Gufron Sumariyono ( foto: dok. pribadi)
JAKARTA, bisniswisata.co.id: Menulis Otobiografi bagi seorang Gufron Sumariyono agaknya bukan sekedar cerita kehidupan seorang anak manusia dari awal kehidupannya. Tetapi merupakan suatu upaya mewariskan pendidikan karakter, menghidupkan talenta hingga gaya hidup orangtua yang dicintainya ke generasi penurus.
Pria sederhana dengan segudang ilmu bisnis kelas dunia ini hanya mencantumkan profesinya sebagai pekerja di lembaga Kemanusiaan ESQ, suatu lembaga spiritual yang mengasah Emotional Quotient ( EQ) , Spiritual Quotient ( SQ) dan Intelectual Quotient ( IQ) yang didirikan oleh Ary Ginanjar Agustian 20 tahun lalu.
Lahir di Pati tahun 1945 sebagai anak ke dua dari 12 bersaudara dimana ayah dan ibunya adalah sama-sama berprofesi sebagai seorang guru. Ayahnyalah yang mempunyai buku besar yang disebut ‘Buku Keluarga’. Berisi kejadian penting yang dialami oleh keluarga Katolik ini.
Dihalaman pertama Buku Keluarga tertulis suasana perkawinan ayah dan ibu. Dihalaman lain ada catatan tentang zaman Penjajahan Hindia Belanda dan ada catatan di zaman Pendudukan Jepang. Hal yang mengagumkan bahwa dizaman itu ayahandanya juga memiliki catatan momen penting yang dialami oleh ke 12 anaknya.
Kebiasaan sang ayah yang menulis di buku “Keluarga” dan hobby Gufron di bidang fotografi yang menghasilkan belasan album foto akhirnya lahirlah Otobiografi Gufron Sumariyono jilid 1-3 yang isinya bukan hanya bermanfaat untuk keluarga tetapi juga masyarakat karena sejak 2015 sudah dibagikannya dalam bentuk E-book
Dalam menulis otobiografi, Gufron menelusuri kembali jejak-jejak kehidupannya di masa lalu untuk kemudian dituangkan ke dalam tulisan dan dikemas sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penulis serta foto-foto pelengkap di bab gallery.
“Saya menulis kisah kehidupan saya oleh saya sendiri. Bagi saya, ini suatu pengalaman yang baru. Mengapa? Karena diabadikan dalam foto yang saya simpan di album denganrapi.h,” ujar Gufron.
Menurut dia, gambar bisa menceritakan 1000 kata. Untuk membuka album, dibutuhkan waktu dan tenaga yang lumayan. Tapi disinilah tantangannya Kadang agak malas karena beratnya album dan banyaknya album.
Namun kesabarannya menghasilkan buku Otobiografi yang enak dibaca dan perlu diketahui oleh generasi milinelial gen Z sekalipun yang lahir di era digital.
Bagian pertama dari bukunya, Gufron mengisahkan kebanggaan menjadi anak guru dimana ayahnya adalah alumni Normaalschool Muntilan, Jawa Tengah, hidup dengan 12 anak dan bagaimana pendidikan karakter yang ditanamkan orangtuanya diceritakannya dengan detil.
Bab dua memasuki babak baru hidup terpisah dari keluarga dan tinggal di asrama Realino saat menjalani kehidupan di kampus UGM. Kegiatan rutin yang dihadapi setiap hari, kenakalan mahasiswa termasuk pengalaman masa revolusi dituangkannya dengan menarik termasuk hidayah yang membawanya belahar tentang Islam.
Bab tiga menceritakan buah pendidikan ketika menjadi seorang insinyur Teknik Kimia dan mulai bekerja di IBM. Pengalaman kunjungan dari satu negara ke negara lain sebagai Account Executive dan trainer membawanya ke India, Brussel, New York, Bangkok dan menetap di Hongkong.
Berada di zona nyaman, lalu kembali merasa tertantang dan perlu terus mencari peluang. Gufron kemudian mendapatkan ilmu bisnis kelas dunia dari IBM yang menjadi pengalaman berharga hingga akhirnya setelah 20 tahun bekerja pindah ke grup perusahaan Humpuss.
Perjalanan hidup yang penuh warna bisa ditemukan di Bab IV. Saat memutuskan untuk mengirim dua anak sekolah ke Rossall Boarding School, Inggris. Rahma berumur 15 tahun, baru tamat SMP Al Azhar. Sedang Dhani (laki-laki) berumur 13 tahun. Dhani baru naik kelas 2 SMP Labs School IKIP Rawamangun.
Terlahir sebagai anak dari keluarga Katolik dan kisah awal pertemuan dengan istri hingga menikahi gadis beragama Islam dijelaskan dalam Bab V. Rupanya Gufron berpindah agama bukan semata untuk menikah dengan gadis pilihannya.
Jauh sebelum itu, pengalaman spiritual saat tinggal sekamar dengan aktivis HMI yang rajin shalat 5 kali sehari dan rajin membaca Al-Qur’an pada 1967, membuat Gufron mendapat hidayah gara-gara membaca Surat Maryam: 35 yang terbuka dimeja belajar.
Di usianya yang telah mencapai 75 tahun Gufron menekankan pentingnya orangtua memperhatikan pendidikan karakter bagi anak-anaknya. Pendidikan karakter di rumah oleh bapak dan ibu selama 17 tahun sangat membekas, sangat baik dan sangat berguna.
“Pendidikan karakter untuk selalu , berbuat baik, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, mencinta tanah air dan memiliki semangat kebangsaan tidsk lekang oleh waktu,” ujarnya.
Selain itu pengalaman hidup sebagai mahasiswa di Fakultas Teknik Kimia UGM , Yogyakarta dan tinggal di Asrama Realino juga menjadi bekal hidupnya yang tidak pernah habis hingga sekarang menjadi senior citizen.
Masa kuliah selama 6 tahun lebih menjadi ilmu yang menjadi dasar untuk menjalankan berbagai pabrik kimia yang dibangun pemerintah RI yang sejak1966 dipimpin oleh Presiden Soeharto.
“Kenangan dan pengalaman tinggal di Asrama Realino, sebuah asrama katolik dipimpin romo-romo Jesuit, khusus laki-laki luar biasa. Kami tinggal di gedung yang megah dan mewah pada waktu itu. Asrama yang landasannya Bhinneka Tunggal Ika, dihuni oleh mahasiswa Gadjah Mada dari berbagai suku, berbagai agama, berbagai fakultas,”
Asrama yang menekankan pendidikan disiplin yang ketat. Tidak kenal kompromi. Semua penghuni diajarin berdiskusi, memimpin rapat,memberikan presentasi, tanya jawab dalam Realino Discusion Club dan dalam bahasa Inggris.
Penghuni asrama digembleng oleh pastor Jesuit agar menjadi pemimpin yang berkarakter kuat dan bagus yang harus dimiliki oleh pemimpin masyarakat. Moto SV artinya Sapientia etVirtus artinya kebijakan dan kebajikan. Realino mempersiapkan calon pemimpin bangsa yang peduli kepada kemiskinan, kebodohan dan kebersamaan.
Siapa sangka di usianya saat ini hidup Gufron banyak menbantu eksistensi lembaga kemanusiaan ? Jelas tidak ada faktor kebetulan karena keyakinan atas campur tangan sang Khaliklah yang membuat buku Otobiografinya menjadi warisan yang tetap hidup dari masa ke masa.