HILDA'S NOTE LAPORAN PERJALANAN PENDIDIKAN

Bertandang ke KBRI Bern dan Wisata Kota Tua di Ibukota Swiss.

  1. Dubes RI untuk Switzerland ( Swiss) dan Liechtenstein, Muliaman Hadad ( kiri) bersama Hilda Sabri Sulistyo, founder bisniswisata.co.id

BERN, Swiss, bisniswisata.co.id: Bertandang ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Bern memang sudah dalam daftar tujuan yang ingin saya kunjungi selama berada di Swiss. Komunikasi lewat WA dengan Dubes Muliaman Darmansyah Hadad sudah saya lakukan di tanah air.

Saya mengenalnya lewat Sapta Nirwandar,  Wakil Menteri Pariwisata RI di jaman Presiden SBY pada kegiatan MES. Pak Dubes Muliaman Hadad adalah mantan Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah ( MES) dan mantan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pula.

Yunan Hilmi, General Manager Book Publishing, Media Services PT Bisnis Indonesia Gagaskreasitama, anak perusahaan di PT Jurnalindo Aksara Grafika, penerbit Harian Bisnis Indonesia tempat saya bekerja dulu, senang mendengar saya akan menemui pria yang humble ini. Mereka berdua juga teman baik meski keduanya sama-sama super sibuk.

Dubes RI di Swiss merangkap Liechtenstein ini juga disebut-sebut orang yang pro-aktif dalam meningkatkan kerjasama RI-Swiss dalam berbagai bidang seperti misalnya kedua negara telah menyepakati Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance Treaty ( MLA Treaty).

Meski ada tim juru runding tersendiri dari Kemenhukum dan HAM, tapi warga RI di Jenewa menilai MLA tak lepas dari peran pak Dubes juga sehingga akhirnya kedua negara bisa saling bertukar informasi mengenai dugaan tindak pidana yang dilakukan orang tertentu dan berkaitan dengan kedua negara.

Perjanjian yang terdiri dari 39 pasal itu mengatur ihwal bantuan hukum pelacakan, pembekuan, dan penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan.

Kedubes RI di Bern, Swiss dan tiga oma berpose dengan Dubes Muliaman Hadad

“Nanti di jemput pak Sam dari KBRI,” bunyi pesan singkat pak Dubes saat saya mengabarkan sudah naik kereta dari stasiun Cornavin, Jenewa, menuju Bern bersama rombongan kecil, Hilma Sabri Nurima dan Dewi Stalini Kushariadi.

Perjalanan di hari keempat selama di Swiss ini memakan waktu dua jam saja. Swiss memiliki 26 Kanton, yang mana masing – masing bertindak sebagai sebuah negara, dengan konstitusi, legislatif, pemerintahan, pengadilan dan bendera sendiri-sendiri.

Bern adalah salah satu Kanton sekaligus ibu kota negri yang menjadi pusat pemerintahan. Sama seperti Jakarta sebagai provinsi sekaligus ibukota negara. Sementara Zurich dan Jenewa adalah dua kota global yang menjadi pusat ekonomi dan masuk  sebagai kota kedua dan ketiga dengan biaya hidup tertinggi di dunia.

Tak heran naik kereta ke Bern saja pulang pergi tiketnya 89 franc Swiss atau sekitar Rp 1,3 juta untuk masa berlaku satu hari termasuk naik trem dan bis. Kota-kota di Swiss seperti Bern dan Genewa yang berada dalam ketinggian sekitar 580 meter di atas permukaan laut, tidak bersalju dan tak ubahnya dengan kota-kota lain di Eropa.

Saat saya datang ke Bern ini sebenarnya adalah musim semi. Pada musim semi suhunya kira-kira 17 derajat. Cukup hangat bagi ukuran Eropa. Tidak perlu jaket tebal, tapi meski matahari bersinar, udaranya tetap dingin dan turun hujan pula. Itu sebabnya payung dan mantel jadi ‘senjata’ untuk tetap berwisata kota.

Hal yang saya tidak pahami sejak tinggal di Jenewa adalah cuaca bisa setiap saat berubah. Tiba-tiba panas, tiba-tiba dingin dan berkabut bahkan ada badai dan hujan es saat keponakan saya berada di pinggir Danau Jenewa, beberapa waktu lalu.

Bern identik dengan beruang dan menara jam kota tuanya

Alhamdulilah setiba di stasiun Bern dan dijemput pak Sam dari KBRI dengan mobil Mercedez Benz, matahari cukup terang. Tak perlu berlama-lama, dipandu pak Sam kami akhirnya jumpa di meeting point , masih dikawasan stasiun kereta api di Bern dan langsung meluncur ke Kedutaan di Elfenauweg 51, 3006 Bern, Switzerland.

” Kantor kedutaan dan wisma yang menjadi tempat tinggal pak Dubes berbeda. Alhamdulilah semua properti sudah milik sendiri jadi pemerintah tidak menyewa,” ungkap Sam di perjalanan.

Kota Bern tergolong kota tua dan telah mendapatkan pengakuan dari lembaga internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai salah satu situs warisan dunia, World Heritage City UNESCO. Menuju kedutaan RI kami melewati kota tua Bern dan tak sampai 15 menit sudah tiba depan bangunan tiga lantai dikawasan yang asri. Jadi ingat kawasan Dago Bandung.

Tingkatkan kerjasama

Benar saja, pak Dubes Muliaman Hadad baru saja merampungkan sedikitnya tiga memorandum of understanding ( MOU) dalam tiga bulan terakhir ini dan semuanya berkaitan dengan pengembangan pariwisata di tanah air.

Bulan Ramadhan lalu, tepatnya 16 Mei 2019, Muliaman membawa pendiri sekaligus pemilik International Management Institute (IMI) dari Luzern, Swiss  ke Sofyan Hotel Jakarta untuk berjumpa langsung dengan Riyanto Sofyan, pemilik jaringan Sofyan Hotel yang juga Ketua Tim Pokja Percepatan Wisata Halal Kementrian Pariwisata.

Dubes didampingi Nuradi Noeri, konsuler KBRI Bern menjelaskan bentuk kerjasama yang sudah disepakati RI-Swiss

Tahun 2019 ini perjuangan Indonesia untuk menjadi destinasi wisata halal terbaik di dunia versi Global Muslim Travel Index (GMTI) membuahkan hasil. Indonesia berhasil menggeser posisi Malaysia yang pada tahun lalu menempati posisi peringkat pertama.

Sebagai destinasi wisata halal terbaik dunia, Indonesia tercatat mengalami peningkatan secara berjenjang dari ranking 6 pada 2015, ranking 4 pada 2016, ranking 3 pada 2017, ranking 2 pada 2018, akhirnya Indonesia menduduki peringkat 1 pada 2019.

“Sebagai destinasi wisata halal saya membawa lembaga pendidikan internasional untuk bermitra dengan PPHI singkatan dari Perkumpulan Pariwisata Halal Indonesia agar SDM kita memiliki  standar sertifikasi Swiss yang melahirkan standar hospitality dunia,” kata Muliaman.

Penghargaan sebagai destinasi wisata halal utama di dunia harus diikuti dengan pelayanan prima untuk melayani global Muslim Traveler yang datang ke Indonesia karena itu sebagai dubes yang berpengalaman di organisasi Masyarakat Ekonomi Syariah ( MES) dia pro aktif menggalang kemitraan.

” IMI akan membantu wisata syariah maupun lembaga pariwisata lainnya di Indonesia. MOU akan kami lakukan di Jakarta Juli mendatang tinggal cari waktu yang tepat untuk semua pihak terkait,”

Apalagi linkage pariwisata umum maupun pariwisata syariah ( halal) sangat panjang hulu-hilirnya dan melibatkan multi sektoral mulai dari transportasi, akomodasi, destinasi,  obyek wisata, SDM hingga produk pelayanan (services). Pariwisata menjadi leading sector dan penggerak ekonomi bangsa, tambahnya.

“Wisata halal itu produk pelayanan bukan ideologi karena itu negara-negara non Muslim berupaya menjaring miliaran warga Muslim dunia untuk berkunjung ke negaranya,” jelas Muliaman Hadad.

Di Indonesia pengertian wisata halalnya masih belum dipahami dengan baik sehingga Bali menolak, NTT menolak padalah wisata halal hanya pelayan produk saja. Namun Muliaman yakin peran Riyanto Sofyan dan timnya mampu memberikan sosialisasi yang baik pada masyarakat.

” Saya optimistis seluruh masyarakat kelak mampu menjadi tuan rumah yang baik sehingga Muslim Traveler dunia akan berbondong-bondong ke Indonesia,” tuturnya.

International Management Institute ( IMI), lembaga swasta  di Luzern yang berbasis di jantung Swiss, tempat kelahiran ilmu hospitality yang menawarkan gelar sarjana pariwisata , manajemen bisnis dan pemasaran.

Mahasiswa IMI datang dari berbagai negara ( foto : IMI)

Pendidikannya kombinasi pengajaran akademis berkualitas, pelatihan praktis dan mahasiswanya mendapatkan keuntungan dari penempatan magang yang berbayar secara  internasional.

Jumlah siswanya berimbang antara teori dan praktek sehingga jika yang sedang belajar di kampus misalnya 220 orang maka mereka yang magang di hotel internasional juga 220 dan lembaga ini berafiliasi dengan HEINZ BUERKI, Manchester Metropolitan University, Oxford Brookes University.

Kerjasama lainnya dalam bidang pendidikan vokasi pariwisata juga sudah diteken di Lausanne bulan Juni lalu saat Wakil Presiden Jusuf Kalla datang ke Jenewa antara Prasetya Mulya dengan lembaga pendidikan di Swiss.

“Untuk MOU ini terkait penyiapan SDM wisata alam dan spa healing agar industri spa di Indonesia juga mendunia yang penandatangannya disaksikan Wapres Jusuf Kalla,”

Menurut Dubes Muliaman Hadad, RI-Swiss juga sudah memiliki Free Trade Agreement untuk komoditi seperti Sawit, Kopi, Coklat sejak 2018. Komoditi tersebut banyak dikonsumsi oleh wisatawan mancanegara terutama kopi dan coklat.

Oleh karena itu September mendatang sudah disepakati oleh Kedubes RI di Bern dengan organisasi seperti KADIN Swiss untuk menyelenggaran Indonesian Coffee Day di Jenewa kota konferensi internasional sehingga bisa mendorong ekspor kopi Indonesia.

“Tiga perempat kebutuhan kopi dunia diperdagangkan di Swiss, sehingga  MOU dengan kamar dagang Swiss diharapkan mengangkat harkat hidup petani kopi di tanah air,” kata Muliaman.

Berbincang kurang dari dua jam dengan Dubes RI di Swiss ini rasa nasionalisme jadi ikut terpacu. Sayang tamu lainnya menunggu sehingga pertemuan singkat diakhiri dengan foto-foto seputar kantor kedubes berlantai tiga itu. Pak Sam lalu mengantar kami wisata kota tua sebelum akhirnya mengantar kembali ke stasiun Bern.

Kota Tua Bern

Kami turun di jembatan tepat di atas Sungai Aare dengan tanda patung beruang melayang di antara kabel listrik.  Konon nama Bern diambil dari kata Baren yang artinya beruang dan di bawah jembatan selain ada sungai Aare di pinggirannya juga ada kandang beruang coklat yang luas.

Pantesan sambil berfoto ria, rombongan turis yang ada sibuk melongokkan kepala ke bawah sungai. Sebagian menuruni tangga untuk melihat dari dekat beruang coklat yang ada di tepi sungai dalam kandang luas mengikuti kontur tanah.

Jembatan di atas sungai Aare bersama pak Sam KBRI Bern
Rumah presiden dan 7 mentri di tepi Sungai Aare

Swiss adalah negara pertama dan satu – satunya yang menerapkan sistem pemerintahan demokrasi langsung, yang melibatkan inisiatif konstitusional dan referendum. Majelis Fedral Memilih tujuh orang untuk menjadi “pemerintah”.

Pak Sam menunjuk jejeran rumah di atas bukit tepi jembatan itu yang menjadi rumah dinas dari ketujuh orang partai yang berstatus menteri, mengepalai departemen dan salah satunya menjadi presiden selama satu tahun secara bergantian.

“Nah di Indonesia mustinya jadi presiden gantian saja tiap tahun jadi nggak heboh seperti Pilpres yang lalu,” kata oma Dewi Stalini Kushariadi.

Bern sudah menjadi Ibu Kota Swiss sejak 1848. Lokasinya yang terletak tepat di jantung Swiss, membuat Bern menjadi titik awal yang paling pas untuk menjelajah negara di Eropa Tengah yang berbatasan dengan Jerman, Perancis, Italia, Liechtenstein, dan Austria.

Didirikan oleh Duke Berchtold V. von Zähringen sejak 1191.Konon nama Bern berasal dari kata bärren atau beruang, binatang pertama yang menjadi buruan Duke saat membangun kota ini. Beruang juga yang menjadi lambang dan bendera Kanton Bern hingga saat ini.

Hal menarik dari atas jembatan selain melihat rumah kepala pemerintahan yang biasa saja, kita juga bisa mengamati aktivitas di bawah jembaran yaitu rumah penduduk dengan jalan setapak persis di sepanjang Sungai Aare itu.

Rumah yang asri dengan halaman penuh bunga warna-warni, air sungai dan lingkungan yang bersih bak lukisan alam. Oma Dewi yang pecinta anggre dan bunga lainnya sangat senang melihat penduduk nenata sendiri halamannya sehingga menjadi daya tarik wisata.

Siapa sangka, Bern pernah menjadi kota terbesar dan paling berpengaruh di kawasan Alpen utara pada abad pertengahan,  Kota ini sempat terbakar hampir seluruhnya pada 1405 yang langsung dibangun kembali.

Tiga oma usia 60 tahunan menyusuri kota tua dengan berjalan kaki, mengandalkan lutut sehingga harus disiasati dengan duduk manis di dalam bis. Berhubung pak Sam akan menjemput di titik yang sama saat menurunkan, oleh karena itu di halte bis saya perhatikan bis yang lewat adalah no: 12 sehingga kami bertiga langsung naik bis untuk melihat jam yang menjadi landmark kota tua Bern.

kawasan kota tua Bern dengan deretan toko, cafe dan keindahan arsitektur bangunannya

Memulai perjalanan mata puas menikmati pesona arsitektur dari bangunan-bangunan tua khas zaman pertengahan, cafe, toko souvenir dan . salah satu obyek andalannya adalah Zytglogge, menara jam yang pernah menjadi gerbang barat Kota Bern pada era lampau dan menjadi penanda teknologi mekanik dari abad ke 15. Kini, Zytglogge menjadi landmark kota.

Rupanya kalau belum foto di depan jam kuno ini belum sah datang ke Bern sehingga rombongan turis bergantian berfoto ria dengan latar belakang jam itu. Takjub juga rombongan terbesar dan terus menerus datang ternyata dari China.

Dari sana jalan kaki lagi dan  foto-foto di atas jembatan diatas sungai Aare yang lebih luas dan airnya jernih kebiruan menuju Museum Einstein. Ternyata Einstein pernah tinggal di Bern, yaitu tepat ketika fisikawan ini menemukan teori relativitas yang terkenal hingga saat ini. Maka tidak heran jika di Bern, kita dapat menemukan banyak monumen Einstein mulai dari cafe yang memakai namanya itu hingga Museum Einstein.

Di depan Museum Einstein ada patung besar memperingati konfrensi telegraphique internasional bertuliskan tahun 1865 dan berdirinya union telegraphique atas inisiatif Prancis. Anak-anak sekolah dari Turki yang sedang berdarmawisata berfoto ria sambil memanjat patung.

Depan museum Einsten dipenuhi anak sekolah dari Turki.
Kota tua tak pernah sepi dengan kunjungan wisatawan mancanegara
Sungai Aare membelah kota tua Bern

Selama saya menjelajah Kota Bern, saya menemukan banyak sekali wisatawan mancanegara yang datang berombongan mulai dari anak sekolah dari Eropa hingga Amerika hingga turis dari negara tetangganya Swiss.

Bendera dan bangunan-bangunan tua yang telah berusia ratusan tahun seperti menara jam kota (Zytglogge), museum, rumah si Ilmuan Jenius Albert Einstein, bekas istana, dan lembaga pendidikan membuat kota tua ini mampu membuat saya kagum ratusan tahun lalu manusia bukan cuma berperang tapi juga sudah bersatu, membangun organisasi internasional dan cita rasa tinggi untuk beragam seni.

Selain keindahan kota tuanya, keramahan warga adalah salah satu hal yang ditawarkan oleh kota di bagian utara Swiss ini. Di stasiun, halte bahkan di jalan maka mereka bahkan mengantar langsung ke tempat  yang kami tuju.

Berbeda dengan Jenewa yang bagasa penduduk dan rambu kota da  petunjuk semua berbahasa Prancis, di Bern sebagian besar warganya berbahasa asli Jerman. Namun sebagian besar dari mereka sudah fasih berbahasa Inggris, jadi Oma Dewi yang bahasa Inggrisnya jauh lebih fasih dari saya tidak menemui kendala dalam berkomunikasi di sini.

Ada sedikit hal yang membedakan antara suasana di kota di Swiss ini dengan di Indonesia. Jika di Indonesia, rata-rata toko dan warung tetap buka sampai jam 9-10 malam, di kota ini mereka tutup seperti di Jenewa rata-rata  jam 6 sore.

Saat week-end toko-toko bahkan super market saja tutup sehingga keponakan saya Nuraina ( Ina) Bandarsyah yang bekerja di World International Property Organization ( WIPO) di Jenewa harus buru-buru belanja kebutuhan week-end. Soalnya hanya toko dan layanan publik lainnya yang buka sampai jam 10 malam dan itu pun terbatas di pusat keramaian seperti airport dan stasiun kereta api.

Satu hal lagi, di sini durasi malamnya lebih pendek daripada di Indonesia, Di sini matari baru terbit sekitar jam 5 dan terbenam sekitar pukul 22.30  malam. Jadi untuk urusan ibadah sepert sholat magrib baru bisa dilaksanakan setelah matahari terbenam.

Yusra Hilal, seorang kenalan baru pensiunan kantor PBB di Jenewa mengatakan saat Ramadhan, puasanya cukup panjang sampai 16-17 jam sehingga bisa melewati puasa dengan lengkap rasanya sudah sangat bersyukur bisa lolos dan menjalaninya dengan baik.

Puas berkeliling kota tua Bern, saya menelpon pak Sam dari KBRI dan diantar kembali ke stasiun. Kami ingin melanjutkan perjalanan ke Lausanne, nostalgia sebentar saat saya datang konfrensi pariwisata internasional 25 tahun yang lalu.

Pak Sam melepas kami dan wanti-wanti agar tiga oma ini selalu berhati-hati. Sebenarnya kalau ada waktu dia menganjurkan kami pergi juga ke  Liechtenstein yang mencakup tugas pak Dubes Muliaman Hadad, namun hari sudah menjelang sore, kami pilih kota Lausanne saja yang kami lewati. Au Revoir Monsieur Sam, Merci Beaucoup

 

.

 

.

 

Hilda Ansariah Sabri

Pendiri, Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan pemegang sertifikasi Wartawan Utama Dewan Pers dan Ketua Departemen Pariwisata PWI Pusat (2018-2023)