HILDA'S NOTE

BHATARI SRI

Subak dan Jejak-jejak Kemuliaan

WAYAN seorang anak yang gemar bermain wayang. Ia memiliki wayang plastik yang begitu disayanginya, diberi nama Bhatari Sri. Oleh suatu sebab, wayang itu hanyut dan tenggelam.

Bhatari Sri hilang!

Putu, kakak Wayan dan sahabatnya – Ketut–, berusaha menghiburnya. Menemani Wayan mencari wayangnya yang hilang.

Mereka berjalan meretas jarak waktu dan keadaan. Dari gunung, hingga samudra, mereka –utamanya Wayan –, menjumpai banyak kilasan kehidupan. Satu hal yang tak berubah; tak ada ruang bagi kesedihan. Tawa tak putus-putus, wajah mengukir senyum selalu. Anak-anak telah menjadi nama lain dari keceriaan. Dan setiap lakunya, menjadi cara lain menjangkau kasih. Menyerap kebaikan hidup, kemudian melepasnya bagi keharmonisan bersama.

Demikian sepotong adegan cerita dalam layar yang mengambil latar petualangan anak-anak di Bali, dengan Bhatari Sri menjadi tokoh sentral. Bhatari Sri hadir sebagai Sang Jiwa, sekaligus juga karakter wayang kesayangan Wayan yang hilang.

Tapi benarkah Bhatari Sri hilang?

Ataukah “dia” hanya bersembunyi di balik keterbatasan pengetahuan manusia?

Film Bhatari Sri: Subak dan Jejak-Jejak Kemuliaan, adalah produksi Kitapoleng Bali (2021) yang berangkat dari sistem subak, bagian dari sosio kultural masyarakat di Bali. Sesungguhnya subak tak hanya sekedar sistem pengairan saja, di dalamnya ada konsep keadilan. Subak telah menjadi organisasi demokratis; para petani, pengguna, pemanfaat sumber air yang sama, bertemu secara teratur untuk bermusyawarah dan mengkoordinasikan penanaman, mengontrol distribusi air irigasi, merencanakan pembangunan, pemeliharaan kanal dan bendungan, serta mengatur upacara persembahan dan perayaan di Pura Subak.

Jika membuka Wikipedia tercantum bahwa dalam Prasasti Raja Purana (Tahun 994 Saka/1072 Masehi) terdapat kata kasuwakara yang diduga berasal dari kata suwak. Kata inilah yang kemudian berkembang menjadi subak. Secara etimologi, kata suwak sendiri terdiri dari dua suku kata yaitu “su” yang berarti baik dan “wak” yang memiliki arti pembicaraan. Sehingga suwak atau subak sendiri bisa diartikan sebagai melakukan pembicaraan dengan niat baik untuk kepentingan bersama.

Spirit yang dikandung dalam subak tentu tak lepas dari spirit Tri Hita Karana, sebuah falsafah hidup mengenai harmonisasi dengan sesama manusia, lingkungan dan Tuhan. Dan begitu banyak kearifan Bali yang diangkat dengan titik berangkat subak ini, sebagai bentuk penghormatan terhadap alam Bali yang melahirkan budaya adiluhung.

Ritual Bhatari Sri, Dewi Padi

Dalam film ini bisa ditemukan, bagaiman penghormatan masyarakat Bali terhadap lingkungan, termasuk penghormatan terhadap Bhatari Sri yang telah memberikan kelimpahan, bagaimana pakaian tradisional Bali hadir sebagai sebuah karakter atau identitas. Juga mengenai Asta Kosala Kosali yang mengatur tata bangunan di Bali, dimana seluruhnya berkaitan dengan Dewata Nawa Sanga.

Menurut sutradara film ini, I Gusti Dibal mengatakan, Bhatari Sri hadir sebagai spirit juga karakter wayang yang mengikat dramatik film.

“Latar belakang di beberapa lokasi di Bali tidak semata-mata indah secara visual, tetapi juga memiliki sejarah kuat yang mempengaruhi kultur masyarakatnya. Diramu dengan memadukan kekuatan visual, tari, musik, dan narasi untuk menciptakan kemasan yang tak hanya menarik, tetapi juga mengandung informasi, pesan mendalam yang dikreasikan secara artistik dan direspon menggunakan media baru,” jelasnya.

Bhatari Sri: Subak dan Jejak-Jejak Kemuliaan didukung oleh koreografer Jasmine Okubo, komposer Peny Chandra Rini dan Putu Septa, serta diperkuat oleh Ayu Laksmi, Cok Sawitri, Alien Child, Arya Wirawan, Apel Hendrawan, Narend, Nanta, Dewi, dan lain-lain.

Terlewat dengan kehadiran Bhatari Sri?

Sila tonton ulang di kanal Youtube Budaya Saya, web-site pkn.id. *

Dwi Yani

Representatif Bali- Nusra Jln G Talang I, No 31B, Buana Indah Padangsambian, Denpasar, Bali Tlp. +628100426003/WA +628123948305 *Omnia tempus habent.*