JAKARTA, bisniswisata.co.id: Pementasan Beralas Bumi Beratap Langit pada akhir pekan lalu berkisah tentang asal muasal dan kearifan Orang Rimba. Di antara pepohonan, syair-syair didendangkan oleh para lelaki berkalung sarung. Ada di antaranya membawa tombak, ada pula yang tengah memakan ubi. Dari situ pula, cerita Orang Rimba dideraskan.
Salah satu kisahnya ialah asal muasal Orang Rimba. Dari berbagai versi, yang diceritakan ialah versi pertemuan antara Bujang Rantau dan Putri Gelumpang. Setelah keduanya menikah dan beranak pinak, keturunan mereka pun ada yang memilih tinggal di hutan dan di kampung, atau yang dikenal dengan Orang Terang.
Pentas yang berjudul Beralas Bumi Beratap Langit ini terinspirasi saat sang produser, Maudy Koesnaedi, mengunjungi Sokola Institute yang diinisiasi pegiat literasi Marlina ‘Butet’ Manurung.
Bermula ketika Maudy membacakan kisah makna pohon Setubung yang sangat erat maknanya bagi kehidupan Orang Rimba, ia pun lalu menggali lebih dalam kisah mereka. Dalam pentas teater yang bergaya naratif itu sendiri, Maudy berperan sebagai narator.
Bertempat di studio 7 TVRI, Senayan, Jakarta Selatan, nuansa panggung juga terbangun dengan audio yang direkam langsung di Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi. Syair-syair yang berkumandang sebagai suara latar untuk mengiringi dendangan para aktor, juga merupakan syair yang dikumandangkan oleh para Orang Rimba.
Dalam kisahnya, juga diceritakan kebiasaan melangun Orang Rimba, yakni saat mereka berpindah dari satu titik ke titik lain, bila ada dari kelompok mereka yang meninggal. Ini ditujukan sebagai ‘penghiburan’ sebelum akhirnya mereka kembali ke titik awal mereka bermukim. Melangun bisa dilakukan selama bertahun-tahun. Namun, saat ini meski melangun masih dilakukan, daya jelajah Orang Rimba menjadi terbatas akibat deforestasi.
Beralas Bumi Beratap Langit membawa penonton untuk memahami sudut pandang Orang Rimba, dan kearifan luhur yang dijunjung mereka. Termasuk kebiasaan mengunduh madu, berburu binatang, dan menghormati pohon sebagai ekosistem yang menjadi bagian hidup.
Panggung Bercerita menceritakan filosofi Orang Rimba terhadap alam. Dialek yang diucapkan para aktor yang tergabung di Teater Abnon ini juga cukup meyakinkan peran mereka sebagai Orang Rimba.
Dalam prosesnya, survei dan riset dilakukan selama kurang lebih sepekan di Jambi. Untuk pengarahan dialek, para aktor dibantu oleh dua aktor yang berasal dari Jambi, Jagat Alfath Nusantara dan Kiel Darmawel.
“Dialek bagi sebagian aktor mungkin agak kesulitan, saya dan Kiel yang orang Jambi dan bisa dikatakan lumayan dekat dengan budaya kami, butuh sekitar sebulanan untuk melatih teman-teman, lebih intensif pada setiap latihan. Awalnya belajar dialek Jambi dulu, setelah sudah enak didengar, baru masuk dialek rimba. Karena dialek Orang Rimba itu ada tiga bahasa yaitu Jambi, Padang, dan Palembang,” ungkap Jagat seperti dilansir laman MediaIndonesia, Senin (30/09/2019).
Penata musik Mia Ismi Halida menambahkan, selama sepekan dikirim Maudy ke Jambi, ia bertemu dengan beberapa tokoh adat untuk meminta izin dan meriset instrumen yang digunakan para Orang Rimba.
“Riset selama seminggu, datang ke Jambi. Jagat kenalkan kami dengan Pak MG Alloy, Pa Wo Azhar, dan pengendum. Kami menggali filosofi orang Jambi pada umumnya, mencari tahu tetabuhan dan ritme yang ada di Jambi yang agak kuno,” papar Mia Ismi Halida.
Sebenarnya Orang Rimba itu tidak ada instrumen musik, lebih condong pada lagu dan mantra-mantra. Di hutan kami juga merekam langsung suara binatang dan dibantu para pengendum untuk menyanyikan lantunan syair agar spirit Orang Rimba juga terbawa saat pementasan,” jelas Mia.
Pentas yang berlangsung selama akhir pekan lalu itu menjadi seruan dari panggung seni untuk mengingatkan kembali kita sebagai manusia dalam menghargai alam dan belajar dari laku hidup Orang Rimba. (ndy)