. Namun mereka menolak menyerah serta tetap konsisten menyuarakan toleransi dan kesetaraan.
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Bergabung dengan Tempo sejak 2014, Devy Ernis kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Dia memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul “Momen Eureka! Perempuan Penemu” yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2019.
Jadi dua tahun berturut -turut dia memenangkan penghargaan Anugerah Adinegoro karena tahun 2021 bersama timnya meraih Kategori Media Cetak bersama tim antara lain Aisha Saidra dan Dini Pramita dengan judul tulisan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang terbit 27 Juli 2020
Rubrikasi yang ditekuninya memang berbeda-beda sejak bergabung dengan PT Tempo India Medika Tbk pada 2014. Selama setahun mengelola online Tempo.co, devy banyak menulis bidang pendidikan.
Setelah itu selama tiga tahun dari 2015 — 2018 Devy bertugas di desk ekonomi terutama isu perikanan di Koran Tempo. Dia juga sempat bertugas di desk metro meliput isu perkotaan. Tapi liputan yang berkesan adalah isu perbudakan ABK dan illegal fishing di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.
Alumni Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung ini tahun 2018 hijrah ke unit usaha lainnya yaitu ke Majalah Tempo dan bertugas di Desk Nasional terutama isu politik.
“Seneng jadi wartawan soalnya pernah kerja di balik meja ternyata tidak suka dan bikin stress ha ha… Serunya jadi wartawan itu terus belajar dan bisa belajar banyak hal setiap hari tambah ilmu terus….,” katanya riang.
Anak ke dua dari dua bersaudara ini kalau ada waktu luang suka bersepeda dan kulineran dengan teman-temannya. Lain waktu dia terlibat dalam kegiatan Sekoci, sekolah cinta anak indonesia suatu gerakan sosial anak marginal.
” Sekarang sudah jadi yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Jadi kami berusaha memberikan pendidikan pada anak-anak marginal. Di sana aku sebagai dewan pengawas. Gerakan ini diinisiasi oleh sahabat aku, Ajeng dan aku ikut bantu dia,” katanya.
Berani menerima tantangan
Kalau Anda pembaca majalah Tempo maka bisa mencermati tulisan-tulisannya yang apik baik di Laporan Utama maupun liputan di Rubrik Nasional. Pilihan judul-judulnya santun padahal tulisannya berisi muatan yang berat dan tidak sederhana. Devy tergolong berani menerima tantangan.
Laporan hasil garapannya a.l : Noktah Hitam Di Kampus Hijau bercerita mengenai Rektor Universitas Sumatra Utara yang melakukan swaplagiarisme. Muryanto Amin melenggang mulus menjadi Rektor Universitas Sumatera Utara. Karya tulisnya yang dimuat di jurnal yang kredibilitasnya meragukan diajukan untuk kenaikan pangkat sebagai guru besar. Pejabat Istana disebut mengintervensi kasus tersebut.
Judul-judul laporan dan pilihan katanya indah sesuai jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang diambilnya di bangku kuliah seperti Sandi Khusus Pos Megamendung. Di laporan ini Devy menulis bagaimana Habib Rizieq sempat terguncang setelah mendengar enam pengawalnya tewas ditembak oleh polisi pada Senin dinihari, 7 Desember 2020 lalu.
Caranya mengupas berbagai konflik kepentingan juga apik dengan judul Kejang Setelah Libur Panjang. Isinya soal angka kasus penyebaran virus corona yang tak terbendung di sejumlah daerah. Di dalamnya terungkap upaya pengusaha melobi pemerintah agar perekonomian bisa tetap jalan.
Masalah sensitifpun di bungkus sesuai motto majalah itu, Enak Dibaca dan Perlu. Tengoklah pula judul-judul tulisan lainnya seperti Roller Coasrer Angka Efikasi, Pengajian Tanpa Bintang, Akrobat Di Tengah Vakansi, Nyanyi Sepi Gembala Papua, Tas Sembako Di Angkringan Marhaen, Menampar Muka Di Tanah Papua.
Semua adalah isu terkini yang menguras tenaga, pikiran dari masalah pendidikan, masalah agama, politik termasuk kesehatan dimana untuk mengulik data, mengumpulkan informasi dan menjadi Laporan Utama akan menghadapi berbagai tantangan bahkan kerap hal-hal yang tak terduga.
Mengenai tema tulisan yang menang Adinegoro, Devy bercerita bahwa tim redaksi Majalah Tempo mengamati gejala intoleransi yang kian deras di masyarakat kita.
Berdasarkan diskusi dengan sejumlah aktivis dan pegiat toleransi, dan juga memperhatikan konten-konten media sosial, terlihat bahwa intoleransi itu juga dipengaruhi oleh sikap para ulama.
“Di sisi lain, ada juga ulama yang bergerak melawan intoleransi. Kami meyakini, ada banyak ulama di pelosok negeri yang konsisten memperjuangkan toleransi. Aktivitas mereka jauh dari ingar-bingar pemberitaan,” kata Devy.
Proses selanjutnya, Redaksi menggelar riset dan berdiskusi dengan berbagai kalangan. Termasuk dari Nahdlatul Ulama,Muhammadiyah, juga akademikus dan aktivis. Dari mereka dan hasil riset, Devy mendapat daftar berisi puluhan nama ulama dari berbagai daerah.
“Kami pun mengerahkan koresponden di daerah untuk memverifikasi aktivitas dan konsistensi mereka dalam memperjuangkan toleransi. Akhirnya, ada enam tokoh yang kami anggap memenuhi kriteria tersebut,” ungkapnya.
Dalam edisi khusus ini, kami juga mencoba mengangkat peran dari ulama perempuan. Kami juga meyakini ada banyak perempuan hebat yang bergerak di bidang keagamaan dan memperjuangkan hak-hak kaum perempuan, tambahnya.
Devy merasa bersyukur hasil kerjanya berbuah manis dengan hadiah Adinegoro, Anugerah teringgi jurnalistik yang membuat bangga seisi kantor maupun anggota keluarga lainnya.
“Tentu bersyukur dan terima kasih atas apresiasi yang diberikan. Di tengah kerja-kerja jurnalistik kami yang tak jarang di lapangan kami mendapat ancaman ketika memberitakan fakta, penghargaan ini menjadi pemicu kami untuk terus berkarya lebih baik lagi,” kata Devy.
Tentunya, penghargaan ini merupakan pengakuan atas kualitas dari pemberitaan Tempo, di tengah gempuran informasi di era digital.” Ini merupakan Apresiasi terhadap kerja jurnalistik kami dan mendorong menghasilkan karya lebih baik lagi,”tambahnya, menutup cerita dengan senyum mengembang.